Dengan mengusung slogan tanam pohon atau bencana, KGGSP yang mempunyai ribuan partisipan terus bergerak. Nyaris tidak ada musibah di Jawa Tengah yang tak dihadiri personilnya, kendati tanpa diminta. Bahkan, saat terjadi banjir di Tegowanu, kabupaten Grobogan, para aktifis KGGSP sempat bertahan selama satu bulan penuh di lokasi. “Ketika tim lainnya sudah meninggalkan lokasi bencana banjir, kami tetap di sana hingga tuntas,” ujar Mbah Santo tanpa bermaksud jumawa.
Begitu pun ketika warga Dusun Cuntel, Kopeng, Getasan, Kabupaten Semarang mengalami kesulitan air bersih akibat rusaknya jaringan pipa dari gunung Merbabu, tanpa diminta KGGSP segera turun tangan. Lucunya, informasi yang diperoleh sangat berbeda disbanding kondisi riil di lapangan. “Laporan yang kami terima ada kebocoran pipa di beberapa titik,” tukas Antok yang mendampingi Mbah Santo dalam perbincangan,
Karena sudah menyanggupi untuk memperbaiki kerusakan, akhirnya aktifis KGGSP mendatangi lokasi yang merupakan satu- satunya dusun paling pojok di wilayah Kabupaten Semarang itu. Hasilnya ? Kerusakan yang terjadi teramat sangat parah. Pipa sepanjang hampir 1 kilometer rusak semua. Untuk itu, dibutuhkan ratusan batang pipa agar warga dusun Cuntel mampu menikmati air bersih. Alhamdulillah, berkat bantuan relawan dan donator, pipa- pipa bisa terpasang tanpa kendala.
Menyusul keberhasilannya menyambung pipa sepanjang 1 kilometer tersebut, beberapa desa lain ikut meminta KGGSP memperbaiki jaringan air bersihnya. Tercatat mulai dari desa Jlarem, Ampel, Kabupaten Boyolali, Sokowolu, Tajuk, Getasan, Kabupaten semarang dan lokasi- lokasi lain pernah dijamahnya. Hebatnya, mayoritas kerusakan mencapai ratusan meter panjang pipa.
Kepedulian KGGSP terhadap lingkungan, juga merambah pada kehidupan masyarakat dhuafa. Selama 10 tahun terakhir, mereka sudah melakukan bedah rumah di 9 lokasi di Kota Salatiga dan sekitarnya. Mayoritas rumah yang dibedah milik janda- janda miskin yang tempat tinggalnya sangat tidak layak huni. “Kami menjalin kerja sama dengan pihak lain untuk membedah rumah,” tutur Mbah Santo.
Begitu pula dengan adanya musibah yang terjadi di gunung- gunung seputaran jawa Tengah dan Jawa Timur, KGGSP tak pernah absen turun ke lapangan. Baik soal hilangnya pendaki, terjadinya kebakaran hutan hingga reboisasi. Untuk hal terakhir, yakni penanaman pohon di gunung, personil yang terlibat selalu mencapai ribuan orang. Hari Minggu (17/1) mendatang mereka akan melakukan penanaman bibit pohon di desa Candisari, Ampel, Kabupaten Boyolali. Sedang tanggal 14 Febuari bakal mengerahkan 1001 pendaki ke gunung Ungaran.
Ada catatan tersendiri bagi saya, kendati KGGSP sarat aksi, namun yang mengherankan minim publikasi. Saya tidak tahu apa penyebabnya sehingga awak media agak ogah- ogahan menulis tentang aktifitas mereka. Padahal, personil KGGSP sebenarnya merupakan pejuang lingkungan yan g sangat layak diapresiasi. Tetapi, faktanya dukungan media cetak mau pun elektronik relatif sepi. Satu- satunya media sosial yang mereka manfaatkan untuk komunikasi hanya sebatas facebook.
[caption caption="Mbah Santo di salah satu lokasi pembibitannya (foto: dok KGGSP)"]
Tolak Bantuan Luar Negeri
Mbah Santo yang rela mengorbankan mobil pribadinya untuk ambulans sekaligus sebagai sarana transportasi, mengakui segala kiprah KGGSP adalah implementasi ketahanan nasional seperti yang dicanangkan pemerintah selama ini. Perbedaannya yang signifikan terletak di lapangannya. Kalau pemerintah harus mencekoki aparaturnya tentang ketahanan nasional melalui seminar mau pun teori- teori, sebaliknya aktifis KGGSP cenderung pratek langsung.
“Kalau masyarakat tenang, lingkungan terjaga, penghijauan berjalan dan tidak ada bencana, saya pikir itulah implementasi dari ketahanan nasional. Nah, hal itu dimulai dari mana? Ya dimulai dari diri kita sendiri,” jelas Mbah Santo.