[caption caption="Wakil Walikota Salatiga M. Haris saat menerima penghargaan (foto: dok M. Haris)"][/caption]
Untuk kesekian kalinya, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI memberikan penghargaan terhadap Kota Salatiga , Jawa Tengah atas kepedulian kota kecil ini terhadap hal- hal yang terkait dengan hak asasi manusia (HAM).
Kepastian Kota Salatiga menerima penghargaan sebagai salah satu kabupaten/ Kota yang mampu menjunjung tinggi HAM ini, saya terima dari Wakil Walikota Salatiga Muh Haris SS MSi, Jumat (11/12) malam. “ Piagam penghargaan saya terima langsung dari Menkumham Yasonna H Laoly di Graha Pangayoman, Jakarta,” jelasnya.
Mendapat kabar tersebut, saya mengucapkan selamat tanpa ingin mengetahui bentuk piagam penghargaannya. Bagi saya, implementasi sebagai kota peduli HAM lebih penting dari pada selembar kertas yang ditandatangani Yosonna H Laoly. Siapa pun pasti sepakat bahwa kondisi riil di lapangan sangat berarti dibanding segala macam piagam yang bersifat formalitas belaka.
Untuk mengantongi label sebagai kota peduli HAM, sedikitnya ada lima kriteria yang masuk dalam penilaian. Di antaranya, hak hidup, hak mengembangkan diri, hak atas kesejahteraan, hak atas rasa aman dan hak perempuan. Dari lima poin tersebut, Kota Salatiga memperoleh penilaian di atas rata- rata. Kebetulan, kota ini bukan yang pertama kalinya mendapatkan penghargaan serupa. Terkait hal itu, akan bijak bila membedah realita di lapangan.
Hak hidup bagi warga Kota Salatiga, seperti galibnya warga di kota mau pun kabupaten lainnya, masyarakat yang tinggal di kota ini jug merasakan hal serupa. Kehidupan warga tanpa membedakan kasta, memang mendapat proteksi penuh dari jajaran kepolisian. Ibarat, gangguan keamanan yang ada relatif minim sehingga mayoritas warga merasakan kenyamanan tinggal di salatiga.
Pihak kepolisian bekerja sama dengan pemerintah kota (Pemkot) Salatiga berupaya menciptakan situasi yang kondusif, aman dan tentram di tengah masyarakat. Untu itu, dibuat program Safe House 110 yang target utamanya mampu memberikan proteksi terhadap warga yang merasa terancam kehidupannya. Seseorang yang mengalami suatu kejadian kriminal, bisa langsung mendatangi rumah aman, dalam tempo 5 menit, petugas kepolisian bakal tiba di lokasi.
[caption caption="Salah satu rumah yang dijadikan Safe House (foto: bamset)"]
Demikian pula dengan aktifitas warga dalam mencari nafkah yang merupakan bagian vital dalam kehidupan. Di Kota Salatiga, praktis seluruh warganya tak mengalami hambatan untuk berupaya di segala lini usaha. Para pedagang kaki lima yang sebelumnya menempati areal terlarang, sejak 15 tahun lalu telah tertata di beberapa lokasi. Meski begitu, namanya saja pedagang ya tetap saja mencari celah agar bisa majang dagangannya di sembarang lokasi.
Ratusan pedagang kaki lima yang sejak tahun 2000 an mendirikan Pasar Pagi di Jalan Jendral Sudirman, oleh instansi terkait sengaja dipelihara hingga sekarang. Demikian pula di lapangan Pancasila, kendati membuat pemandangan tak nyaman, namun lapangan itu dimanfaatkan berdagang kuliner yang buka pagi sampai malam hari. Kesempatan mencari nafkah ini, memang terbuka luas. Celakanya, hak hidup tersebut juga mencakup pendirian sekitar 70 an tempat karaoke yang lengkap beserta gadis – gadis pemanisnya.
[caption caption="PKL di Pasar Pagi (foto: bamset)"]
Pluralisme di Salatiga
Untuk mengupas hak hidup, rasanya terlalu banyak yang harus disigi, sebab, nyaris semua sisi kehidupan layak dipelototi. Kendati begitu, saya merasakan selama ini tak ada yang mengusik kehidupan warga Kota Salatiga. Baik kehidupan beragama, berekspresi hingga mencari nafkah. Sepertinya sudah sepantasnya Salatiga mendapat label kota peduli HAM.
Poin kedua yakni hak mengembangkan diri, saya pikir hak ini memang milik seluruh warga. Sehingga eksistensi mereka di berbagai bidang tak pernah menemui hambatan. Kompetisi individu secara sehat sudah berjalan lama di Salatiga. Sejak jaman kemerdekaan, Salatiga mampu menjunjung tinggi pluralisme. Perbedaan yang ada di masyarakat, terbukti tidak bisa memecah belah.
Hak atas kesejahteraan bagi warga Kota Salatiga, sepertinya tak jauh berbeda bila disbanding dengan kota lainnya. Kesejahteraan yang normatif telah dinikmati warga sejak puluhan tahun yang lalu, tak peduli siapa pun pemimpinnya, masyarakat merasa menikmati tingkat sejahteranya kendati terkadang ada ketimpangan.
[caption caption="Mahasiswa asal Papua saat akan gelar ritual bakar batu (foto: bamset)"]
Sedang hak rasa aman, kiranya tak jauh- jauh amat dengan poin pertama yakni hak hidup. Seperti yang saya kupas di atas, program Safe House 110 sampai sejauh ini masih dianggap mampu memberikan proteksi terhadap warga. Namun, bila hak rasa aman diterjemahkan secara luas, maka akan meliputi berbagai sendi kehidupan. Di sini saya sedikit memberikan contoh tentang kehidupan beragama di Salatiga dan keberadaan para perantau asal luar pulau Jawa.
Di Kota Salatiga, yang 75 persen penduduknya beragama Muslim, ternyata tak pernah terjadi benturan antar umat beragama. Padahal, di kota ini terdapat (sekarang) sekitar 80 an gereja. Tiap perayaan Natal, lapangan Pancasila yang di hari raya Idhul Fitri dipergunakan untuk sholat Ied, secara bergantian tanggal 25 Desember dimanfaatkan guna menggelar kebaktian Natal bersama. Ritual tersebut sudah berjalan puluhan tahun dan belum sekali pun menimbulkan gesekan.
[caption caption="Kebaktian Natal bersama di lapangan Pancasila (foto: bamset)"]
Begitu pun dengan keberadaan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang memiliki puluhan ribu mahasiswa, konsekuensi logisnya, banyak mahasiswa pendatang dari luar Jawa yang tercatat sebagai mahasiswanya. Berdasarkan catatan, terdapat 23 suku yang berdiam di Kota Salatiga. Sepanjang yang saya ingat, belum pernah terjadi benturan di kalangan pendatang. Mereka berbaur dan mampu beradaptasi.
[caption caption="Salah satu contoh kebebasan berekspresi di Salatiga (foto: bamset)"]
Keramahan masyarakat Kota Salatiga, terkadang menimbulkan salah persepsi. Sehingga ada satu dua oknum yang nekad melecehkannya. Salah satunya adalah anak- anak muda pengelola majalah kampus Lentera, dengan entengnya mereka memberikan stempel Salatiga sebagai Kota Merah. Giliran muncul aksi- aksi yang menentangnya secara elegan, blingsatan sendiri.
Yang terakhir, mengenai hak perempuan, saya pikir kaum wanita di Kota Salatiga memiliki hak yang sama dengan kaum pria. Beberapa jabatan strategis dipegang kalangan perempuan, seperti staf ahli Walikota, Camat Tingkir, Kepala Disdikpora, Ketua KPU hingga Wakil Ketua DPRD setempat. Sepanjang mereka memilki kredibilitas serta kapabilitas yang mumpuni, kaum hawa tidak diharamkan menduduki posisi sebagai pimpinan.
Itulah sedikit gambaran Salatiga sebagai kota peduli HAM, yang namanya pluralisme budaya, agama hingga bidang yang lain, sejak jaman penjajahan Belanda telah terpelihara dengan baik di kota ini. Jadi, tanpa mendapatkan penghargaan pun, Kota Salatiga memang tak pernah mengabaikan hal- hal yang terkait HAM. Kesimpulannya, tak hanya Yogya, Salatiga ternyata juga istimewa. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H