Bila bicara soal atletik, khususnya di nomor lari jarak menengah dan marathon, masyarakat di Republik ini sulit melepaskan dari sosok bernama Yon Daryono, pemilik sekaligus manajer Klub Atletik Dragon Kota Salatiga. Ya, dirinya memang pejuang serta legenda yang menghabiskan separuh hidupnya untuk membesarkan atletik.
Yon Daryono, pria kelahiran 10 Oktober 1946 hingga sekarang masih aktif melatih sekitar 15 orang atletnya. Kendati sempat didera penyakit stroke, semangatnya tetap menggebu untuk menggembleng anak-anak asuhannya agar mampu berprestasi di level nasional mau pun internasional. “Darah daging saya adalah atletik, jadi tak mungkin saya melepaskannya dalam kondisi apa pun,” ungkap Yon, Jumat (15/4) sore di Stadion Kridanggo, Kota Salatiga.
Kisaran tahun 1962-1974, Yon Daryono adalah atlet PON era itu. Saat prestasinya mulai memudar, ia merantau ke Jakarta bekerja di perfilman. Karena peruntungannya tetap tak kunjung ketemu, akhirnya tahun 1980 dirinya kembali ke Salatiga. Secara perlahan, direkrutnya anak-anak sekolah untuk dilatih atletik nomor lari jarak pendek, menengah, dan marathon.
Dua tahun setelah Dragon berdiri, Yon Daryono sukses menggelar event Pemudathon, yakni lomba lari jarak 10 kilometer. Hajatan yang sama di tahun 1986 kembali digelar, dalam kesempatan tersebut, ikut hadir ke Salatiga Menpora RI Abdul Ghafur. Kedatangan seorang Menteri di masa Orde Baru di daerah, saat itu dianggap sebagai berkah. Terbukti, ketika mendengar penjelasan Yon Daryono bahwa atlet- atletnya setiap hari hanya berlatih di Lapangan Pancasila, belakangan Abdul Ghafur meresponsnya.
Berkat bantuan Abdul Ghafur, tahun 1988 Presiden ke-2 Soeharto memberikan bantuan berupa Stadion Kridanggo yang berfungsi sebagai lapangan bola sedang pinggirnya dibuat jalur lintasan untuk latihan lari. Selain itu, Yon Daryono juga diberi fasilitas bangunan kamar-kamar atlet sekaligus markas Klub Atletik Dragon yang lokasinya hanya sepelemparan batu dari stadion.
Setelah mendapatkan fasilitas latihan, para pelari Dragon semakin berkibar. Atlet-atlet seperti Suryati (juara marathon Asia) yang juga pernah menjadi pemegang rekornas nomor jarak menengah (10 K), Maryati Sukoco, Heny Melon (juara nomor 1.500 Asia), Rumini Sudragni, Erny Ulatingsih praktis selalu menyapu gelar di berbagai kejuaraan. Demikian pula dengan jajaran pelari putra, nama-nama Hendro suwarno, Lucan Yatindas, Teguh Setyaji, Supriyadi (sekarang anggota TNI AD), Fery Junaidi hingga Lestariyanto mampu merajai jalanan.
Dalam setiap kejuaraan lari 10 K maupun marathon di Tanah Air, para pelari Dragon selalu mendominasi, terkadang urutan 1-4 dipegang atlet-atlet Dragon. Terakhir saya pernah mengawal saat lomba lari 10 K di Jakarta tahun 1992 yang diadakan oleh harian Suara Pembaharuan. Bila tak salah ingat, pelari Dragon menyabet gelar juara 1,2 dan 3. Tahun-tahun 1990-an benar-benar menjadi masa kejayaan Dragon, kebetulan Klub Atletik Lokomotif besutan Alwi Mugiyanto tengah dirintis. Otomatis, belum dianggap pesaing.
Di masa jaya, saya kerap berdiskusi dengan Yon Daryono di markas Dragon. Sepanjang saya ketahui waktu itu (tahu 1992-2000), klub yang dipimpinnya mendapat dukungan penuh dari salah satu perusahaan rokok terkenal. Sehingga, hal-hal terkait finansial bukan suatu masalah baginya. Bahkan, saat ada tawaran melatih ke Brunai dengan gaji menggiurkan, Yon bergeming. Ia lebih suka berada di antara atlet-atletnya di Salatiga.
Yon yang saya kenal sejak tahun 1989, merupakan type pria yang keras kepala. Kadang ia kerap melawan kebijakan PB PASI di bawah kepemimpinan Bob Hasan. Berulang kali atletnya dipanggil Pelatnas untuk persiapan event internasional, namun, dirinya menolak melepasnya. Dia lebih suka melatih sendiri anak asuhannya meski risikonya nama pelarinya dicoret dari daftar atlet Pelatnas. “Di Pelatnas, atlet harus beradaptasi dengan pelatih yang baru. Itu membuang waktu dan tidak efektif,” ungkapnya suatu hari.
Sayang, saat Klub Atletik Lokomotif menemukan Ruwiyati dan Trianingsih, Yon Daryono malah kehilangan atlet andalannya. Suryati yang dijuluki sebagai ratu atletik nasional, mendadak pindah ke Binjai, Sumatera Utara mengikuti calon suaminya. Sementara para pelari lainnya prestasinya juga mulai surut akibat usia emasnya sudah memudar. Perlahan tapi pasti, di awal tahun 2004 keberadaan Klub Atletik Dragon menurun tajam. Terlebih lagi Yon Daryono terkena serangan stroke, praktis anak-anak asuhannya tak terkontrol latihannya.