Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengubah Barang Bekas Menjadi “Sepeda Motor” Lawas

23 Februari 2016   19:28 Diperbarui: 5 November 2017   11:24 19329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila hanya melihat gambar “sepeda motor” lawas yang berjajar ini, maka orang akan menyangka bahwa motor- motor jadul tersebut milik para penggemar barang kuno yang tengah diparkir di garasi. Namun, bila dicermati, sebenarnya beragam kendaraan roda dua itu hanyalah miniatur yang dibuat oleh  Agit Sasongko warga Jalan Tlogo Tirto, Pancuran, Kutowinangun, Tingkir, Kota Salatiga.

Agit pria berusia 45 tahun tersebut sangat sadar benar, ia hidup di Kota Salatiga yang kecil dan memiliki keterbatasan lapangan pekerjaan. Untuk itu, bila tak cerdas mensiasatinya, maka bakal repot sendiri. Sejak lama dirinya enggan mencari kerja, dia lebih suka menciptakan lapangan pekerjaan dibanding harus keluar masuk perusahaan sekedar mengantarkan berkas lamaran. Meski hanya menjadi pengrajin alat mancing, tetapi statusnya bukan pengangguran.

Motor jadul yang menawan made in Pancuran (foto: dok AS)
Motor jadul yang menawan made in Pancuran (foto: dok AS)
Untuk menjaga periuk nasi di rumahnya tetap mengepul, Agit sejak lama menjadi pengrajin peralatan pancing. Nyaris saban hari ia berkutat dengan lembaran timah, spon  dan kawat alumunium ( tenol). Benda- benda tersebut memang merupakan bahan baku pembuatan alat pancing. Hingga tiga tahun yang lalu, ketika lagi sepi order, otaknya berfikir keras agar mampu berinovasi tak hanya menekuni peralatan memancing. Melihat barang- barang bekas yang merupakan limbah pembuatan alat pancing, mendadak terbersit untuk memanfaatkannya.

 “ Waktu itu timbul gagasan, rasanya dengan bahan limbah yang sama, saya bisa membuat miniatur sepeda motor,” kata Agit saat saya temui, Selasa (23/2) sore.

Miniatur yang sangat detail ala Agit (foto: dok AS)
Miniatur yang sangat detail ala Agit (foto: dok AS)
Enggan berlama- lama gagasan itu hanya mengeram di pikirannya, Agit langsung bereksperimen. Melalui kejelian serta berkolaborasi dengan kesabaran, dalam tempo tiga hari tercipta miniatur sepeda motor jenis Harley Roundtank tahun 1915. Merasa memiliki kemampuan, ia kembali membuat miniatur lainnya. Celakanya, hasil produksinya ternyata diminati oleh para penggemar motor klasik. Padahal, harga yang dipatok tidak murah. Satu unit miniatur pembeli harus merogoh kantong sekitar Rp 300 ribu hingga Rp 800 ribu, tergantung tingkat kesulitannya. Semakin rumit, harganya makin mahal.

Karena produksi miniatur motor lawasnya direspon positif oleh pasar, Agit pun mantap menekuni bisnis tanpa pesaing ini. Melalui sistem penjualan online, dalam satu bulan ia mampu membuat 20 an miniatur.Agar konsumennya terpuaskan, dirinya juga menerima pesanan berbagai type sepeda motor. Kendati begitu, mayoritas pembeli lebih suka memilih sepeda motor lawas untuk dijadikan pajangan di rumahnya.

CB Gelatik yang menawan (foto : dok AS)
CB Gelatik yang menawan (foto : dok AS)
Tembus Luar Negeri

Dengan dibantu oleh salah satu tetangganya, produksi miniatur Agit praktis beredar dipasaran tanpa kendala yang berarti. Maklum, bisa dikata minim pesaing. Untuk membuat satu unit miniatur, ia membutuhkan waktu sekitar 3 hari. Namun, bila pesanan konsumen rumit, biasanya pengerjaan miniatur molor hingga lima hari. “Yang sulit membuat detail mesin dan asesoris. Karena bentuknya kecil, meleng sedikit ya harus mengulanginya,” jelas Agit.

Dalam membuat miniatur, ketelatenan Agit memang layak diacungi jempol. Salah satunya saat saya bertandang ke rumahnya,ia tengah merakit Yamaha RX King. Mulai dari ruji, shock beker, cakram hingga mesin dibuat sangat mirip aslinya. Begitu pun dengan roda motornya, ban yang dibuat dari spon, terlihat ada guratan selayaknya ban motor beneran.  “Sengaja saya buat semirip mungkin demi kepuasan konsumen,” ujarnya.

Yamaha RX King buatan Agit (foto: dok AS)
Yamaha RX King buatan Agit (foto: dok AS)
Selama tiga tahun bergelut dengan miniatur sepeda motor antik,Agit mengaku kesulitan mendongkrak omzet. Pasalnya, ada kendala pada sumber daya manusia yang terbatas. Semuanya harus ia kerjakan sendiri, meski memiliki anak buah, tetapi belum mampu merakitnya. Implikasinya, angka produksinya stagnan. Hanya 20 unit perbulannya. Padahal, umpama mempunyai SDM yang cukup, pesanan miniatur  ini selalu mengalir.

Menurut Agit, konsumen yang memesan miniatur buatannya berasal dari berbagai kota di Indonesia. Biasanya, calon pembeli memberikan foto detail sepeda motor , setelah dihitung dan ada kesepakatan harga baru Agit menggarapnya. Melalui jaringan pemasaran online, belakangan order juga datang dari berbagai negara seperti Thailand, Philipine serta Malaysia. Untuk pesanan jenis ini, biasanya ongkos kirimnya ditanggung pembeli. Anda berminat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun