Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pasar Kerajinan Lopait Menggeliat 24 Jam Non Stop

25 Februari 2016   17:29 Diperbarui: 25 Februari 2016   17:50 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pasar Kerajinan Lopait saat menjelang maghrib (foto: bamset)"][/caption]

Keberadaan sekitar 100 pedagang kecil di Pasar Kerajinan Lopait, Tuntang, Kabupaten Semarang sangat menarik.Pasalnya, kendati modal para pelaku usaha relatif kecil, namun mampu bertahan selama puluhan tahun. Berikut hasil penelusuran saya, Kamis (25/2) sore.

Secara resmi, deretan kios di pinggir jalan utama Bawen- Salatiga ini tidak pernah diresmikan sebagai Pasar Kerajinan. Sebab, awalnya para pedagang yang hanya berjumlah puluhan berdagang buah- buahan. Hingga usai reformasi , yakni tahun 1998, pedagang mengalihkan barang yang dijualnya. Entah siapa yang memulai, mendadak berbagai buah digusur, tergantikan oleh dengan aneka produk kerajinan.

Berbagai barang kerajinan seperti mainan anak- anak, rotan, bunga hiasan, gerabah,wajan, cobek hingga replika truck dijadikan komoditas untuk menarik perhatian pembeli. Dalam transaksi sendiri, seperti layaknya pasar tradisional, maka tawar menawar harga pun selalu mewarnai proses pembelian. Kepiawaian dalam negoisasi harga sangat dibutuhkan agar mampu membawa barang yang diinginkan.

[caption caption="Mainan truck kayu mulai yang kecil sampai besar tersedia (foto: bamset)"]

[/caption]

Bila pada awal berdiri, yakni di tahun 1998 jumlah kios hanya sebatas puluhan, belakangan populasinya sangat cepat berubah. Hingga sekarang, terdapat sekitar 100 kios berukuran rata- rata 4 X 5 meter. Rupanya pesona penjualan berbagai barang hasil kerajinan mampu menjadi magnet tersendiri bagi warga desa Lopait. Maklum, kendati modal yang dibutuhkan tak begitu besar, namun hasilnya cukup lumayan. Sehingga, tak heran selama puluhan tahun mereka bisa bertahan.

“ Ibarat daging sapi yang sudah sangat tua, dagingnya dicokot- cokot alot (digit-git alot),” kata salah satu pedagang yang enggan disebut namanya. Yang dia maksud, dengan modal sedikit, tetapi hasilnya bisa dinikmati dalam jangka waktu lama kendati tak begitu besar.

Memang, menjadi pedagang di Pasar Kerajinan Lopait ini, saat memulai berdagang hanya membutuhkan modal berkisar Rp 3- 5 juta (waktu itu). Bila kiosnya milik sendiri, maka uang Rp 3 juta bisa dimanfaatkan untuk kulakan aneka barang. Namun, semisal belum mempunyai kios, otomatis harus menyewa yang besarnya sekitar Rp 2 juta pertahun. Selanjutnya, sisa modal dipergunakan mengisi dagangan.

Karena konsumen yang disasar adalah pengguna jalan yang lalu lintasnya cukup padat, maka bisa dimaklumi bila Pasar Kerajinan Lopait ini tak memiliki batasan jam buka mau pun tutupnya. Hampir 24 jam penuh, para pedagang membuka kiosnya. Pasalnya, calon pembeli yang ingin memborong dagangan juga tidak menentu waktunya. Bahkan, kadang pagi dini hari pun, terdapat orang yang singgah untuk belanja.

[caption caption="Deretan kios yang jajakan aneka ragam kerajinan (foto: bamset)"]

[/caption]

Hari Libur Masa Panen

Para pedagang di Pasar Kerajinan Lopait, sebenarnya tidak didominasi oleh warga sekitar. Beberapa pedagang pendatang ikut nimbrung membuka kios, meski begitu, tidak terlihat persaingan dagang yang menyolok. Jenis barang dagangan yang nyaris sama, menjadikan hak calon pembeli yang menentukan memilih. “ Semisal mobilnya berhenti di depan kios saya, tetapi belanjanya di kios lain, bagi kami tak masalah. Berarti memang bukan rejeki saya,” ungkap pedagang yang sama.

Memang, pedagang kecil sepertinya lebih bijak dalam mencerna situasi. Berbeda dengan pedagang besar (pengusaha) yang cenderung memonopoli pasar dan bila perlu membunuh pesaingnya. Perilaku pedagang di Pasar Kerajinan Lopait, cukup mengherankan. Kendati sama- sama mengais rejeki di tepi jalan raya, namun, unsur kekeluargaan antara satu dan yang lain sangat terasa. “ Di sini kan sama- sama cari makan pak. Buat  apa bersaing dengan cara yang tidak sehat,” jelasnya.

[caption caption="Bunga kertas campur wajan (foto: bamset)"]

[/caption]

Seperti galibnya dunia usaha, kondisi Pasar Kerajinan Lopait juga mengenal pasang surut. Memasuki awal awal tahun yang kebetulan biasanya musim penghujan, maka, para pedagang tengah mengalami masa paceklik. Konsumen tak seramai musim kemarau, paling banter omzet kotor yang dikantongi pedagang berkisar Rp 300 an ribu sehari. Dari omzet tersebut, rata- rata marginnya antara 10 hingga 20 persen.

Biasanya masa paceklik berjalan hampir empat bulan (Januari-April), hingga masuk ke bulan Mei, secara perlahan omzet pedagang mulai merangkak naik. Terlebih lagi saat liburan tiba, omzet penjualan bisa langsung naik drastis. Satu pedagang mampu meraup angka Rp 2 juta- Rp 3 juta sehari. Bisa dikata, liburan baik libur sekolah, libur hari raya adalah masa panen bagi pedagang di Pasar Kerajinan Lopait.

Satu catatan yang cukup menarik, meski menyandang label sebagai pusat kerajinan, namun berbagai produk kerajinan sebenarnya bukan produksi pengrajin  kabupaten Semarang mau pun Salatiga. Barang- barang dagangan tersebut kebanyakan didatangkan pemasok dari Klaten, Boyolali dan Magelang. Secara rutin, seminggu 3 kali pemasok melakukan droping dagangan. Transaksinya pun  beragam, ada yang mengambil barang terlebih dulu, tetapi tak sedikit yang harus dibayar di depan.

Itulah sedikit gambaran keberadaan Pasar Kerajinan Lopait, geliat pedagang kecil yang mengharap uang kecil di pingggir jalan raya. Bila anda kebetulan melewatinya dan membutuhkan produk aneka rotan, bunga hias, mainan tradisional anak- anak hingga peralatan dapur, silahkan singgah. Di sini, dibutuhkan keberanian tawar menawar. Keberanian negoisasi soal harga sangat dibutuhkan agar memperoleh harga yang serendah mungkin. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun