[caption caption="Simbol KGGSP (foto: dok KGGSP)"][/caption]
Ada yang menarik dalam 10 tahun terakhir ini, yakni keberadaan Komunitas Gugur Gunung Salatiga Peduli (KGGSP) yang anggotanya merupakan para pejuang lingkungan. Sepak terjang mereka di berbagai musibah di Jawa Tengah,serta aksi- aksi penghijauan yang dilakukan membuat saya tertarik mengupasnya. Berikut catatan saya.
Awalnya, tanggal 27 Mei 2006 saat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dihantam gempa, beberapa anak muda yang merasa empati atas penderitaan korban gempa membentuk Komunitas Salatiga Peduli (KSP). Dibidani oleh Santo Handoyo, puluhan personilnya segera menggalang bantuan untuk disalurkan pada pihak- pihak yang membutuhkan. Tak sekedar memberikan materi, para aktifisnya juga berhari- hari berada di lokasi musibah guna membantu memperbaiki rumah- rumah warga.
Berangkat dari kejadian gempa DIY itulah, akhirnya KSP kerap hadir di berbagai musibah di seputar Jawa Tengah mau pun propinsi tetangga. Mulai meletus gunung Merapi, gunung Kelud, banjir pantura hingga beberapa kejadian lainnya. “Pada setiap kegiatan berbau kemanusiaan, ternyata banyak elemen masyarakat Salatiga lainnya yang ikut nimbrung dan berperan aktif,” kata Ketua KGGSP saat saya temui, Kamis (14/1) di kebun pembibitan yang terletak di Jalan Osamaliki, Kota Salatiga.
[caption caption="Mbah Santo & Antok tengah membuat arang sekam (foto: bamset)"]
Karena banyaknya elemen masyarakat yang tergabung, akhirnya Santo yang biasa disapa dengan panggilan Mbah Santo, melebur KSP menjadi KGGSP. Penambahan unsur gugur gunung sengaja ditambahkan untuk menegaskan bahwa KGGSP yang dipimpinnya merupakan suatu aktifitas yang melibatkan orang dalam jumlah besar. Gugur gunung sendiri, di kalangan masyarakat pedesaan dikenal sebagai kegiatan gotong royong (kerja bhakti). “Sampai sekarang warga pedesaan masih akrab dengan gugur gunung saat mendirikan rumah atau pun kegiatan lain,” jelas Mbah Santo didampingi Antok yang sehari- harinya bertanggungjawab atas pembibitan.
Dengan semangat gugur gunung itulah, segala kesulitan yang dialami KGGSP mampu teratasi. Mereka sudah kerap merambah daerah rawan bencana, mereka kerap turun langsung di lapangan saat terjadi musibah, modalnya hanya tenaga yang sehat. Kendati begitu, kiprahnya mampu memberikan solusi bagi pihak yang membutuhkan. Keren !
[caption caption="Aksi KGGSP di salah satu gunung (foto: dok KGGSP)"]
Setelah KSP dilebur menjadi KGGSP, ternyata respon masyarakat baik di Salatiga mau pun luar kota sangat antusias. Terlebih lagi ketika program penghijauan dijadikan prioritas utama, belakangan banyak aktifis lingkungan luar provinsi Jawa Tengah ikut tergabung. Hal tersebut terlihat saat KGGSP menggelar event tahunan 1001 Pendaki Tanam Pohon (baca: 1001-pendaki-tanam-pohon-di-gunung-merbabu). Animo pecinta lingkungan di berbagai daerah benar- benar mengharukan. Mereka bergabung secara suka rela, tanpa berharap imbalan dan mau bersusah payah naik gunung sekedar menanam 2- 10 bibit tanaman.
[caption caption="Mbah Santo pejuang lingkungan saat berbincang (foto: bamset)"]
Sarat Aksi, Minim Publikasi
Dengan mengusung slogan tanam pohon atau bencana, KGGSP yang mempunyai ribuan partisipan terus bergerak. Nyaris tidak ada musibah di Jawa Tengah yang tak dihadiri personilnya, kendati tanpa diminta. Bahkan, saat terjadi banjir di Tegowanu, kabupaten Grobogan, para aktifis KGGSP sempat bertahan selama satu bulan penuh di lokasi. “Ketika tim lainnya sudah meninggalkan lokasi bencana banjir, kami tetap di sana hingga tuntas,” ujar Mbah Santo tanpa bermaksud jumawa.
Begitu pun ketika warga Dusun Cuntel, Kopeng, Getasan, Kabupaten Semarang mengalami kesulitan air bersih akibat rusaknya jaringan pipa dari gunung Merbabu, tanpa diminta KGGSP segera turun tangan. Lucunya, informasi yang diperoleh sangat berbeda disbanding kondisi riil di lapangan. “Laporan yang kami terima ada kebocoran pipa di beberapa titik,” tukas Antok yang mendampingi Mbah Santo dalam perbincangan,
Karena sudah menyanggupi untuk memperbaiki kerusakan, akhirnya aktifis KGGSP mendatangi lokasi yang merupakan satu- satunya dusun paling pojok di wilayah Kabupaten Semarang itu. Hasilnya ? Kerusakan yang terjadi teramat sangat parah. Pipa sepanjang hampir 1 kilometer rusak semua. Untuk itu, dibutuhkan ratusan batang pipa agar warga dusun Cuntel mampu menikmati air bersih. Alhamdulillah, berkat bantuan relawan dan donator, pipa- pipa bisa terpasang tanpa kendala.
Menyusul keberhasilannya menyambung pipa sepanjang 1 kilometer tersebut, beberapa desa lain ikut meminta KGGSP memperbaiki jaringan air bersihnya. Tercatat mulai dari desa Jlarem, Ampel, Kabupaten Boyolali, Sokowolu, Tajuk, Getasan, Kabupaten semarang dan lokasi- lokasi lain pernah dijamahnya. Hebatnya, mayoritas kerusakan mencapai ratusan meter panjang pipa.
Kepedulian KGGSP terhadap lingkungan, juga merambah pada kehidupan masyarakat dhuafa. Selama 10 tahun terakhir, mereka sudah melakukan bedah rumah di 9 lokasi di Kota Salatiga dan sekitarnya. Mayoritas rumah yang dibedah milik janda- janda miskin yang tempat tinggalnya sangat tidak layak huni. “Kami menjalin kerja sama dengan pihak lain untuk membedah rumah,” tutur Mbah Santo.
Begitu pula dengan adanya musibah yang terjadi di gunung- gunung seputaran jawa Tengah dan Jawa Timur, KGGSP tak pernah absen turun ke lapangan. Baik soal hilangnya pendaki, terjadinya kebakaran hutan hingga reboisasi. Untuk hal terakhir, yakni penanaman pohon di gunung, personil yang terlibat selalu mencapai ribuan orang. Hari Minggu (17/1) mendatang mereka akan melakukan penanaman bibit pohon di desa Candisari, Ampel, Kabupaten Boyolali. Sedang tanggal 14 Febuari bakal mengerahkan 1001 pendaki ke gunung Ungaran.
Ada catatan tersendiri bagi saya, kendati KGGSP sarat aksi, namun yang mengherankan minim publikasi. Saya tidak tahu apa penyebabnya sehingga awak media agak ogah- ogahan menulis tentang aktifitas mereka. Padahal, personil KGGSP sebenarnya merupakan pejuang lingkungan yan g sangat layak diapresiasi. Tetapi, faktanya dukungan media cetak mau pun elektronik relatif sepi. Satu- satunya media sosial yang mereka manfaatkan untuk komunikasi hanya sebatas facebook.
[caption caption="Mbah Santo di salah satu lokasi pembibitannya (foto: dok KGGSP)"]
Tolak Bantuan Luar Negeri
Mbah Santo yang rela mengorbankan mobil pribadinya untuk ambulans sekaligus sebagai sarana transportasi, mengakui segala kiprah KGGSP adalah implementasi ketahanan nasional seperti yang dicanangkan pemerintah selama ini. Perbedaannya yang signifikan terletak di lapangannya. Kalau pemerintah harus mencekoki aparaturnya tentang ketahanan nasional melalui seminar mau pun teori- teori, sebaliknya aktifis KGGSP cenderung pratek langsung.
“Kalau masyarakat tenang, lingkungan terjaga, penghijauan berjalan dan tidak ada bencana, saya pikir itulah implementasi dari ketahanan nasional. Nah, hal itu dimulai dari mana? Ya dimulai dari diri kita sendiri,” jelas Mbah Santo.
Bagi KGGSP, tak perlu rakyat dicekoki dengan teori- teori ketahanan nasional, yang dibutuhkan adalah perbuatan riil di lapangan. Pihaknya mengaku enggan mengumbar banyak kata tetapi sepi bekerja, mereka lebih suka hal sebaliknya. Bila kondisi masyarakat relatif tenang, bisa dipastikan tidak ada gejolak apa pun. Terkait hal itu, yang paling penting dimulai dari lingkungan. Lingkungan yang sehat akan membuat rakyat ikut sehat.
[caption caption="Mobil pribadi Mbah Santo disulap jadi ambulan gratis (foto: dok KGGSP)"]
Saat ini, KGGSP tengah menyiapkan 50 ribu berbagai jenis bibit tanaman. Nantinya, 25 ribu bibit tanaman jenis Flamboyan akan ditebar di wilayah kota Salatiga, sedang sisanya bakal dibenamkan di gunung- gunung. Kebutuhan udara yang bersih, menjadi prioritas gerakan KGGSP. Untuk itu, pihaknya tak mengenal kosa kata lelah dalam mengedukasi masyarakat agar sadar terhadap pentingnya lingkungan hijau.
Salah satu bagian penting dalam mengedukasi, KGGSP selalu mewajibkan personilnya untuk membawa bibit tanaman saat melakukan pendakian. Terkait hal tersebut, pihaknya menyiapkan ribuan jenis tanaman yang setiap waktu boleh diminta para pendaki. Sehingga, ketika tiba di atas gunung, mereka tak sekedar menikmati alam segar saja, namun juga memiliki kewajiban menjaga, melestarikan dan merawatnya.
Hal yang membuat saya trenyuh, para pejuang lingkungan di KGGSP, selain melakukan aktifitas secara suka rela, mereka juga lebih banyak menomboki selama kegiatan berlangsung. Salah satunya ketika program 1001 pendaki tanam pohon, praktis ribuan pendaki mengeluarkan biaya sendiri untuk transportasi, makan mau kebutuhan lain. Pasalnya, pihak KGGSP selaku panitia penyelenggara tidak menyediakan fasilitas apa pun, kecuali bibit tanaman.
Dalam pembibitan pun, saya tersenyum sendiri melihat cara mereka menyediakan stock ribuan bibit. Karena keterbatasan dana, mereka tak mampu membeli polybag. Sebagai gantinya, gelas plastik mau pun botol minuman mineral dimanfaatkan untuk menyemai berbagai benih tanaman. Ibarat tidak ada rotan akar pun jadi, maka agar proses pembibitan tetap berjalan, limbah plastik terpaksa digunakan. Termasuk bibit pohon Asoka yang perbatangnya seharga Rp 4 ribu, wadahnya juga dari bekas botol plastik. Kreatif memang.
Dalam usianya yang memasuki 10 tahun, KGGSP banyak dikenal oleh pecinta lingkungan manca negara. Meski begitu, Mbah Santo tetap memegang komitmen untuk tidak menerima bantuan finansial dari luar negeri. “Ini merupakan salah satu bentuk harga diri bangsa, kami tidak mau menjual kerusakan lingkungan pada donator luar negeri. Apa pun gerakan kami, seperti ajaran Bung Karno, prinsipnya berdiri kaki sendiri (Berdikari),” tukasnya ketika menutup perbincangan.
Itulah sedikit catatan saya tentang KGGSP yang sampai sekarang terus bergerak untuk kelestarian bumi. Mereka tidak menuntut upah apa pun, mereka hanya berharap agar anak cucu di masa mendatang masih mampu menikmati udara bersih, sehat dan tak tercemar berbagai limbah beracun. Sebelum menutupnya, saya ingin menyampaikan salam perjuangan KGGSP, yakni salam gugur gunung! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H