[caption caption="Mbah Santo semasa hidupnya (foto: dok KGGSP)"][/caption]
Santo Handoyo, pejuang lingkungan di Kota Salatiga mau pun Jawa Tengah yang juga pendiri sekaligus Ketua Komunitas Gugur Gunung Salatiga Peduli (KGGSP), Sabu (6/2) dini hari, akhirnya harus berpulang ke pangkuan Allah Subhanahu wa Ta’ala akibat komplikasi penyakit yang dideritanya.
Pk 01.45 dini hari, saat saya masih menyimak siaran berita di TV, mendadak menerima berita bahwa Santo Handoyo yang biasa disapa Mbah Santo, meninggal dunia di ruang ICU RSUD Kota Salatiga. Ia sempat menjalani perawatan sejak Kamis (4/2) di kamar Flamboyan Nomor 402. Begitu mendengar berita berpulangnya sosok inspirator lingkungan tersebut, spontan mulut saya berucap Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Pejuang hutan itu, kalah oleh penyakit yang menggerogoti tubuhnya.
Mbah Santo merupakan pria yang fenomenal, tanggal 27 Mei 2006 saat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dihantam gempa, ia bersama beberapa anak muda yang merasa empati atas penderitaan korban gempa membentuk Komunitas Salatiga Peduli (KSP). Tak sekedar memberikan materi, para aktifisnya juga berhari- hari berada di lokasi musibah guna membantu memperbaiki rumah- rumah warga.
Berangkat dari kejadian gempa DIY itulah, akhirnya KSP kerap hadir di berbagai musibah di seputar Jawa Tengah mau pun propinsi tetangga. Mulai meletus Gunung Merapi, Gunung Kelud, banjir pantura hingga beberapa kejadian lainnya. “Pada setiap kegiatan berbau kemanusiaan, ternyata banyak elemen masyarakat Salatiga lainnya yang ikut nimbrung dan berperan aktif,” kata Mbah Santo ketika berbincang dengan saya, Kamis (14/1) di kebun pembibitan yang terletak di Jalan Osamaliki, Kota Salatiga.
[caption caption="Mbah Santo dengan mobil ambulan gratisnya (foto; dok KGGSP)"]
Karena banyaknya elemen masyarakat yang tergabung, Mbah Santo, melebur KSP menjadi KGGSP. Penambahan unsur gugur gunung sengaja ditambahkan untuk menegaskan bahwa KGGSP yang dipimpinnya merupakan suatu aktifitas yang melibatkan orang dalam jumlah besar. Gugur gunung sendiri, di kalangan masyarakat pedesaan dikenal sebagai kegiatan gotong royong (kerja bhakti) untuk mendirikan rumah, membangun Masjid mau pun hajatan lain.
Dengan semangat gugur gunung itulah, segala kesulitan yang dialami KGGSP mampu teratasi. Mereka sudah kerap merambah daerah rawan bencana, mereka kerap turun langsung di lapangan saat terjadi musibah, modalnya hanya tenaga yang sehat. Kendati begitu, kiprahnya mampu memberikan solusi bagi pihak yang membutuhkan. Bahkan, Mbah Santo juga menghibahkan mobilnya untuk dijadikan ambulan gratis bagi siapa pun yang membutuhkan.
Setelah KSP dilebur menjadi KGGSP, ternyata respon masyarakat baik di Salatiga mau pun luar kota sangat antusias. Terlebih lagi ketika program penghijauan dijadikan prioritas utama, belakangan banyak aktifis lingkungan luar provinsi Jawa Tengah ikut tergabung. Hal tersebut terlihat saat KGGSP menggelar event tahunan 1001 Pendaki Tanam Pohon di Gunung Merbabu dan gunung- gunung lainnya. Rencananya, Mbah Santo tanggal 14 Febuari mendatang bakal mengadakan aksi serupa di Gunung Ungaran, kabupaten Semarang.
Dengan mengusung slogan tanam pohon atau bencana, KGGSP yang mempunyai ribuan partisipan terus bergerak. Nyaris tidak ada musibah di Jawa Tengah yang tak dihadiri personilnya, kendati tanpa diminta. Bahkan, saat terjadi banjir di Tegowanu, kabupaten Grobogan, para aktifis KGGSP sempat bertahan selama satu bulan penuh di lokasi. “Ketika tim lainnya sudah meninggalkan lokasi bencana banjir, kami tetap di sana hingga tuntas,” ujar Mbah Santo tanpa bermaksud jumawa (baca :komunitas-gugur-gunung-salatiga-peduli-sarat-aksi).
[caption caption="Mbah Santo saat akan masuk ICU (foto: dok KGGSP)"]
Mau Menanam 25 Ribu Pohon Flamboyan
Kepedulian KGGSP terhadap lingkungan, juga merambah pada kehidupan masyarakat dhuafa. Selama 10 tahun terakhir, mereka sudah melakukan bedah rumah di 9 lokasi di Kota Salatiga dan sekitarnya. Mayoritas rumah yang dibedah milik janda- janda miskin yang tempat tinggalnya sangat tidak layak huni. Bekerja sama dengan pihak terkait, rumah – rumah bobrok itu direnovasi.
Saat ini, KGGSP tengah menyiapkan 50 ribu berbagai jenis bibit tanaman. Nantinya, 25 ribu bibit tanaman jenis Flamboyan akan ditebar di wilayah kota Salatiga, sedang sisanya bakal dibenamkan di gunung- gunung. Kebutuhan udara yang bersih, menjadi prioritas gerakan KGGSP. Untuk itu, pihaknya tak mengenal kosa kata lelah dalam mengedukasi masyarakat agar sadar terhadap pentingnya lingkungan hijau.
Untuk mendukung cita- cita mulianya menghijaukan Kota Salatiga dan gunung- gunung, Mbah Santo sering memaksakan diri berkutat di kebun pembibitan (rumah pohon). Ia sama sekali tak mengindahkan beragam penyakit yang mengeram di tubuhnya. Saat saya menemuinya, ia tengah menurunkan puluhan karung berisi kompos. Saya menangkap kondisi fisiknya sebenarnya sangat tidak memungkinkan. Namun, semangatnya tetap berkobar.
[caption caption="Mbah Santo di rumah keduanya, rumah pembibitan (foto: dok KGGSP)"]
Indikasi bahwa Mbah Santo akan ambruk, sebenarnya sudah terlihat sejak sepekan lalu, tepatnya tanggal 30 Januari. Usai mengikuti kegiatan pelatihan pembibitan, tubuhnya kelihatan letih. Kendati begitu, esoknya ia tetap berada di rumah pohon karena masih ada kegiatan yang sama. Saat itu, langkah kakinya seperti berat melangkah.Hingga tanggal 1 Febuari, dirinya jatuh sakit dan enggan menjalani opname.
Baru tanggal 4 Febuari siang, saat tubuhnya benar- benar tak berdaya, Mbah Santo dibawa rekan- rekannya ke RSUD Kota Salatiga. Komplikasi penyakit jantung, diabetes akut dan paru- paru, belakangan memaksa dirinya masuk ruang ICU. Hingga akhirnya, Sabu malam, Allah memanggilnya. Rupanya, beberapa penyakit yang menggerogoti raganya benar- benar enggan diajak kompromi. Terbukti, segala upaya medis tidak mampu menolongnya.
Mbah Santo yang selalu hadir di setiap bencana, yang tangguh di gunung, yang selalu menghijaukan bumi dan tak pernah menolak untuk membantu orang susah, ternyata kalah oleh penyakit yang mendera tubuhnya.Kiranya sangat sulit mencari sosok pengganti seperti dirinya, puluhan tahun berjuang demi lingkungan tanpa imbalan apa pun. Puluhan tahun naik turun gunung guna membenamkan bibit tanaman, saat ini telah tiada.
Siang tadi, dengan diantar ribuan pelayat, Mbah Santo diantar menuju peristirahatan terakhirnya di Makam Pertiwi Suci Ngentak, Kutowinangun, Tingkir, Kota Salatiga. Ia telah menyumbangkan ide, gagasan besar , waktu dan tenaganya untuk kelestarian alam. Dirinya penuh harap, di tahun mendatang, anak cucunya kelak ikut menikmati udara yang bersih, bebas polusi serta bencana. Lelaki bersahaja itu beristirahat dengan mimpi- mimpi besarnya.
Dengan berpulangnya Mbah Santo, saya tidak tahu, apakah anak- anak muda masih bersemangat untuk menyelamatkan lingkungan ? Apakah nantinya 25 ribu bibit flamboyan tetap bakal tertanam di bumi Salatiga ? Yang jelas, sekarang masyarakat Kota Salatiga dan Jawa Tengah telah kehilangan seorang pejuang lingkungan yang nyaris separuh hidupnya dihabiskan untuk kepentingan umat, hutan, gunung serta bencana. Selamat jalan sahabat. Allah pasti memberikan tempat yang sangat layak untukmu. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H