Tradisi kungkum atau sekedar membasuh wajah pada malam 21 (bahasa Jawa selikuran) bulan suci Ramadan di Sendang Senjoyo, Desa Tegalwaton, Tengaran, Kabupaten Semarang, sepertinya tak tergerus jaman. Di era teknologi yang semakin pesat, masih banyak orang yang meyakini bahwa melakukan ritual tersebut akan membawa manfaat bagi dirinya.
Seperti yang terjadi Sabtu (25/6) malam, ratusan orang dari berbagai kota mendatangi areal Sendang Senjoyo yang memang sarat lagenda tersebut. Meski cuaca mendung, namun tak menghalangi banyak orang bertandang ke lokasi ini. Tujuannya, selain menyukuri ibadah puasa yang sudah mencapai 20 hari, juga mencari ketenangan batin sembari berdoa. “ Saya sudah sepuluh kali ke sini setiap malam selikuran,” kata Hadi (56) warga Desa Telogorejo, Kabupaten Demak.
Hadi mengaku datang ke Sendang Senjoyo selepas berbuka, biasanya setelah melakukan ritual kungkum (berendam), ia begadang semalaman. Usai sholat Subuh, baru meninggalkan tempat yang sakral ini untuk pulang ke rumahnya. Menurutnya,berdoa di Senjoyo bukan berarti meminta sesuatu kepada “penunggu”, tetapi, doa tetap ditujukan pada Allah SWT. “ Hanya tempatnya saja di sini, rasanya lebih mengena,” tukasnya.
Sembari merendam tubuhnya di sendang, Kaswanto dibimbing ayahnya untuk memanjatkan doa agar diberi keselamatan, kesehatan dan rejeki yang cukup. Entah faktor sugesti yang begitu kuat atau memang Allah menyayanginya, belakangan apa yang dimintanya terpenuhi. “ Karena merasa mantap, akhirnya setiap malam selikuran saya ke sini meski pun tanpa didampingi bapak,” jelasnya.
Menjelaskan soal ritual kungkum yang dilakoninya, Kaswanto mengaku tidak tahu persis asal - usulnya. Kendati begitu, menurut ayahnya, mandi mau pun berendam adalah sutau tradisi yang berarti upaya membersihkan diri sekaligus mensucikan badan dari pikiran – pikiran buruk. “ Saya ke sini bersama empat orang teman, yang kungkum hanya dua orang. Jadi tidak ada keharusan seseorang yang datang harus ikut kungkum,” tukasnya serius.
Tradisi Ratusan Tahun
Seperti pada bulan- bulan Ramadan sebelumnya, usai Maghrib, akses masuk ke areal Senjoyo dipagar betis oleh panitia. Setiap orang yang akan memasukinya, wajib membayar restribusi sebesar Rp 3.000/ orang dan parkir Rp 2.000. Untuk menarik minat pengunjung, dihelat reog dan musik dangdut yang beraksi di panggung terbuka. Hasilnya bisa ditebak, ratusan anak muda bergoyang di depan panggung. “ Pokoke joget, pokoke joget !” teriak salah satu pemuda dikerumunan.
Sendang Senjoyo sendiri, sejak lama dikenal dengan lagenda Joko Tingkir alias Mas Karebet. Di mana, sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda diketahui sebagai tempat yang sakral. Selain untuk ritual kungkum semalam suntuk pada hari-hari tertentu, juga selalu menjadi tujuan tradisi padusan. Sedang tradisi lainnya adalah malam selikuran yakni, bila cuaca cerah, ratusan orang datang ke tempat ini untuk menggelar tradisi kungkum.
Karena diyakini merupakan petilasan Keraton Pajang, maka, oleh masyarakat setempat kompleks Senjoyo dianggap sangat sakral. Sehingga, banyak pantangan yang yang diberlakukan di sini untuk menjaga kebersihan Senjoyo dari berbagai maksiat. Terlepas soal ritual kungkum tersebut berpengaruh atau tidak terhadap kehidupan orang yang menjalaninya, namun, tradisi yang tetap terjaga ini layak diapresiasi. Di tengah gempuran berbagai gaya hidup moderen, ternyata, peninggalan tempo dulu masih lestari. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H