Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Open House" ala Lapas Kota Magelang

13 Juli 2016   13:01 Diperbarui: 13 Juli 2016   15:01 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanda mata dari Lapas berupa stempel (foto: dok pri)

Open house pada Hari Raya Idhul Fitri, ternyata bukan hanya monopoli para pejabat. Terbukti, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II Kota Magelang, juga menggelar hajatan serupa. Narapidana (Napi) yang identik sebagai orang terbuang, mendapat kesempatan dikunjungi sanak kerabatnya. Seperti apa keriuhannya? Berikut catatannya.

Kamis (7/7) atau Hari Raya Idhul Fitri kedua, saya mendapat kesempatan langka, yakni mengikuti open house di Lapas II Kota Magelang. Bila bersilaturahmi dengan orang-orang yang bebas merdeka saban tahun rutin dilakukan, maka kali ini saya ingin merasakan sensasi silaturahmi bersama orang-orang terbuang. Kebetulan, ada salah satu keponakan yang tengah menjalani rehabilitasi akibat menjadi konsumen narkoba.

Sebut saja Ari (25) yang tahun lalu ditangkap petugas kepolisian karena terseret kasus narkoba rekannya, oleh pengadilan, karena terbukti mengonsumsi barang laknat, akhirnya divonis 1,4 tahun. Usai menjalani hukuman 1 tahun, menjelang pembebasan, ia harus masuk rehabilitasi di lapas yang terletak di Jalan Sutopo Nomor 2 Kota Magelang. Dirinya diperam di blok Narkoba bersama puluhan napi asal Jawa Tengah lainnya.

Teorinya open house dibuka mulai pukul 9.00 - 15.00. Terkait hal tersebut, pihak Lapas sudah menyiapkan tenda beserta kursi di halaman. Konon, berdasarkan pengalaman, biasanya ratusan bahkan ribuan keluarga napi bakal berdatangan. Celakanya, saya dengan tiga kerabat lain tiba sekitar pukul 10.30. Ada pemandangan yang membuat gamang, di mana di kanopi Lapas yang berukuran kurang lebih 6 X 6 meter, berjubel banyak orang tengah antre.

Antre daftar dulu (foto: dok pri)
Antre daftar dulu (foto: dok pri)
Sesuai prosedur tetap, saya harus antre untuk mendaftar lebih dulu. Setelah nama dicatat, berikutnya diberi nomor yang tertulis pada selembar kertas yang diberi pita panjang. Fungsinya untuk dikalungkan di leher agar sipir bisa membedakan mana pembesuk dan mana yang bukan. Usai mendaftar, diminta menunggu bersama ratusan orang lainnya. Hingga pukul 11.30, terdengar pengumuman, isinya para pembesuk dimohon bersabar karena petugas Lapas harus beristirahat satu jam.

Ketika jarum jam mengarah pukul 12.30, ternyata belum ada tanda-tanda pintu gerbang (portir) di lapas yang dibangun tahun 1872 itu dibuka. Mayoritas calon pembesuk sudah mulai menggerutu, tapi percuma saja, sebab gerutuan itu hanya di belakang petugas. Hingga pukul 13.00, terdengar pengumuman bahwa pengunjung diminta menyiapkan diri karena gerbang bakal dibuka. Spontan ratusan orang berteriak kegirangan, mirip anak kecil mendapat permen gratis.

Usai daftar nunggu panggilan (foto: dok pri)
Usai daftar nunggu panggilan (foto: dok pri)
Harus Memiliki Kesabaran Tinggi

Satu per satu nama pembesuk mulai dipanggil. Prosedurnya, pemilik nama yang terdaftar ditanya berapa orang yang akan ikut. Setelah disebutkan jumlah pengikutnya, semua wajib menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) masing-masing. Usai penyerahan tanda pengenal, kembali menunggu dipanggil. Karena jumlah pembesuk mencapai ratusan orang, otomatis pemanggilan untuk memasuki portir makan waktu cukup lama. Akibatnya, saling berjubel di kanopi bercampur keringat plus aneka parfum.

Mengantre agar bisa mengikuti open house napi memang harus memiliki kesabaran tingkat tinggi. Mau memaksakan kehendak memasuki portir, alamat tak bakal ketemu dengan para pesakitan. Hampir 30 menit antre, akhirnya dipanggil juga. Ketika memasuki pintu gerbang utama, ternyata masih terdapat pintu kedua yang sangat kokoh. Dilihat sepintas, dibuat dari besi. Di ruangan portir, makanan yang dibawa pembesuk diperiksa satu per satu. Sedikitnya 8 orang Polsuspas (sipir) melotot mengawasi.

Berjubel di kanopi (foto: dok pri)
Berjubel di kanopi (foto: dok pri)
Ketika barang bawaan berupa makanan dinyatakan layak masuk, seluruh barang pribadi pembesuk meliputi tas, handphone, serta benda lainnya wajib ditinggal di loker. Selesai mengunci loker, sipir melakukan pemeriksaan badan. Dari mulai rokok, kunci kontak hingga korek api ditanyakan. Setelah diyakini aman, pembesuk diijinkan melewati pintu kedua untuk menemui napi tapi terlebih dulu bagian tangan harus distempel.

Tanda mata dari Lapas berupa stempel (foto: dok pri)
Tanda mata dari Lapas berupa stempel (foto: dok pri)
Di aula lapas yang cukup besar, para napi dipertemukan dengan sanak keluarganya. Mereka diberi kesempatan berbincang 30 menit. Sementara bagi pembesuk yang baru saja tiba, diminta menyerahkan nama napi yang akan dibesuknya kepada tamping (tahanan pendamping atau napi yang bertugas membantu sipir). Usai menyebut nama Ari, prosedur terakhir adalah menunggu. Lumayan lama menanti kedatangan Ari, kurang lebih 15 menit, ia tiba sembari cengar-cengir seakan tak memiliki dosa.

Dalam perbincangan selama 30 menit, banyak hal yang bisa diceritakan. Ternyata Ari dan rekan-rekannya sesama napi narkoba yang mendapat rehabilitasi, tak pernah keluar dari bloknya. Segala aktivitasnya (yang paling banyak merenung) dikerjakan di kamar (sel) atau di blok. Soal menu makanan? Jangan ditanya, dijamin orang di luar lapas tidak bakal doyan. “Pokoknya jatah makan rasanya hanya dua. Kalau tidak asin ya tawar,” ungkapnya seraya nyengir.

Di pojok aula, seorang ibu berumur sekitar 70 tahun, menangisi putra bungsunya yang untuk kedua kalinya diperam di lapas ini. Ironisnya, kasusnya juga sama, yakni narkoba. Hanya berjarak sejengkal, seorang gadis cantik matanya sembab di hadapan sang kekasih. Lagi-lagi kesandung perkara barang laknat. Sedang pemuda yang di depannya hanya tersenyum kecut. Di sebelah pintu, dua anak kecil berumur 6 dan 4 tahun terlihat mendekap erat ayahnya yang dibelit kasus penggelapan.

Di aula, yang menjadi lokasi open house, terlihat canda, tangis, emosi, hingga kesedihan. Orang-orang terbuang tersebut, sepertinya bahagia dikunjungi kerabatnya. Seakan waktu 30 menit berlalu sedemikian cepat. Ketika waktu yang ditetapkan habis, petugas memberikan tanda. Untuk keluar melewati dua pintu portir, masih ada prosedur yang dilalui, yakni mengantre pengambilan KTP dan pemeriksaan stempel yang ada di tangan. Langkah ini dilakukan guna mengantisipasi adanya napi yang mencoba kabur dengan membaur kerumunan pembesuk.

Itulah sedikit catatan tentang open house bersama para napi. Apa pun kasusnya, di lapas kastanya tetap sama, yakni terpidana. Bila open house yang digelar pejabat tidak melalui pemeriksaan berlapis-lapis, sebaliknya, di sini untuk bertemu selama 30 menit, orang harus menunggu birokrasi selama hampir 3 jam. Pesan moral yang perlu disebarluaskan, jangan melanggar hukum bila tak sudi kebebasannya terkekang. Sebab, senikmat apa pun kehidupan di balik tembok bui, tetap lebih nikmat menjalani kehidupan sebagai orang yang merdeka. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun