Siapa yang tak kenal dengan nama Wage Rudolf (WR) Soepratman sang pahlawan nasional sekaligus pencipta lagu Indonesia Raya? Bagi masyarakat Republik ini, tentunya bukan sosok yang asing. Terkait hal tersebut, kami (saya, si bungsu dan ibunya) mencoba napak tilas ke rumah beliau di Purworejo. Butuh tenaga ekstra untuk merasakan aura rumah di atas bukit tersebut.
Untuk bertandang ke rumah WR Soepratman yang terletak 12 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Purworejo, sebenarnya tidak ada masalah yang berarti. Jalan ke arah Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing cukup mulus bagi kendaraan roda empat. Setelah melewati beberapa desa, saat tiba di Desa Kemanukan, terdapat petunjuk arah ke lokasi Desa Somongari. Karena posisinya berada di pegunungan, otomatis aksesnya menanjak dan berkelok- kelok.
“Jaraknya dari sini (Balai Desa Somongari) satu kilometer pak, pokoknya lurus saja nanti ada gapura yang menunjukkan lokasi rumah WR Soepratman,” kata seorang warga yang membuka warung.
Setelah berpeluh- peluh, akhirnya kami melihat sebuah rumah berdinding papan dengan warna cokelat tua. Letaknya berada di atas tebing, tetangga terdekat berjarak sekitar 50-an meter. Terdapat jalan beton setapak di belakang rumah, diduga jaman dulu rumah sederhana tersebut tak memiliki akses. Di dinding luar bagian samping terdapat tulisan warna biru putih yang dibuat oleh mahasiswa UGM saat KKN tahun 2010, bunyinya: Tempat Lahir WR Supratman.
Rumah berbentuk joglo yang menghadap arah selatan ini suasananya sangat sepi. Tak ada satu pun orang yang lewat, meski begitu kondisinya bersih. Halaman sampingnya yang ditumbuhi rumput cukup nyaman dimanfaatkan duduk lesehan sembari menikmati matahari terbenam. Di depan bagian kanan, terdapat ari-ari (placenta) WR Supratman yang ditanam dan dipagar. Sementara di depan rumah, sejauh mata memandang hanya terlihat tanah curam, mungkin mengarah ke jurang.
Terbayang kehidupan WR Soepratman di masa lampau, tinggal terpencil, rumah berdinding bambu dengan lantai berupa tanah. Tak ada kamar mandi maupun sumur, otomatis untuk merealisasikan hajat harus berjalan kaki cukup jauh. Ditemani sunyi, tanpa penerangan yang memadai. Untuk menuju ibu kota kabupaten yang berjarak 12 kilometer, terpaksa hanya mengandalkan dua kaki. Bukan akibat menjalani hidup sederhana, namun, kemiskinan yang memaksa beliau melakoni kehidupan serta terbatas.
Sebagai bukti bahwa WR Soepratman lahir di Dusun Trembelang, placenta miliknya ditanam di depan rumah. Sejak jaman dulu, ada keyakinan di masyarakat Jawa bahwa placenta harus ditanam di sekitar rumah saat bayi usai dilahirkan. Biasanya, selama 40 hari, tempat pemakaman placenta wajib diterangi dengan lampu teplok. “Bapaknya seorang tentara berpangkat sersan, tapi ketika ibunya melahirkan, bapaknya tidak ikut menunggui karena tengah bertugas,” jelas Darto.
Perihal rumah WR Soepratman sendiri, kata Darto, saat ini sudah dibeli oleh pemerintah Kabupaten Purworejo. Di mana, ketika H. Kelik Sumrahadi menjabat sebagai Bupati, menggelontorkan dana APBD sebesar Rp 400 juta dengan rincian merenovasi rumah Rp 70 juta, talud Rp 60 juta, gapura, tangga beton Rp 46 juta dan pembangunan jalan aspal sebesar Rp 212 juta. Kendati rumah dipugar total, namun bentuk mau pun ukurannya tetap sama. Hanya dinding anyaman bambu diganti papan jati lawas, begitu pun atapnya. Bila aslinya dari daun tebu, sekarang genting biasa.
Tujuan pemugaran rumah WR Soepratman tersebut bertujuan untuk menjadikan lokasi Dusun Trembelang sebagai wisata sejarah. Sayang, pengunjung dalam sehari hanya 2- 3 orang, sehingga rumah selalu dikunci. Menurut Darto, pengunjung merupakan orang- orang yang memegang istilah “Jangan sekali- kali melupakan sejarah” alias Jas Merah. “Orang yang tak tahu cara menghargai jasa pahlawannya, ya tidak mau bersusah payah datang ke sini,” ungkapnya.
Wow! Apa yang diungkapkan oleh Darto benar- benar makjleb, sangat mengena di hati. Untungnya kami bertiga dianggap sebagai orang yang paham tentang Jas Merah. Memang, untuk menuju petilasan WR Soepratman membutuhkan stamina tersendiri, namun, kami merasa puas. Apa lagi kesempatan itu belum tentu mampu direalisasikan tahun depan, karena nasib orang tak ada yang bisa menebak. Semisal anda melewati Purworejo, sekali tempo bertandanglah ke sini biar dianggap dianggap memegang teguh Jas Merah. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H