Gugur Gunung, istilah ini mungkin hanya dikenal di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Di mana, sebuah tradisi yang lekat atau identik dengan kultur masyarakat perkampungan dalam mengerjakan sesuatu secara gotong-royong. Sampai sejauh mana aktivitas sosial tersebut tetap terjaga? Berikut catatannya.
Puluhan laki- laki, tua maupun muda berkumpul di salah satu rumah warga yang terletak di Kelurahan Kumpulrejo, Argomulyo, Kota Salatiga. Sembari membekali diri dengan alat pertukangan, mereka secara kompak membongkar genting rumah milik tetangganya yang memang butuh perbaikan. Hampir dua jam waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan genting, setelah selesai, beberapa pria segera mengganti usuk dan reng yang telah lapuk. Selanjutnya, genting kembali naik untuk ditata kembali.
Di lokasi lain, yang berjarak sekitar 5 kilometer, puluhan laki-laki juga tengah bekerja membangun gapura di ujung jalan. Mereka dikerahkan oleh Ketua RT setempat untuk kerja bhakti mendirikan gapura karena kampungnya belum memilikinya. Namanya kerja sosial, jadi tidak terpaku jam. Ada yang hanya setor muka beberapa menit, namun, tak sedikit yang seharian berkutat dengan semen, pasir, serta peralatan pertukangan.
Setelah seharian mengeluarkan tenaga, akhirnya sore hari sepasang gapura berdiri. Kendati belum sempurna namun, sebagai tonggak identitas sudah lumayan. Selanjutnya, pekan ke depan, warga akan meneruskan finishing-nya, termasuk mengecat. Gapura memang dipersiapkan untuk memperingati hari kemerdekaan RI bulan Agustus mendatang. Karena menyangkut kepentingan orang banyak, jadi ya maklum bila warga dilibatkan.
Apa yang dilakukan warga di dua lokasi tersebut merupakan bagian dari gugur gunung, di mana istilah itu merupakan warisan nenek moyang sebagai representasi kerja bhakti atau aktivitas gotong-royong bagi warga di perkampungan. Diduga, gugur gunung hanya ada di sekitaran Jawa Tengah, DIY, dan sebagian Jawa Timur. Semisal di luar Pulau Jawa muncul aktivitas serupa, biasanya diadopsi oleh warga yang pernah tinggal di Jawa.
Gugur gunung adalah solusi problema sosial yang ada di tengah masyarakat, salah satu contoh konkret yang terjadi pada diri nenek Surip (80) warga RT 4 RW 3, Kelurahan Ledok, Argomulyo, Kota Salatiga. Ia hidup sebatang kara dalam kondisi buta, tinggal di rumah gubug sangat tak layak huni. Karena tidak mungkin memperbaiki tempat tinggalnya, belakangan aktivis RAPI Kota Salatiga melakukan gugur gunung merenovasi rumah nenek renta itu.
Meski bermarkas di Kota Salatiga, KGGSP sangat akrab dengan masyarakat di lereng Gunung Merbabu. Pasalnya, selain soal musibah, setiap timbul persoalan jaringan air, aktivis KGGSP selalu menjadi tumpuan. Sebagai gambaran, desa-desa di bawah lereng gunung, mayoritas tak terjamah PDAM, untuk kepentingan mandi, cuci dan minum mereka memanfaatkan mata air gunung yang dialirkan melalui pipa pralon. Celakanya, entah faktor usia atau hal-hal lain, pipa-pipa pralon tersebut kerap mengalami kebocoran sehingga harus diperbaiki.
Salah satu aktivis KGGSP yang bernama Antok menjelaskan, jaman tahun 2015 lalu, pihaknya menerima laporan dari warga Dusun Cuntel, Kopeng, Getasan, kabupaten Semarang tentang turunnya debit air yang mengalir melalui pipa. Setelah dilakukan pengecekan, ternyata di tengah Gunung Merbabu, banyak pipa pralon yang pecah. “Dari hasil survey lokasi, dibutuhkan ratusan pipa pengganti,” jelasnya.