Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Komunitas Gugur Gunung Salatiga Peduli Sarat Aksi

14 Januari 2016   18:21 Diperbarui: 14 Januari 2016   19:43 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi KGGSP, tak perlu rakyat dicekoki dengan teori- teori ketahanan nasional, yang dibutuhkan adalah perbuatan riil di lapangan. Pihaknya mengaku enggan mengumbar banyak kata tetapi sepi bekerja, mereka lebih suka hal sebaliknya. Bila kondisi masyarakat relatif tenang, bisa dipastikan tidak ada gejolak apa pun. Terkait hal itu, yang paling penting dimulai dari lingkungan. Lingkungan yang sehat akan membuat rakyat ikut sehat.

[caption caption="Mobil pribadi Mbah Santo disulap jadi ambulan gratis (foto: dok KGGSP)"]

[/caption]

Saat ini, KGGSP tengah menyiapkan 50 ribu berbagai jenis bibit tanaman. Nantinya, 25 ribu bibit tanaman jenis Flamboyan akan ditebar di wilayah kota Salatiga, sedang sisanya bakal dibenamkan di gunung- gunung. Kebutuhan udara yang bersih, menjadi prioritas gerakan KGGSP. Untuk itu, pihaknya tak mengenal kosa kata lelah dalam mengedukasi masyarakat agar sadar terhadap pentingnya lingkungan hijau.  

Salah satu bagian penting dalam mengedukasi, KGGSP selalu mewajibkan personilnya untuk membawa bibit tanaman saat melakukan pendakian. Terkait hal tersebut, pihaknya menyiapkan ribuan jenis tanaman yang setiap waktu boleh diminta para pendaki. Sehingga, ketika tiba di atas gunung, mereka tak sekedar menikmati alam segar saja, namun juga memiliki kewajiban menjaga, melestarikan dan merawatnya.

Hal yang membuat saya trenyuh, para pejuang lingkungan di KGGSP, selain melakukan aktifitas secara suka rela, mereka juga lebih banyak menomboki selama kegiatan berlangsung. Salah satunya ketika program 1001 pendaki tanam pohon, praktis ribuan pendaki mengeluarkan biaya sendiri untuk transportasi, makan mau kebutuhan lain. Pasalnya, pihak KGGSP selaku panitia penyelenggara tidak menyediakan fasilitas apa pun, kecuali bibit tanaman.

Dalam pembibitan pun, saya tersenyum sendiri melihat cara mereka menyediakan stock ribuan bibit. Karena keterbatasan dana, mereka tak mampu membeli polybag. Sebagai gantinya, gelas plastik mau pun botol minuman mineral dimanfaatkan untuk menyemai berbagai benih tanaman. Ibarat tidak ada rotan akar pun jadi, maka agar proses pembibitan tetap berjalan, limbah plastik terpaksa digunakan. Termasuk bibit pohon Asoka yang perbatangnya seharga Rp 4 ribu, wadahnya juga dari bekas botol plastik. Kreatif memang.

Dalam usianya yang memasuki 10 tahun, KGGSP banyak dikenal oleh pecinta lingkungan manca negara. Meski begitu, Mbah Santo tetap memegang komitmen untuk tidak menerima bantuan finansial dari luar negeri. “Ini merupakan salah satu bentuk harga diri bangsa, kami tidak mau menjual kerusakan lingkungan pada donator luar negeri. Apa pun gerakan kami, seperti ajaran Bung Karno, prinsipnya berdiri kaki sendiri (Berdikari),” tukasnya ketika menutup perbincangan.

Itulah sedikit catatan saya tentang KGGSP yang sampai sekarang terus bergerak untuk kelestarian bumi. Mereka tidak menuntut upah apa pun, mereka hanya berharap agar anak cucu di masa mendatang masih mampu menikmati udara bersih, sehat dan tak tercemar berbagai limbah beracun. Sebelum menutupnya, saya ingin menyampaikan salam perjuangan KGGSP, yakni salam gugur gunung! (*)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun