Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melongok Istana Konglomerat Salatiga di Jaman Kolonial

14 April 2016   17:13 Diperbarui: 15 April 2016   00:23 3552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Istana Djoen Eng yang kubahnya dilapis emas (foto: dok humas setda Pemkot Salatiga)"][/caption]Bagi warga Kota Salatiga mau pun masyarakat Jawa Tengah, kompleks Rumah Khalwat Roncalli  tak lebih dari sekedar tempat religius bagi  para umat Katholik, bruder, frater, suster dan imam. Padahal, gedung ini menyimpan sejarah panjang tentang cita rasa tinggi  seorang konglomerat Tionghoa bernama Kwik Djoen Eng . Bagaimana sepak terjangnya juragan besar di jaman kolonial ini ? Berikut penelusurannya.

Djoen Eng di tahun 1877 dikenal sebagai pengusaha muda tangguh di Kota Semarang, dengan bendera perusahaan bernama N.V. Kwik Hoo Tong Handel Maatschappij ( KHTHM) ia malang melintang di bidang ekspor impor hasil bumi. Hingga 43 tahun kemudian, yakni tahun 1920 ia telah menjelma menjadi konglomerat di era kolonial Belanda. Dirinya menguasai perdagangan luar negeri antara lain Cina, Eropa dan Amerika).

Konon Djoen Eng berasal dari Taiwan, di mana pertengahan abad 19, ia bersama empat saudaranya terdiri atas Kwik Hong Biauw, Kwik Ing Djie , Kwik Ing Sien dan Kwik Ing Hi merantau ke tanah Jawa. Kendati sama- sama mengais rejeki di Pulau Jawa, namun, hidup mereka berpencar di berbagai kota seperti Semarang, Solo, Salatiga, Yogyakarta serta Surabaya.

Kwik bersaudara yang sebelumnya kompak bahu membahu berbisnis hasil bumi, akhirnya sepakat mendirikan N.V. KHTHM yang bergerak di bidang ekspor impor. Nyaris seluruh bumi Nusantara dirambahnya, kendati begitu, mereka fokus pada perdagangan gula. Sebagai Raja kecil di Salatiga, praktis tidak ada barang yang tak mampu dibeli oleh Djoen Eng. Birokrasi pemerintahan kolonial Belanda yang serba keras dan memiliki tingkat disiplin tinggi, berhasil diterobosnya.

[caption caption="Istana Djoen Eng sekarang ini (foto: dok pribadi)"]

[/caption]Kawasan Jalan Diponegoro Kota Salatiga yang waktu itu bernama Toentangschweg adalah pemukiman kalangan Eropa. Tidak ada satu pun kaum pribumi yang diperbolehkan bermukim di sini, semisal terdapat satu dua pribumi, bisa dipastikan orang tersebut mempunyai jabatan di pemerintahan. “ Orang pribumi biasa, meski punya duit sangat diharamkan membeli lahan di situ,” tutur almarhumah Oma Martha, blasteran Belanda- Jawa yang sangat paham seluk beluk pemerintahan kolonial.

Oma Martha yang kerap saya jadikan referensi masa lalu menuturkan, meski pihak kolonial tak membuka celah sedikit pun bagi pribumi untuk mendirikan bangunan di kawasan Toentangschweg, namun, berkat kepiawaian Djoen Eng, ia mampu membeli lahan seluas 12 hektar lahan.” Bisa dikata tidak ada yang tidak bisa dibeli oleh Djoen Eng ,” jelasnya.

[caption caption="Halaman Istana Djoen Eng (foto: dok pribadi)"]

[/caption]Kenapa Djoen Eng memilih membangun istananya di Salatiga ? Banyak dugaan yang beredar, selain faktor prestise mampu tinggal di kawasan bergengsi yang didominasi orang Eropa, kondisi Kota Salatiga sendiri saat itu benar- benar jadi idaman semua orang berduit. Letaknya yang di ketinggian 850 mdlp, ditambah jumlah kendaraan bermotor bisa dihitung dengan jari, tak pelak udaranya benar- benar sejuk hingga membuat betah penghuninya.

Kubah Berlapis Emas

Djoen Eng yang  mempunyai empat anak, berkeinginan membangun sebuah istana di lahan yang dibelinya. Untuk itu, tahun 1921 ia memulai proses pembangunannya. Memanfaatkan arsitektur Tionghoa, istana yang didirikan menggunakan bahan meterial kelas satu. Hampir empat tahun para kuli dan tukangnya bekerja guna menuntaskan gedung megah dua lantai yang oleh warga setempat disebut sebagai Istana Cuneng tersebut.

[caption caption="Pintu gerbang Istana Djoen Eng (foto: dok pribadi)"]

[/caption]Di areal seluas 12 hektar itu, Djoen Eng memadukan istana yang dikelilingi kebun hias, kolam ikan, kebun kopi dan juga kebun binatang. Untuk gedungnya sendiri, benar- benar sangat mewah, terdapat satu menara dikelilingi empat menara (kubah)  lebih kecil yang melambangkan Djoen Eng bersama empat anaknya. Hebatnya, kubah- kubah itu berlapis emas murni. “ Kalau kata papahku, untuk membangun istana itu, Djoen Eng menghabiskan uang hampir 3 juta gulden,” ungkap Oma Martha.

Kendati menyandang status sebagai orang terkaya di Salatiga, namun, Djoen Eng ternyata tak bisa berlama – lama menikmati istananya. Berkisar tujuh tahun kemudian, sekitar tahun 1932 ketika terjadi krisis ekonomi, perusahaannya mengalami kebangkrutan. Celakanya, ia memiliki hutang di Javasche Bank dalam jumlah yang tidak sedikit. Akibatnya, istana yang dibangun berikut lahannya disita oleh bank jaman kolonial. Paska penyitaan aset, Djoen Eng menghilang. Ada yang menyebut dirinya meninggal di Singapura tetapi banyak pula yang menuturkan dia kembali ke tanah leluhurnya.

Berada dibawah pengawasan Javasche Bank, istana Djoen Eng sempat terlantar tanpa penghuni. Baru di tahun 1940, Fratres Immaculatae Conceptionis (FIC) Indonesia membelinya. Saat pembelian, belum ada gambaran akan dimanfaatkan untuk apa kompleks seluas 12 hektar itu. Menjelang FIC masih terbingung- bingung memikirkan penggunaannya, mendadak Gubernemen Hindia Belanda mengambil alihnya. Istana megah tersebut dijadikan kamp tahanan. Dua tahun kemudian, tentara Jepang yang merangsek ke Salatiga, ganti menyerobotnya.

[caption caption="Bagian belakang Istana yang jadi SMP Pangudi Luhur (foto: dok pribadi)"]

[/caption]Sempat dijadikan kamp interniran orang- orang Belanda yang ditangkap tentara Jepang, sekitar 170 orang yang terdiri atas warga Belanda,bruder mau pun pastor diperam di tempat ini. Usai kemerdekaan Republik Indonesia, Jepang yang terbirit- birit kabur meninggalkan istana Djoen Eng, membuat tentara Indonesia ganti mendudukinya. “Cuma sebentar tentara Indonesia di situ, kalau tidak salah tahun 1946-1949 istana Djoen Eng malah dijadikan markas militer Belanda yang kembali lagi ke Salatiga,” tukas Oma Martha.

Baru setelah Belanda benar- benar meninggalkan Salatiga, tahun 1949 para bruder mulai menempati istana Djoen Eng. Lokasi ini selain difungsikan menjadi tempat tinggal bruder, juga dimanfaatkan sebagai asrama. Sedangkan di bagian belakang dipergunakan untuk SMP pangudi Luhur (sampai sekarang SMP tersebut masih berjalan baik, meski tak sepopuler jaman dulu).

Tahun 1968 ketika Institut Roncalli didirikan, pimpinan FIC menganggap eks istana Djoen Eng dianggap kurang sesuai ditempati para bruder yang cara hidupnya bersahaja. Untuk itu, setahun kemudian dilakukan renovasi besar- besaran. Gedung utama yang mempunyai kubah emas, dipangkas habis agar kesan mewahnya lenyap. Lantai dua diubah jadi 40 kamar sehingga azas manfaatnya semakin terasa. Tahun 2008, nama Institut Roncalli berganti nama menjadi Rumah Khalwat Roncalli sampai sekarang.

Lantas apa kabar istana Djoen Eng sekarang ? Kamis (14/4) sore, saya melongok kompleks tersebut. Di pintu gerbang terdapat tulisan : Bukan Tempat Umum. Kendati begitu, tak ada satu pun penjaga yang terlihat. Saat memasuki halaman, ada kesan adem karena sinar matahari tertahan oleh banyaknya pohon pinus dan berbagai pohon lainnya. Nyaris seluruh areal terlihat bersih, udaranya terasa sangat sejuk.Keheningan seperti galibnya tempat yang religius amat kentara sekali, seakan daun kering yang jatuh pun bakal terdengar. Berada di lahan nan luas ini, mirip tinggal di hutan tengah kota.

Sepintas terlihat, beberapa ornamen Tionghoa peninggalan Djoen Eng masih dipertahankan dengan baik. Lantai ubin yang beragam motif dipadu marmer, lukisan kaca, gardu taman yang merah menyala tetap terpelihara. Sementara di bagian belakang SMP Pangudi luhur, digunakan sebagai Biara Betlehem serta Bruderan FIC. Sedang kebun yang luas terlihat dipenuhi aneka tanaman. Istana yang dulunya disebut paling megah ini, ternyata tak abadi dihuni pemiliknya. Itulah hidup, tidak ada yang permanen. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun