Berjarak sekitar 20 kilometer dari kota Salatiga, terdapat harta peninggalan pemerintahan kolonial Belanda yang sarat sejarah. Harta tersebut bernama Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) tertua di Indonesia. Bagaimana kabarnya sekarang? Berikut penelusuran saya.
Sabtu (14/5) siang, sekitar pukul 13.00 bersama pasangan abadi, saya berangkat ke PLTA Jelok. Karena jalur utama ke arah Bringin macet akibat perbaikan jalan, saya mengambil rute melewati Kecamatan Tuntang. Kondisi jalan relatif bagus, beberapa kali melintasi hutan karet yang mampu membangkitkan romantisme masa lalu. Sehingga tak terasa, sepeda motor sudah memasuki kawasan Jelok.
Dari pintu gerbang Jelok, terlihat PLTA itu berada di ujung dusun paling bawah. Melewati jalan menurun yang curam, akhirnya tiba juga di tujuan. Sayangnya, penjagaan sangat ketat, sehingga kami tidak diijinkan memasuki areal PLTA. “ Kalau mau masuk, harus mengajukan ijin tertulis dulu pak. Tanpa ijin terlebih dulu, memang aturannya tak boleh masuk,” kata Kisman (45) karyawan Indonesia Power yang menjadi pengelola PLTA Jelok.
ANIEM sendiri merupakan perusahaan asal Amterdam yang oleh pemerintahan kolonial diberi hak penuh mengelola listrik sejak tahun 1909. Dalam kondisi jaman yang serba susah, ANIEM juga mempunyai wewenang membangun PLTA. Tahun 1938, dipilih lokasi Jelok untuk didirikan PLTA pertama di Indonesia. “Sebelumnya sudah ada PLTA di Susukan, entah dibangun tahun berapa yang jelas sebelum PLTA Jelok dibangun. Tempatnya di situ,” jelas Kisman menunjuk lahan belukar yang hanya berjarak 10 meter.
Keberadaan PLTA Jelok di jaman pemerintahan kolonial Belanda memegang peranan sangat vital. Di mana, dari lokasi yang relatif pelosok ini, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang hingga Kota Semarang memperoleh pasokan setrum. Kendati jatah rumah pribadi hanya dicatu sekitar 60 watt, namun, di masa itu aliran listrik menjadi simbol status sosial masyarakat. Selain warga Eropa, juga golongan ningrat saja yang mampu menikmati listrik.
Paska kemerdekaan, pengelolaan PLTA Jelok diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia. Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang ditugaskan mengelola jaringan listrik, belakangan merasakan kapasistas PLTA Jelok sudah tidak memadai lagi. Terkait hal tersebut, tahun 1957 dibangun PLTA Timo yang berjarak sekitar 4 kilo meter. Air yang sebelumnya dipakai menggerakkan turbin di Jelok, ditampung di Kolam Tandu. Selanjutnya melalui pipa berdiameter 3 meter dialirkan menuju PLTA Timo.
Dari PLTA Timo yang mempunyai tiga generator, mampu dihasilkan listrik sebesar 12 megawatt. Sebelum air dimanfaatkan menggerakkan turbin, di Kolam Tandu air tersebut juga digunakan sebagai tempat memelihara ikan yang setiap orang boleh memancingnya. Syaratnya, selain membayar juga wajib mematuhi berbagai tata tertib. Bila Hari Minggu atau hari libur, biasanya banyak warga yang memancing sembari melepas penat di sini.
Kembali ke PLTA Jelok, menurut Kisman, saat ini penghasil setrum tersebut dikelola oleh Indonesia Power selaku anak perusahaan PT PLN. Kosekuensi pengambilalihan itu, para karyawan PT PLN yang sebelumnya berdiam di Jelok terpaksa harus hengkang. Hal itulah yang menyebabkan situasi areal PLTA Jelok semakin sepi. Bahkan, beberapa rumah dinas peninggalan Belanda, terlihat tak terurus.
Salah satu rumah besar yang diduga dulunya dihuni oleh kepala PLTA, terlihat kosong melompong. Kaca- kacanya raib, bangunan yang didominasi bebatuan tersebut, menurut kabar sudah dibeli oleh warga Salatiga. Padahal, rumah seluas hampir 300 meter persegi dan menempati lahan 1.000 meter persegi ini, semisal dirawat sangat eksotis. Dari ruangan dalam, pemandangannya wow! Teramat indah.