[caption caption="Warung makan Bu Toha nampak depan (foto: bamset)"][/caption]Pada jam- jam makan siang, sekitar pk 12.00- 14.00 dan sore hari pk 16.00-18.00, warung makan ayam goreng Bu Toha yang terletak di Desa Praguman, Tuntang, Kabupaten Semarang hampir setiap hari mampu membuat jalan raya macet. Pasalnya, mobil- mobil pengunjung keluar masuk sehingga harus memotong lalu lintas yang padat.
Begitu spesialkah ayam goreng Bu Toha, sehingga sanggup membuat arus lalu lintas tersendat ? Jumat (15/1) siang, sekitar pk 14.00 , usai jalan- jalan siang (JJS) saya mencoba menikmati keriuhan menyantap ayam goreng yang lagendaris itu. Dari Salatiga menuju warung makan tersebut hanya membutuhkan waktu 10 menit dan perjalanan relatif lancar, maklum saya menggunakan motor.
Sekitar 500 meter menjelang tiba di warung makan Bu Toha, arus lalu lintas sudah mulai tersendat. Saya sangat hafal, biasanya pada jam makan siang, kendaraan roda empat keluar masuk halaman parkir yang hanya muat paling banter 10 mobil. Dari arah Salatiga memotong untuk memasuki parkiran, sebaliknya pengunjung yang usai santap santap siang dan meneruskan tujuannya kearah Semarang juga memotong jalan.
Usai memarkirkan motor, saya memasuki bangunan sederhana berukuran 15 X 8 meter. Celakanya, tidak ada tempat duduk yang tersisa. Ruangan yang sempit, ditambah tak adanya pendingin udara, tak pelak lagi membuat pengunjung bersimbah peluh. Panasnya bukan main, untuk menikmati makan siang, kesannya jauh dari nyaman. Baik yang selesai santap siang mau pun yang perutnya belum terisi, sama- sama berkeringat.
Di sini , di warung makan Bu Toha, jangan berharap ada pelayanan yang istimewa. Semua pengunjung mendapat perlakuan yang sama, begitu duduk, maka pelayan menghampiri untuk mencatat pesanan. Sementara bagi pengunjung yang telah menjadi pelanggan, akan langsung menuju meja besar. Di mana berbagai potongan ayam kampung dipajang di atas baskom. Begitu pun lauk lainnya, bebek,botok, tahu, hingga pete.
[caption caption="Silahkan pilih sendiri lauknya (foto: bamset)"]
[caption caption="Begini penyajian sambalnya, dijamin pedas abis (foto: bamset)"]
Setelah memilih dua potong ayam untuk digoreng, karena tidak ada meja yang kosong, akhirnya saya nebeng di meja rombongan 5 orang pemuda asal Semarang. Biar tak seperti orang hilang yang hanya melongo, saya menyapa anak- anak muda itu. Salah satu yang bernama Bayu, mengaku baru saja mengunjungi kerabatnya di Surakarta. “ Memasuki Salatiga perut sudah keroncongan mas, makanya kita mampir ke sini,” jelasnya sembari mengelap keringat di dahinya.
Menurut Bayu, hampir setiap melewati wilayah Tuntang, Kabupaten Semarang, ia selalu menyempatkan mampir di warung makan Bu Toha. Sebab, ada sensasi berbeda ketika menikmati ayam goreng di sini. Apa lagi kalau bukan keriuhan di dalam warung, baik yang ganteng mau pun cantik, semua berbaur. Bau parfum campur keringat menjadi daya pemikat tersendiri. Dia terus berceloteh, sedang saya hanya manggut- manggut. Dirinya berhenti bicara saat pesanan saya datang.
Seperti pembeli lainnya, pesanan saya disajikan menggunakan dua piring. Piring yang satu berisi nasi putih, sedang satunya lagi berisikan dua potong ayam goreng. Sedang cobek ukuran kecil berisikan sambal bawang yang pedasnya minta ampun. Tanpa menunggu lebih lama, semuanya saya embat. Sebelum saya menyelesaikan makan siang, Bayu dan rekan- rekannya berpamitan. Meski begitu, bukan berarti meja kosong. Sebab, jeda lima menit datang 3 orang langsung bergabung di meja yang sama.
[caption caption="Begini suasana di dalamnya (foto: bamset)"]