[caption caption="Barang- barang lawas dagangan Wahing (foto: bamset)"][/caption]Dalam teori ekonomi, barang bekas pasti harga jualnya jatuh. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada para pengemar sekaligus pedagang kayu lawas.Puluhan tahun berdagang barang bekas, mereka mampu meraup puluhan juta rupiah untuk sekali transaksi. Lantas apa yang dijajakannya? Berikut catatan hasil jalan- jalan sore (JJS) saya.
Usai menikmati ayam goreng Bu Toha, dalam perjalanan pulang ke Salatiga, saya tertarik dengan keberadaan joglo milik Wahing yang terletak di Lopait, Tuntang, Kabupaten Semarang. Karena ada tulisan jual joglo, spontan saya berbelok memasuki halaman tempat memajang berbagai ornamen kayu-kayu tua yang konon sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun.
Begitu tiba di pelataran, saya melihat banyak barang antik seperti daun pintu, joglo, risban, meja kursi hingga gebyok. Aneka barang yang terbuat dari kayu jati tersebut, ada yang hanya tergeletak, namun ada juga yang disimpan di rumah joglo ukuran besar. Sayangnya, saya tak berhasil menemui Wahing, saya hanya bertemu dengan tukangnya yang tengah mereperasi daun pintu.
[caption caption="Joglo tempat penyimpanan barang milik Wahing (foto: bamset)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/16/f0661-569a1d3e799773e9083747ab.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Dalam perbincangan dengan tukang kayu yang sehari-harinya bertugas menggarap berbagai barang kuno itu, saya mendapat keterangan bahwa saban hari, selalu ada calon konsumen atau penggemar barang antik yang mendatangi tempat ini. “Transaksinya dengan bos saya, yang saya tahu mereka kadang membeli tetapi ada juga yang sekedar melihat- lihat saja,” jelasnya.
Aduh! Berarti saya tak bisa mendapat gambaran patokan harga, karena saat saya tanyakan mengenai harga, tukang itu mengaku tidak mengetahui detail. Yang ia ketahui, setiap datang pembeli, urusannya diambil alih oleh bosnya. Kendati begitu, dirinya memberikan ancar-ancar, untuk transaksi barang, uangnya cukup banyak. “Jumlah pastinya tidak tahu mas, tapi mayoritas segini,” ujarnya sembari memperagakan ibu jarinya dan telunjuk memperlihatkan tingginya tumpukan duit.
[caption caption="Daun pintu milik Wahing (foto: bamset)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/16/f0663-569a1d8ca623bd9607e192a0.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
[caption caption="Risban koleksi haji Iwan seharga Rp 15 juta (foto: bamset)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/16/f0671-569a1dfabd22bd3309b60737.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Beli Kepuasan
Haji Iwan yang menjadi kolektor barang antik sejak 15 tahun lalu, mengaku mengumpulkan joglo, risban, meja kursi, gebyok, gazebo dan berbagai barang lain secara perlahan. Ada yang dibelinya murah, namun tak sedikit harga belinya mencapai ratusan juta. “Untuk joglo ukuran 4 kali 5 meter yang penuh ukiran itu, saya beli seharga Rp 100 juta,” katanya sambil menunjuk joglo sarat dengan ukiran.
[caption caption="Joglo koleksi haji Iwan seharga Rp 100 juta (foto: bamset)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/16/f0675-569a1e3b747e613309800696.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Berbicara kepuasan, tentunya tak ada tolok ukurnya. Iwan pernah membeli joglo ukuran 3 X 4 meter seharga Rp 20 juta, belum sempat dipasang di rumahnya, mendadak ada mantan pejabat yang berminat. Karena tidak sempat menikmati, dirinya pasang harga Rp 70 juta. Celakanya, pejabat tersebut mengiyakan tanpa menawarnya. Dikalkulasi, dalam hitungan jam, Iwan menikmati keuntungan bersih Rp 50 juta.
[caption caption="Yang ini risban milik haji Iwan seharga Rp 30 juta (foto: bamset)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/16/f0672-569a1e75a6afbd3307dad08b.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Menurut Iwan, menekuni bisnis kayu lawas dibutuhkan pengetahuan khusus tentang seluk beluk perkayuan. Kalau orang awam nekad terjun bisnis ini, alamat bakal menemui kekecewaan. Pasalnya, belakangan banyak pengrajin barang- barang lawas yang mampu membuat replika joglo, risban, meja, gebyok mau pun gazebo. Di mana, dengan teknik tertentu, kayu yang dipergunakan membuat replika nampak seperti kayu tua.
[caption caption="Rumah joglo milik haji Iwan yang bisa disewa permalam (foto: bamset)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/16/f0674-569a1eb2c923bd84122116cc.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Koleksi Iwan sendiri membuat saya terbengong- bengong, saat ini ia bilang memiliki stock sekitar 15 joglo, 10 gazebo, 10 risban dan berbagai meubel yang tak terhitung. Barang-barang itu ia kumpulkan sejak 15 tahun lalu. Meski banyak yang kondisinya terpasang, namun ada juga yang masih berbentuk bahan siap pasang. Sedang rentang harga minimal Rp 10 juta, maksimal Rp 150 juta tergantung jenis barangnya. “Ada peminat atau tidak, kalo ada yang menjual dan saya berminat, ya tetap saya beli,” jelasnya.
Dari pengamatan saya, barang-barang kayu buatan masa lampau memang penuh pesona. Tak heran bila memiliki semacam magnet tersendiri bagi orang- orang berduit untuk mengoleksinya. Celakanya, di jaman yang serba pragmatis, banyak warga pedesaan lebih suka melego rumah joglo miliknya dan diganti dengan rumah tembok. Padahal, rumah- rumah peninggalan moyangnya tersebut sebenarnya mengandung nilai historis yang tidak dapat dinilai harganya.
Itulah hasil JJS saya, menarik memang. Keberadaan kolektor mau pun pedagang barang kuno mampu mematahkan teori ekonomi. Yang hal cukup mengherankan, meski negara tengah dilanda krisis ekonomi, namun bisnis berbagai barang lawas sama sekali tak terganggu. Transaksi tetap berjalan tanpa terpengaruh situasi krisis. Bahkan, saat tahun 1998, perputaran uang atas transasksi kayu- kayu uzur tersebut malah tinggi. Keren memang. (*)