Berbicara kepuasan, tentunya tak ada tolok ukurnya. Iwan pernah membeli joglo ukuran 3 X 4 meter seharga Rp 20 juta, belum sempat dipasang di rumahnya, mendadak ada mantan pejabat yang berminat. Karena tidak sempat menikmati, dirinya pasang harga Rp 70 juta. Celakanya, pejabat tersebut mengiyakan tanpa menawarnya. Dikalkulasi, dalam hitungan jam, Iwan menikmati keuntungan bersih Rp 50 juta.
[caption caption="Yang ini risban milik haji Iwan seharga Rp 30 juta (foto: bamset)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/16/f0672-569a1e75a6afbd3307dad08b.jpg?v=600&t=o?t=o&v=555)
Menurut Iwan, menekuni bisnis kayu lawas dibutuhkan pengetahuan khusus tentang seluk beluk perkayuan. Kalau orang awam nekad terjun bisnis ini, alamat bakal menemui kekecewaan. Pasalnya, belakangan banyak pengrajin barang- barang lawas yang mampu membuat replika joglo, risban, meja, gebyok mau pun gazebo. Di mana, dengan teknik tertentu, kayu yang dipergunakan membuat replika nampak seperti kayu tua.
[caption caption="Rumah joglo milik haji Iwan yang bisa disewa permalam (foto: bamset)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/16/f0674-569a1eb2c923bd84122116cc.jpg?v=600&t=o?t=o&v=555)
Koleksi Iwan sendiri membuat saya terbengong- bengong, saat ini ia bilang memiliki stock sekitar 15 joglo, 10 gazebo, 10 risban dan berbagai meubel yang tak terhitung. Barang-barang itu ia kumpulkan sejak 15 tahun lalu. Meski banyak yang kondisinya terpasang, namun ada juga yang masih berbentuk bahan siap pasang. Sedang rentang harga minimal Rp 10 juta, maksimal Rp 150 juta tergantung jenis barangnya. “Ada peminat atau tidak, kalo ada yang menjual dan saya berminat, ya tetap saya beli,” jelasnya.
Dari pengamatan saya, barang-barang kayu buatan masa lampau memang penuh pesona. Tak heran bila memiliki semacam magnet tersendiri bagi orang- orang berduit untuk mengoleksinya. Celakanya, di jaman yang serba pragmatis, banyak warga pedesaan lebih suka melego rumah joglo miliknya dan diganti dengan rumah tembok. Padahal, rumah- rumah peninggalan moyangnya tersebut sebenarnya mengandung nilai historis yang tidak dapat dinilai harganya.
Itulah hasil JJS saya, menarik memang. Keberadaan kolektor mau pun pedagang barang kuno mampu mematahkan teori ekonomi. Yang hal cukup mengherankan, meski negara tengah dilanda krisis ekonomi, namun bisnis berbagai barang lawas sama sekali tak terganggu. Transaksi tetap berjalan tanpa terpengaruh situasi krisis. Bahkan, saat tahun 1998, perputaran uang atas transasksi kayu- kayu uzur tersebut malah tinggi. Keren memang. (*)