Di kompleks pertokoan Pendowo, saya kembali menemukan seorang perempuan berumur 30-an tahun. Sayangnya, ia over reaktif. Saat didekati, tangannya mengacungkan batu cukup besar siap untuk dilemparkan. Melihat adanya potensi ancaman, akhirnya saya mengurungkan niat untuk mengambil gambarnya. Saya enggan kebanyakan nombok, gara-gara artikel, kamera saya pecah kena batu kan ruginya terlalu banyak.
Hingga saya sampai di batas Kota Salatiga, tepatnya di Jalan Raya menuju Kopeng, saya bertemu dengan Budi Haryanto (40) warga Sumogawe, Getasan, Kabupaten Semarang. Budi yang akan menjemput istrinya di pabrik rokok, mengaku pernah melihat sekelompok orang gila diturunkan dari mobil jenis pick up di gapura batas kota. “Waktu itu sekitar pukul 01.00, saya pikir mobil mogok, ternyata malah menurunkan orang-orang gila,” jelasnya.
Perbatasan Kota Salatiga dengan Kabupaten Semarang yang berada di Salib Putih, Argomulyo, memang ideal untuk menurunkan orang-orang gemblung dari daerah lain. Pasalnya, lokasinya agak gelap, sehingga usai diturunkan, orang-orang gila tersebut pasti berjalan ke arah Salatiga yang terlihat terang-benderang. Setelah sampai perkampungan, mereka bakal menyebar. Entah sampai kapan mereka bertahan, biasanya keberadaan orang bernasib malang itu lenyap seiring pihak Sat Pol PP setempat menggelar operasi PGOT.
Sedangkan perbatasan lain yang rawan dijadikan lokasi pembuangan adalah jalur Salatiga – Suruh dan Salatiga – Bringin. Meski merupakan jalan raya, namun mendekati dini hari, situasinya sangat sepi. Bila penurunan orang-orang gila hanya memerlukan waktu kurang dari tiga menit, Salatiga merupakan daerah ideal dijadikan tempat tujuan akhir petualangan orang gemblung tersebut. Entah sampai kapan hal ini berlangsung. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H