Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengubah Ban Bekas Menjadi Barang Berharga

18 Januari 2016   19:19 Diperbarui: 2 Oktober 2017   14:09 2224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tas ban bekas ini harganya Rp 500 ribu (foto: bamset)

Apa yang anda kerjakan saat melihat atau memiliki ban bekas? Dibuang begitu, paling banter diberikan pada tukang tambal ban. Yang terjadi di Salatiga sebaliknya, limbah karet tersebut mampu diubah menjadi berbagai barang berharga yang sangat layak dijual.

Tangan- tangan kreatif yang piawai membuat ban bekas menjadi tas, dompet, gantungan kunci, souvenir bahkan tas laptop ini tergabung dalam Komunitas Sapu Salatiga (KSS) yang bermarkas di kampung Gambirsari, Randuacir, Argomulyo, Kota Salatiga. Sedang perintisnya adalah Sindu Prasetyo, pria berumur 33 tahun yang sebelumnya dikenal sebagai aktifis lingkungan.

Senin (18/1) sore, sembari jalan-jalan sore (JJS), saya bertandang ke lokasi home industri pengolahan ban bekas. Tak sulit menemukan rumah yang dijadikan markas KSS. Sebab, rumah yang digunakan untuk pusat aktifitas berbeda dengan rumah warga lainnya, yakni berbentuk joglo khas Jawa. Begitu tiba di areal KSS, terlihat beberapa pekerja tengah sibuk menggarap berbagai pesanan. Bahkan meski sudah pk 16.45, mereka belum menghentikan pekerjaannya masing- masing.

Usai melihat-lihat barang-barang yang diproduksi KSS, saya sempat berbincang dengan Sindu selaku inisiator kelompok warga kreatif ini. Menurutnya, mengolah bahan baku berupa ban bekas hingga menjadi benda yang layak jual, disebut merupakan proses “upcycle”. Awalnya bukan pekerjaan yang mudah, namun berbekal ketelatenan, akhirnya membuahkan hasil.

Tas ban bekas ini harganya Rp 500 ribu (foto: bamset)
Tas ban bekas ini harganya Rp 500 ribu (foto: bamset)
Menurut Sindu, ide kreatifnya berawal saat ia bergabung di LSM Tanam untuk Kehidupan (TUK) Kota Salatiga yang aktif menangani bidang lingkungan. Dari mulai tahun 2006-2010, dirinya banyak mendapat ilmu tentang proses daur ulang berbagai limbah. “ Tahun 2010, ide menciptakan sesuatu dari ban bekas mulai muncul,” jelasnya.

Ban yang digunakan Sindu adalah ban dalam truck, setelah dibelah, ia membuat pola sesuai desain. Usai dipotong mengikuti pola, selanjutnya dijahit membentuk dompet, tas, souvenir dan barang- barang lainnya. Dalam memilih ban bekas, dirinya sengaja mengambil ban natural yang kandungan karetnya tinggi. Sedang ban sintetis sengaja diabaikan karena selain kurang kuat, kelenturannya juga kalah jauh. “ Ban sintetis kalau dijahit kerap pecah, tapi kalau yang natural sangat lentur,” kata Sindu.

Sebelum ketemu dengan bahan baku ban bekas, Sindu pernah mencoba membuat barang dari bahan plastik, namun karena menilai plastik memiliki banyak kelemahan, khususnya soal keawetan, akhirnya ia melakukan eksperimen menggunakan ban bekas. Kebetulan, stock bahan baku berupa ban bekas berlimpah karena tiap tahun pengguna kendaraan truck sering menggantinya.

Sindu sengaja memilih ban bekas jenis truck besar, pasalnya, selain lebar bila dibentang, juga ketebalannya sangat mendukung untuk dibuat menjadi tas. Di awal memulainya, ia bekerja sendirian. Mulai menggarap bahan baku, membuat desain hingga memasarkannya, semua dia lakukan sendiri. Omzet yang dicapai pun, sangat mengecewakan, hanya Rp 1 juta / bulan.

Tas lap top buatan KSS (foto: bamset)
Tas lap top buatan KSS (foto: bamset)
Tembus Belanda, Perancis, Inggris dan Australia

Dengan cara menitipkan dagangannya di dua took yang ada di Yogyakarta, perlahan berbagai barang buatan Sindu mulai mendapat respon yang menggembirakan. Banyak wisatawan asing yang terkesima ketika mengetahui tas, dompet, gelang dan asesoris lainnya itu ternyata dibuat dari bahan baku ban bekas. “ Karena prospeknya kayaknya bagus, akhirnya saya mulai berfikir pentingnya orang yang membantu saya. Untuk itu, saya merekrut lima orang,” ujarnya.

Hingga memasuki tahun 2012, peruntungannya semakin bersinar. Omzet secara perlahan tetapi pasti merangkak naik hingga menembus angka Rp 15 juta/ bulan. Karena pesanan berdatangan, belakangan ia menambah pekerjanya menjadi 10 orang untuk menggarap  pesanan sebanyak 1.250 item barang. Hebatnya, 1000 item merupakan pesanan dari negara  Belanda, Perancis, Inggris dan Australia. Sedang yang 250 diecerkan serta  disetorkan ke Yogyakarta serta Bali yang jadi pelanggannya sejak awal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun