Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alumni SMK Salatiga ini Melibas Lulusan Oxford

31 Januari 2016   22:10 Diperbarui: 31 Januari 2016   22:25 3944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Arfi yang bersahaja tapi memiliki prestasi dunia (foto: bamset)"][/caption]

Nama Arfi’an Fuadi (28) dan adiknya M.Arie Kurniawan (25)  warga  Kota Salatiga yang hanya alumni Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)  mampu melibas lulusan Oxford University dalam kompetisi internasional yang diikuti peserta dari 56 negara, mengundang keheranan tersendiri bagi banyak orang. Terkait hal tersebut, Minggu (31/1) malam saya mengunjunginya.

Saat saya tiba di rumah yang terletak di Jalan Canden nomor 35, Tingkir, Kota Salatiga, saya disambut pria baya berambut putih yang tak lain adalah Ahmad Syahroni ayah kakak beradik tersebut. Dari penjelasannya, saya mendapat keterangan bahwa Arfi sudah menempati rumah sendiri yang lokasinya tak begitu jauh. Mengingat telah pk 20.30, saya segera berpamitan dan bergegas menuju alamat yang dimaksud. Ternyata, Arfi tengah menemani putri kecilnya yang akan tidur. Kendati begitu, ia mau menemui saya hingga terlibat perbincangan. Sayangnya, Arie yang tinggal di Ampel, kabupaten Boyolali tidak bisa ikut "diskusi".

Arfi’an Fuadi  yang biasa disapa Arfi, serta Arie adiknya, terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya  hanya bekerja sebagai karyawan KUD, sehingga untuk membiayai kuliah anaknya merupakan hal yang mustahil. Untuk itu, dua anaknya sengaja disekolahkan ke SMK. Harapannya tak muluk- muluk, setelah lulus mampu bekerja guna meringankan beban orang tuanya. “ Saya sekolah di SMK Negeri 7 Semarang, sedang Arie di SMK Negeri 2 Salatiga,” kata Arfi, saat memulai berbincang.

Setelah lulus sekolah di tahun 2005, Arfi yang enggan berlama- lama menganggur, akhirnya bekerja serabutan. Mulai membantu di bengkel sepeda motor, membantu tukang cetak foto hingga menjajakan susu segar keliling kampung sempat ia lakoni. Begitu pun sang adik, usai tamat SMK, pernah menjadi tukang cuci motor dan kuli bongkar muat pasir. Semua dijalani hanya karena ingin meringankan beban orang tuanya.

“ Ibaratnya, kerja apa pun kami lakukan. Yang penting halal dan kami tak melanggar hukum,” jelas Arfi mengenang masa lalunya.

Peruntungan Arfi dan Arie mulai terlihat ketika Arfi diterima bekerja di PT Kantor Pos Kota Salatiga. Jabatannya pun cukup mentereng, yakni penjaga malam. Kendati hanya bergaji Rp 700 ribu sebulan, namun ia menjalaninya dengan ikhlas. Dirinya menyimpan mimpi besar, dia ingin berbuat sesuatu yang berarti hingga mampu mengubah kehidupan keluarganya.

Beli Komputer Bekas

Gaji pertamanya tak seperti galibnya anak muda lainnya yang saat menerima gaji perdana digunakan untuk hura- hura, Arfi malah membeli komputer bekas seharga Rp 1,5 juta. Karena duitnya kurang, belakangan  sang ayah ikut menombokinya. Memiliki komputer, meski labelnya barang bekas, bagi Arfi merupakan kebanggaan tersendiri. Sebab, perangkat lunak tersebut selama ini dianggapnya sebagai barang mewah. Terkait hal tersebut, ia benar- benar sangat memanfaatkannya.

Secara otodidak, Arfi mulai belajar menggunakan komputer. Begitu pun sang adik, ia juga ikut- ikutan nimbrung  di depan keyboard dan layar monitor. Berbagai program dipelajarinya hingga keduanya menemukan seluk beluk design engineering di beberapa situs. Langsung saja referensi tentang desain itu dilahap keduanya tanpa mengenal waktu.

Hingga akhir tahun 2009, saat ayahnya berhenti dari pekerjaannya, Arfi nekad mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang design engineering. Bermodalkan computer AMD 3000, bersama adiknya sepakat memberi nama perusahaannya D-Tech Engineering Salatiga. “ Atas kesepakatan dengan Arie, kami fokus pada bidang 3 D design engineering, sebab, kami meyakini tahun mendatang  bidang ini prospeknya sangat bagus,” ungkap Arfi.

Secara perlahan, melalui jaringan internet D- Tech mendapatkan order dari luar negeri. Tanpa terasa, sedikitnya 150 klien asal manca negara berhasil digaetnya. Berbagai desain, mulai yang paling sederhana hingga yang paling rumit mampu mereka kerjakan nyaris tanpa cela. Otomatis, karena menerima bayaran berbentuk dollar AS, ekonomi keluarga mereka pun ikut terdongkrak.

Untuk mengeksekusi ratusan order yang datang silih berganti, D- Tech sengaja merekrut 7 karyawan yang berasal dari kampung Canden sendiri. Meski merupakan tetangga, sekaligus teman main saat kecil, namun, Arfi bersikap profesional. Jam kerja dijalankan seperti layaknya perusahaan- perusahaan lain. Konon, gaji yang diterima karyawannya juga mengikuti UMK Salatiga.

Hingga tahun 2015 lalu, duet Arfi dan Arie mengikuti kompetisi 3 D untuk desain Jet Engine Braket ( penggantung mesin jet pesawat) yang digelar oleh General Electric (GE) Amerika Serikat. Total pesertanya mencapai 700 orang yang datang dari 56 negara. Lomba ini bertujuan mencari desain yang mampu meringankan bobot alat penggantung namun tetap mempertahankan kekuatannya. Hasilnya, kakak beradik tersebut mampu menyabet juara 1. “ Saya berhasil mengurangi berat dari 2 kilogram menjadi 327 gram saja,” jelas Arfie.

Belajar Gratis

Kemenangan duet Arfie dan Arie terasa membanggakan, pasalnya rival mereka datang dari berbagai pelosok Negara yang mayoritas adalah sarjana. Bahkan, dalam kompetisi ini, juara 2 seorang peserta Swedia yang bergelar PhD (karyawan Swedish Air Force), sedang juara 3 merupakan alumni Oxford University yang bekerja di Airbus. Aneh, para pakar design engineering tingkat dunia malah dilibas lulusan SMK asal Salatiga.

Tak pelak lagi, berkat kemenangannya itu, membuat nama D-Tech semakin berkibar di dunia design engineering. Banyak tawaran yang datang agar keduanya meninggalkan Salatiga untuk bekerja di luar negeri. Namun, semuanya ditolak.  “ Kami ingin membangun Indonesia yang belum merdeka secara teknologi,” ungkapnya tanpa nada jumawa.

Bahkan, salah satu desainer senior asal Amerika Serikat pernah mengontak mereka. Arfie dan Arie ditawari untuk mendirikan perusahaan design engineering di sana tanpa harus memikirkan modal. Menggunakan sistem bagi hasil sehingga masa depan keduanya bisa dipastikan sangat cerah. Kendati begitu, tawaran menggiurkan tersebut ditolaknya mentah- mentah.

Bila dulu saat  D-Tech masih berkantor di rumah orang tuanya yang baru saja direnovasi, kerap kedatangan pelajar hingga mahasiswa untuk belajar. Sekarang  Arfie dan adiknya menempati bangunan dua lantai yang berdiri di atas lahan seluas 100 meter persegi hasil jerih payah mereka. Terhitung mulai awal Januari lalu, bangunan itu  dimanfaatkan sebagai kantor dan kelas gratis bagi siapa pun yang akan belajar desain serta teknologi. 

Untuk peserta, menurut Arfi, terdiri atas 8 orang lulusan SMK, dengan rincian 2 orang dari Salatiga dan 6 orang asal luar kota. Lama pelatihan design engineering sekitar 2 minggu yang dimulai sejak pk 09.00- 17.00. “ Untuk peserta luar kota, tidurnya di sini. Semuanya gratis kecuali makan,” tutur Arfi.

Selanjutnya, usai menempuh pelatihan dua minggu, Arfi berharap peserta mampu mengasah ilmu yang didapat di D- Tech secara mandiri di rumahnya masing- masing. Bila rombongan pertama selesai menjalani pelatihan, pihak beristirahat sepekan dan dilanjutkan memberikan pelatihan bagi rombongan yang baru. “ Selepas dari sini (D-Tech) mereka harus terus mengasah kemampuannya terus menerus. Tanpa latihan dan belajar berkesinambungan, ya sulit berkembang,” ungkapnya.

Kelas gratis bagi para peminat design engineering  sepertinya sangat layak diapresiasi. Sebab, tak hanya aktifitas sosial saja yang direngkuh, namun bidang pendidikan juga tidak diabaikan. Arfi dan Arie hanya berfikir sederhana. Sebagai makhluk sosial, keduanya ingin berbagi ilmu kepada siapa pun tanpa memandang strata. Satu hal yang paling penting, mereka ingin memerdekakan Indonesia secara teknologi. Hebat ! Ijasah boleh hanya SMK, namun prestasinya mendunia. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun