Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Koh Yo In, Saudara Kami Beda Orang Tua: Sebuah Cerita Imlek

8 Februari 2016   16:44 Diperbarui: 28 Januari 2017   15:29 2348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, setiap hari raya Imlek, keluarga kami selalu menikmati kue keranjang aneka warna. Kue tersebut dikirim oleh koh Yo In, warga Ambarawa, Kabupaten Semarang. Sekarang, sudah 6 kali perayaan Imlek tak pernah ada lagi kiriman paket ala Tionghoa setelah ia dipanggil oleh-Nya.

Namanya adalah Indarto, namun panggilannya sehari-hari Yo In. ia seorang wiraswasta yang ulet dan cenderung kerap menyerempet bahaya alias melanggar hukum. Saya mengenalnya tahun 1989, berawal dari munculnya suatu masalah atas bisnis abu-abunya, belakangan dirinya menyuruh tiga orang begundalnya untuk mencari saya. Hingga saya dibawa ke rumahnya, ternyata ada kesalahpahaman yang membuat dia meminta maaf.

Karena usianya memang lebih tua, saya memanggilnya dengan embel-embel "koh" di depannya. Bukan apa-apa, saya menghormati orang yang umurnya di atas saya. Usai kejadian tersebut, kami bersahabat. Kendati aktivitas kami berbeda, tapi Koh Yo In kerap memberikan perhatian terhadap keluarga kami. Di hari raya Idhul Fitri, saya selalu dipanggil untuk menerima tunjangan hari raya (THR). Begitu pun ketika hari raya Imlek, ia rutin mengirim kue keranjang satu dus.

Postur tubuh maupun wajah koh Yo In, mirip-mirip budayawan, seniman, dan kelirumolog Jaya Suprana. Tubuhnya gendut, bermata sipit, kulitnya kuning seperti layaknya keturunan Tionghoa dan rambutnya selalu dipotong setengah gundul. Setiap komunikasi, bahasanya campur-campur antara bahasa Indonesia, Jawa kasar serta diselipi kosa kata bahasa China. Meski begitu, tawanya kerap meledak kalau membahas hal-hal yang lucu.

Kekerabatan kami terus berjalan berpuluh tahun tanpa cela. Saya tak pernah meminta sesuatu. Sebaliknya, tanpa diminta Koh Yo In kerap membantu saya terkait finansial. Padahal, saya tidak memintanya untuk memberikan bantuan, namun, saat ia mendengar saya tengah mengalami kesulitan, tanpa mengabari, disuruhnya kurir datang ke rumah sembari menenteng angpo.

Pernah terjadi di tahun 1994, waktu itu rumah kontrakan kami habis. Kebetulan, tidak ada cadangan untuk memperpanjangnya. Berhari-hari saya mencari uang yang nominalnya tak seberapa (sekitar Rp 1,5 juta) untuk membayar kontrak rumah selama tiga tahun. Celakanya, yang namanya duit, licinnya mirip belut dibalut oli. Sampai jatuh tempo, saya tidak mampu menyediakan uang sebesar tersebut.

Bangkrut

Sekitar pukul 23.30, saat saya tengah berbaring di sofa, mendadak pintu rumah diketuk seseorang. Ketika saya buka, ternyata sopir pribadinya Koh Yo In. Saya pikir ada sesuatu yang darurat sehingga Koh Yo In memerlukan bantuan tenaga saya. Ternyata, kurir sengaja disuruh Koh Yo In untuk mengantarkan amplop berisi uang tunai Rp 2 juta. Tak ada pesan apa pun. Bahkan, kurirnya saya tanya maksud pemberian uang yang dibawanya juga tidak bisa menjelaskan. Ia terburu-buru pamitan.

Di tahun itu, sarana komunikasi tidak seperti sekarang, untuk mengucapkan terima kasih harus sowan ke rumahnya. Ditelepon melalui telepon rumah, Koh Yo In selalu tak berada di tempat. Empat kali saya mendatanginya, hasilnya nihil. Baru yang kali kelima bisa bertemu. Ia mengaku belum pernah mengirim kurir dengan membawa angpo. “Ya mungkin saja orang lain yang menyuruh kurir itu memberikan uang,” jawabnya enteng.

Setahun kemudian, tepatnya akhir tahun 1995, bisnis Koh Yo In tumbang. Rumahnya dijual, ia benar-benar terpuruk. Yang membuat saya terharu, sepekan sebelum hari raya Idhul Fitri, saya dipanggil ke rumahnya. Setelah berbincang hampir 30 menit, saya diberi secuil kertas berisikan pesan. Bunyinya: Tlg yg bawa surat ini disuruh ambil pakaian. Ttd Yo In.

Dengan secuil kertas yang ada tulisan tangannya itu, saya diminta datang ke salah satu toko pakaian di Ambarawa. Karena dasarnya saya bukan orang yang serakah, saya hanya mengambil sepotong celana jeans dan jaket yang terbuat dari kain. Sampai sekarang, jacket pemberian Koh Yo In masih dalam kondisi sangat baik meski sudah ketinggalan mode, namun saya tetap menyimpannya. Ada sejarah yang tak terlupakan yang melekat di jaket itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun