Berada dibawah pengawasan Javasche Bank, istana Djoen Eng sempat terlantar tanpa penghuni. Baru di tahun 1940, Fratres Immaculatae Conceptionis (FIC) Indonesia membelinya. Saat pembelian, belum ada gambaran akan dimanfaatkan untuk apa kompleks seluas 12 hektar itu. Menjelang FIC masih terbingung- bingung memikirkan penggunaannya, mendadak Gubernemen Hindia Belanda mengambil alihnya. Istana megah tersebut dijadikan kamp tahanan. Dua tahun kemudian, tentara Jepang yang merangsek ke Salatiga, ganti menyerobotnya.
[caption caption="Bagian belakang Istana yang jadi SMP Pangudi Luhur (foto: dok pribadi)"]
Baru setelah Belanda benar- benar meninggalkan Salatiga, tahun 1949 para bruder mulai menempati istana Djoen Eng. Lokasi ini selain difungsikan menjadi tempat tinggal bruder, juga dimanfaatkan sebagai asrama. Sedangkan di bagian belakang dipergunakan untuk SMP pangudi Luhur (sampai sekarang SMP tersebut masih berjalan baik, meski tak sepopuler jaman dulu).
Tahun 1968 ketika Institut Roncalli didirikan, pimpinan FIC menganggap eks istana Djoen Eng dianggap kurang sesuai ditempati para bruder yang cara hidupnya bersahaja. Untuk itu, setahun kemudian dilakukan renovasi besar- besaran. Gedung utama yang mempunyai kubah emas, dipangkas habis agar kesan mewahnya lenyap. Lantai dua diubah jadi 40 kamar sehingga azas manfaatnya semakin terasa. Tahun 2008, nama Institut Roncalli berganti nama menjadi Rumah Khalwat Roncalli sampai sekarang.
Lantas apa kabar istana Djoen Eng sekarang ? Kamis (14/4) sore, saya melongok kompleks tersebut. Di pintu gerbang terdapat tulisan : Bukan Tempat Umum. Kendati begitu, tak ada satu pun penjaga yang terlihat. Saat memasuki halaman, ada kesan adem karena sinar matahari tertahan oleh banyaknya pohon pinus dan berbagai pohon lainnya. Nyaris seluruh areal terlihat bersih, udaranya terasa sangat sejuk.Keheningan seperti galibnya tempat yang religius amat kentara sekali, seakan daun kering yang jatuh pun bakal terdengar. Berada di lahan nan luas ini, mirip tinggal di hutan tengah kota.
Sepintas terlihat, beberapa ornamen Tionghoa peninggalan Djoen Eng masih dipertahankan dengan baik. Lantai ubin yang beragam motif dipadu marmer, lukisan kaca, gardu taman yang merah menyala tetap terpelihara. Sementara di bagian belakang SMP Pangudi luhur, digunakan sebagai Biara Betlehem serta Bruderan FIC. Sedang kebun yang luas terlihat dipenuhi aneka tanaman. Istana yang dulunya disebut paling megah ini, ternyata tak abadi dihuni pemiliknya. Itulah hidup, tidak ada yang permanen. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H