Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Marsono Mampu Mengubah Limbah Jadi Berkah

25 Januari 2016   17:42 Diperbarui: 25 Januari 2016   19:16 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Both kopi yang tengah dibuat Marsono (foto: bamset)"][/caption]Limbah kayu jenis Jati Belanda yang biasa digunakan untuk mengepak barang, ternyata mampu membawa berkah tersendiri. Di tangan Marsono (50) warga Klaseman, Mangunsari, Sidomukti, Kota Salatiga, barang yang harusnya hanya untuk kayu bakar, mampu dibentuk menjadi beragam mebel yang harganya jutaan rupiah.

Marsono yang membuka bengkel mebelnya di Pasar Andong, Jalan Osamaliki, Kota Salatiga, nyaris tak pernah sepi order. Dengan kepiawaiannya mengolah limbah kayu tersebut, praktis dirinya jadi rujukan bagi para pemilik usaha kafe, distro mau pun rumah makan. “ Hasil buatan pak Marsono selain artistik, juga sangat rapi,” kata Gunawan pemilik resto di Ungaran ketika saya temui, Senin (25/1) sore.

Menurut Gunawan, kendati bahan yang digunakan membuat mebel merupakan limbah, namun Marsono mampu mengubahnya menjadi meja, kursi, both mau pun rak yang eksotis. Banyak tamu yang datang ke restonya mengagumi perabot produksi Marsono. Terkait hal tersebut, hampir tiap bulan dirinya memesan barang- barang yang ia butuhkan pada pria itu.

Marsono sendiri, saat saya temui di bengkelnya, sepertinya tak pelit berbagi ilmu. Ia yang mempunyai anak buah empat orang, dalam menggarap pesanan selalu di tempat terbuka tanpa ada yang ditutupi. “ Dari mulai menggambar desain, menggergaji, membentuk hingga finishing, semua saya kerjakan di tempat ini,” ujarnya.

[caption caption="Both kopi buatan Marsono yang ada di Saung Kelir (foto: bamset)"]

[/caption]

Kayu Jati Belanda (Klefer/Oak/ Pine), kata Marsono, sebenarnya  merupakan kayu Jati putih yang bersifat lebih lunak di banding Jati biasa.Karena kurang keras, maka kegunaannya sebatas pada peti kemas, kotak paket atau peti buah yang umurnya relatif pendek. Meski begitu, ada hal istimewa pada kayu ini, yakni seratnya muncul saat diserut sehingga menimbulkan kesan indah.

Pada awalnya, Marsono yang mempunyai keahlian membuat perabot, hanya memanfaatkan limbah kayu tersebut untuk keperluan di rumahnya sendiri. Karena banyak yang tertarik, akhirnya sejak setahun lalu, ia menerima pesanan berbagai jenis mebel, mulai dari lemari, ranjang, meja makan berikut kursinya, both minuman hingga rak yang difungsikan sebagai tempat memajang dagangan.

[caption caption="Limbah kayu ini yang dijadikan bahan baku mebel Marsono (foto: bamset)"]

[/caption]

Tak Pernah Sepi Order                           

Setelah Marsono secara resmi menerima pesanan, praktis dirinya belum pernah mengalami sepi order. Hampir seminggu sekali pasti ada orang yang datang ke bengkelnya untuk memesan barang. Repotnya, seluruh pemesan menghendaki perabot pesanannya cepat jadi. Akhirnya ia mencari empat orang untuk membantunya. Kendati begitu, khusus finishing tetap dilakukannya sendiri.

Untuk memperoleh bahan baku, selama ini Marsono mendapatkannya dari Kabupaten Kudus. Pasalnya, Kudus sendiri merupakan daerah yang memiliki banyak pabrik, sehingga limbah kayu Jati Belanda berlimpah. “ Saya membelinya dengan harga Rp 2,5 juta perkubik. Isinya sekitar 450 lembar sampai 500 lembar,” tuturnya.

[caption caption="Marsono tengah mengeksekusi pesanan di bengkelnya (foto: bamset)"]

[/caption]

Dalam mengeksekusi order, Marsono biasanya meminta calon pelanggannya menyodorkan gambar sekaligus ukurannya. Setelah semua di tangan, baru ia mematok harga karena harus dikalkulasi mulai bahan baku, biaya tukang hingga finishingnya. Salah satu contohnya adalah both kopi berkuran 1 X 3 meter dengan tinggi 1,3 meter , dia memasang harga Rp 3,5 juta. Yang mengherankan, meski dipatok harga cukup tinggi, namun pelanggannya tak mengenal kosa kata jera.

Menjawab pertanyaan saya tentang pembuatan perabot dengan bahan baku kayu limbah ini, Marsono secara  detail menjelaskan prosesnya. Tahab pertama, usai menerima order, maka ia mulai menghitung jumlah papan yang dibutuhkan. Setelah dipotong sesuai desain, kemudian pengerjaan perakitan diserahkan pada anak buahnya. “ Sesudah berbentuk barang dalam wujut kasar, baru saya ambil alih,” jelasnya.

[caption caption="Salah satu meja buatan Marsono (foto; bamset)"]

[/caption]

Pekerjaan finishing sengaja Marsono ambil alih dengan dalih, tak semua orang mampu mengerjakannya.  Di mana, setelah perabot diselesaikan anak buahnya, maka Marsono segera menghaluskan permukaan kayu menggunakan mesin amplas. Saat seluruhnya telah halus, berikutnya ia menggosongkan permukaan kayu agar muncul semburat warna hitam kecokelatan. Untuk itu, dia menggunakan api yang dipancarkan melalui mata las.

Untuk membuat warna hitam kecokelatan, semuanya dilakukan sangat hati- hati. Sebab, salah sedikit, maka kayu bisa terbakar. Selanjutnya, usai permukaan kayu muncul warna hitam natural, lagi- lagi mesin amplas digunakan kembali agar semakin mulus. Biasanya yang terakhir ini, amplas yang digunakan jenis yang paling halus. “ Setelah semua kelar, baru saya semprot melamin atau vernish agar mengkilap tergantung maunya pelanggan,” tutur Marsono.

[caption caption="Begini bila sudah jadi, perhatikan guratan warna hitam yang timbul (foto; bamset) "]

[/caption]

Marsono sengaja tak menggunakan cat untuk finishing, pasalnya, bila permukaan kayu dicat, maka kesan naturalnya akan hilang. Nilai jual perabot buatannya memang ada pada bentuk barang yang terlihat natural disertai serat kayu yang menonjol. Bila di toko mebel orang bisa menemukan barang sejenis dengan bahan kayu Jati, harganya mungkin bisa dua atau tiga kali lipat buatannya. “ Di sini harga terjangkau dan sepertinya tidak bakal ditemukan di toko mebel,” jelasnya tanpa nada jumawa.

Apa yang dilakukan Marsono, layak diapresiasi. Bukan hanya ia mampu mengubah limbah menjadi berkah, namun, dirinya juga berani berinovasi hingga memberikan lapangan pekerjaan meski hanya sebatas empat orang. Hebatnya lagi, kendati berstatus juragan, namun dia tetap turun tangan sendiri demi memuaskan pelanggannya. Disinggung soal omzetnya, Marsono menepisnya. “ Yang jelas bisa membayar empat karyawan secara lancar, dan bisa sedikit menabung itu sudah sangat saya syukuri,” ujarnya menutup perbincangan.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun