Ketika berhasil menemui Hamdi Chan, ternyata komunikasi terhambat oleh bunyi tetabuhan Barongsai yang kerasnya minta ampun. Kendati begitu, karena telinga saya masih sangat normal, maka saya relatif mampu mencerna penjelasannya. Menurutnya, Klenteng Hok Tiek Bio dibangun tahun 1872 atau sekarang usianya memasuki 144 tahun ! Berarti ajaran agama Budha, Khong Hu Cu mau pun Taoisme telah masuk ke Kota Salatiga sebelum tahun 1872.
Seperti galibnya sebuah Klenteng, maka tempat ibadah ini juga didominasi warna merah darah dan kuning keemasan. Ruang depan yang mirip huruf T dibalik digunakan untuk ruang penyembahan Thian Than (Tuhan Yang Maha Esa), bagian tengah yang menjadi ruangan utama terdapat altar Dewa Bumi (Hok Tek Cing Sien) serta dewa- dewa lainnya. Di bagian timur ruangan utama terdapat ruang penyembahan Dewi Welas Asih (Mak Co Kwan Im), di sebelah barat saya temui ruang penyembahan Dewi Lautan ( Mak Co Thian Siang Sing).
Masih ada ruangan- ruangan lain yang dipergunakan sebagai ruang penyembahan, kendati begitu, saya tertarik dengan sebuah tampah bulat yang dibuat dari bambu. Tampah tersebut digantung di langit- langit ruangan Dewa Bumi.Warnanya sudah pudar berubah menjadi hitam akibat saban hari terkena asap pembakaran hio swa mau pun lilin. Menurut Hamdi, ruangan ini merupakan tempat sakral yang biasa dimanfaatkan untuk mengucap sumpah.” Sebaiknya jangan mengucapkan sumpah di sini tanpa perintah pengadilan,” kata Hamdi.
Bersumpah di Klenteng, sudah sejak lama sering saya dengar bila ada dua pihak yang bersengketa. Untuk meyakinkan satu sama lain, biasanya dilanjutkan dengan ritual sumpah di Klenteng Hok Tiek Bio. Bila salah satu pihak yang bersalah nekad menggelar sumpah, cepat atau lambat (konon) akan menuai petaka. Terkait hal tersebut, Hamdi menghimbau agar jangan sembarangan mengumbar sumpah. Kecuali benar- benar sudah siap menerima resikonya.
Karena tak ingin berdebat, saya mengangguk – anggukkan kepala. Antara percaya dan tidak, namun saya sungguh merasakan adanya aura kesakralan di Klenteng ini. Yang membuat saya terheran- heran, bangunan yang berumur 144 tahun tersebut, ternyata masih sangat kokoh. Sangat berbeda dibanding bangunan- bangunan proyek pemerintah yang rentan ambruk walau baru berumur puluhan tahun. Karena sudah hampir pk 17.00, saya pun berpamitan. Sementara suara tetabuhan perayaan Cap Go Meh terus bergema. Menembus rintik hujan, saya pun pulang ke kandang untuk menuliskan artikel ini. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H