Apa yang disampaikan Kardiman memang ada benarnya, meski Kecamatan Bringin ke Salatiga hanya berjarak sekitar 15 kilometer, namun, di jaman kolonial tidak ada sarana transportasi yang memadai. Baru menjelang kemerdekaan muncul bus Esto yang melayani trayek Salatiga- Bringin, itu pun alat transportasi ini sarat diskriminasi.
Menurut Kardiman, kereta api dari Kedungjati yang menuju Ambarawa, biasanya mengangkut kayu- kayu dan para pedagang. Kondisi tersebut berjalan hingga tahun 1970 an, lalu lintas kereta api masih ramai. Hingga tahun 1976, saat sudah banyak kendaraan roda empat keluaran Jepang beroperasi, akhirnya opersional kereta api di jalur ini dipaksa berhenti. Kalah oleh mobil- mobil pick up buatan negeri sakura. Praktis, setelah segala aktifitas dihentikan, jalur rel jadi lahan empuk yang dikuasai warga. Sedang rel mau pun bantalannya nya juga banyak dijarah.
Dari cerita Kardiman ditambah kondisi riil jalur kereta api Tuntang ke Kedungjati, maka, bisa disimpulkan bahwa langkah reaktivasi yang dilakukan oleh PT KAI, bakal menelan biaya yang sangat besar. Baik untuk membangun rel mau pun restorasi Stasiun- Stasiun yang akan dilewati, nantinya bakal menguras tenaga dan dana. Sedang azas manfaatnya, sepertinya kurang maksimal di saat hampir semua orang memiliki kendaraan (minimal roda dua). Paling banter, semisal dihidupkan, sebatas untuk kereta wisata. Itulah catatan saya ketika menelusuri bangunan cagar budaya yang nasipnya mengenaskan. Bagaimana dengan kota lain ? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H