[caption caption="Klenteng yang usianya sudah 144 tahun (foto: dok cagar budaya)"][/caption]
Klenteng Hok Tiek Bio atau tempat ibadah Tri Dharma di Kota Salatiga yang terletak di Jalan Sukowati, ternyata tahun ini usianya sudah mencapai 144 tahun. Banyak beragam cerita yang tersimpan di dalamnya, termasuk sejarah masuknya agama Budha di kota kecil tersebut. Berikut catatan saya mengenai tempat bersejarah itu.
Senin (22/2) sore, saya sebenarnya berencana melihat perayaan Cap Go Meh yang digelar warga keturunan Tionghoa di halaman Klenteng Hok Tiek Bio Kota Salatiga. Sesuai berita yang tersebar, bakal ada pertunjukan Barongsai terbesar. Penasaran dengan hal tersebut, sekitar pk 15.00, saya meluncur ke Jalan Sukowati, lokasi dipakainya berbagai atraksi. Tiba di tempat, ternyata jalan menuju pagelaran ditutup bagi kendaraan. Akhirnya, saya pun berjalan kaki.
[caption caption="Atraksi Barongsai terbesar dalam acara Cap Go Meh (foto: bamset)"]
Sekitar 100 meter dari Klenteng Hok Tiek Bio, ribuan warga Kota Salatiga sudah memadati jalan yang lebarnya hanya berkisar 10 an meter itu. Untuk mendekati lokasi Barongsai beraksi, membutuhkan perjuangan keras. Celakanya, saya type orang yang enggan bersusah payah menembus barikade ribuan manusia yang menebarkan beribu aroma keringat. Setelah mengambil beberapa gambar yang hasilnya kurang sempurna, saya memilih kongkow di emperan toko penjual makanan ringan.
[caption caption="Jalan Sukowati ditutup bagi kendaraan (foto: bamset)"]
Karena Jalan Sukowati ditutup sejak siang hari, praktis toko- toko yang menyediakan berbagai makanan khas di Salatiga sepi pembeli. Sehingga, saya bisa berbincang dengan pemiliknya tentang beberapa hal , termasuk soal perayaan Cap Go Meh. Perbincangan ngalor ngidul, belakangan memasuki perihal keberadaan Klenteng Hok Tiek Bio. “ Klenteng ini usianya sudah ratusan tahun mas, saya belum lahir Klenteng ini sudah ada,” kata pemilik toko yang saya taksir umurnya 60 an tahun.
Mendengar apa yang disampaikan, saya hanya manggut- manggut saja. Antara percaya dan tidak percaya. Pasalnya, saya menganggap sumbernya kurang valid. Apa lagi pemilik toko tak mampu menjawab kapan tepatnya Klenteng dibangun. “ Kata engkong saya, dibangun sebelum tahun 1900. Tapi saya tidak tahu persis mas. Kalau mau tahu detailnya ya datang saja menemui pengurusnya,” tukasnya.
[caption caption="Ribuan warga tumplek blek di depan Klenteng (foto: bamset)"]
Tidak Boleh Sembarangan Bersumpah
Usai mengucapkan terima kasih, saya segera bergegas menembus kerumunan ribuan warga untuk masuk ke halaman Klenteng. Cukup susah mencapainya, tetapi karena diliputi rasa penasaran, akhirnya mampu juga membelah gelombang manusia. Di dalam Klenteng Hok Tiek Bio, semua orang sibuk dengan urusannya masing- masing. Bingung juga mau mencari informasi melalui siapa, hingga bertanya ke beberapa orang, saya diminta menemui pak Hamdi Chan, pria bersahaja yang sehari- harinya menjadi juru kunci.
Ketika berhasil menemui Hamdi Chan, ternyata komunikasi terhambat oleh bunyi tetabuhan Barongsai yang kerasnya minta ampun. Kendati begitu, karena telinga saya masih sangat normal, maka saya relatif mampu mencerna penjelasannya. Menurutnya, Klenteng Hok Tiek Bio dibangun tahun 1872 atau sekarang usianya memasuki 144 tahun ! Berarti ajaran agama Budha, Khong Hu Cu mau pun Taoisme telah masuk ke Kota Salatiga sebelum tahun 1872.
Seperti galibnya sebuah Klenteng, maka tempat ibadah ini juga didominasi warna merah darah dan kuning keemasan. Ruang depan yang mirip huruf T dibalik digunakan untuk ruang penyembahan Thian Than (Tuhan Yang Maha Esa), bagian tengah yang menjadi ruangan utama terdapat altar Dewa Bumi (Hok Tek Cing Sien) serta dewa- dewa lainnya. Di bagian timur ruangan utama terdapat ruang penyembahan Dewi Welas Asih (Mak Co Kwan Im), di sebelah barat saya temui ruang penyembahan Dewi Lautan ( Mak Co Thian Siang Sing).
Masih ada ruangan- ruangan lain yang dipergunakan sebagai ruang penyembahan, kendati begitu, saya tertarik dengan sebuah tampah bulat yang dibuat dari bambu. Tampah tersebut digantung di langit- langit ruangan Dewa Bumi.Warnanya sudah pudar berubah menjadi hitam akibat saban hari terkena asap pembakaran hio swa mau pun lilin. Menurut Hamdi, ruangan ini merupakan tempat sakral yang biasa dimanfaatkan untuk mengucap sumpah.” Sebaiknya jangan mengucapkan sumpah di sini tanpa perintah pengadilan,” kata Hamdi.
Bersumpah di Klenteng, sudah sejak lama sering saya dengar bila ada dua pihak yang bersengketa. Untuk meyakinkan satu sama lain, biasanya dilanjutkan dengan ritual sumpah di Klenteng Hok Tiek Bio. Bila salah satu pihak yang bersalah nekad menggelar sumpah, cepat atau lambat (konon) akan menuai petaka. Terkait hal tersebut, Hamdi menghimbau agar jangan sembarangan mengumbar sumpah. Kecuali benar- benar sudah siap menerima resikonya.
Karena tak ingin berdebat, saya mengangguk – anggukkan kepala. Antara percaya dan tidak, namun saya sungguh merasakan adanya aura kesakralan di Klenteng ini. Yang membuat saya terheran- heran, bangunan yang berumur 144 tahun tersebut, ternyata masih sangat kokoh. Sangat berbeda dibanding bangunan- bangunan proyek pemerintah yang rentan ambruk walau baru berumur puluhan tahun. Karena sudah hampir pk 17.00, saya pun berpamitan. Sementara suara tetabuhan perayaan Cap Go Meh terus bergema. Menembus rintik hujan, saya pun pulang ke kandang untuk menuliskan artikel ini. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H