Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Uniknya Pasar Pagi Salatiga

9 Desember 2015   16:06 Diperbarui: 9 Desember 2015   16:16 1853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Potret pedagang di Pasar Pagi (foto: bamset)"][/caption]

Sesuai namanya, yakni Pasar Pagi Kota Salatiga, mulai buka sebelum matahari terbit dan bubar di pagi hari. Uniknya, pasar ini tak seperti galibnya sebuah tempat berdagang ratusan orang. Tidak ada kios, los, pintu gerbang mau pun atap. Semuanya serba darurat namun usianya telah puluhan tahun.

Pk 03.00 ratusan pedagang yang berdatangan dari Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang mulai berbenah untuk menyiapkan berbagai dagangannya. Di areal depan Pasar Raya I Kota Salatiga yang luasnya sekitar 2000 meter persegi, mereka memasang meja lipat ukuran 1 X 1,5 meter atau sekedar terpal plastik. Selanjutnya, barang dagangan diletakkan di atasnya. Mayoritas pedagang adalah perempuan.

Ada sedikit keanehan saat ratusan pedagang mulai menyiapkan lapaknya, sebab kapling “milik” mereka sebenarnya tak ada tanda khusus. Sebab, lokasinya memang kesehariannya merupakan areal parkir. Kendati begitu, para pedagang sepertinya telah hafal tempatnya berdagang. Sehingga, tanpa ragu, satu persatu lapak bayangan tersebut ditempati “pemiliknya”.

Selayaknya sebuah pasar, maka beragam dagangan digelar di sini. Aneka jenis sayuran yang berasal dari wilayah Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang lebih mendominasi. Karena merupakan pasar tradisional, otomatis transaksi juga melalui proses tawar menawar kecuali dagangan berupa makanan matang. Selebihnya, tinggal pintar- pintarnya pembeli dalam menawar. Kalau piawai, berbekal uang Rp 30 ribu sudah dapat berbagai sayuran segar.

Dalam ingatan saya, Pasar Pagi nan unik ini mulai dirintis tahun 1998, tepatnya seusai Pasar Raya I mengalami musibah kebakaran. Karena sempitnya lahan, akhirnya pihak pemerintah kota setempat menjadikan lahan parkir untuk penampungan sementara  pedagang. Hingga pasar yang terbakar selesai direnovasi, lokasi penampungan dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima yang berjualan sembako.

Secara perlahan, jumlah pedagang yang berdagang makin hari terus bertambah hingga mencapai sekitar 500- 600 orang. Tak ada yang memberikan nama, hanya karena bukanya pagi hari, selanjutnya disebut sebagai Pasar Pagi. Beberapa kali pihak dinas terkait mencoba menggusurnya, namun selalu gagal. Akhirnya, keberadaan mereka diakomodir dengan berbagai syarat tertentu, diantaranya membayar restribusi, menjaga ketertiban dan pk 07.00 harus bubar.

Menikmati Sarapan Ala Pasar Pagi

Hal yang menarik, di luar kebutuhan sembako, Pasar Pagi juga menyediakan berbagai kuliner khas pasar tradisional. Mulai dari bubur ayam, soto ayam, tumpang koyor, pecel hingga ikan kutuk (gabus). Semua kuliner tersebut, harganya sangat merakyat.  Semangkok soto berikut the manis, bisa dinikmati hanya seharga Rp 4 ribu !. Untuk jajanan pasar, bisa dikata sangat lengkap. Berbagai olahan panganan seperti jadah bakar, apem, wajik, jenang, bolang baling, lemper,serabi dan kue- kue basah lainnya tersedia komplit.

Meski saya warga Kota Salatiga, namun, belum tentu 6 bulan sekali bertandang ke Pasar Pagi. Melihat keriuhan ribuan orang yang belanja saja, saya merasa jengah. Hanya karena penasaran, Rabu (9/12) saya ingin menyaksikan hiruk pikuk pasar unik ini. Sekitar pk 04.30, saya dan ibunya anak- anak meluncur ke kota yang berjarak 1 kilo meter dari rumah. Udara dingin serasa merasuk tulang, tapi karena tangan bu Bambang mendekap erat, maka kehangatan mulai terasa.

Ternyata, begitu memasuki Jalan Jendral Sudirman, tepatnya mendekati Pasar Raya I, lalu lintas macet. Ratusan sepeda motor parkir malang melintang tak jelas juntrungnya. Begitu pula kendaraan roda empat yang didominasi pick up, berjajar menunggu dibongkar muatannya. Untuk mencari tempat parkir yang kosong saja membutuhkan perjuangan tersendiri.

Setelah mendapatkan tempat parkir yang saya anggap aman, ibunya anak- anak berbelanja, saya berkeliling mencari kuliner yang pas untuk sarapan. Tak sulit menemukannya, seorang ibu paruh baya, terlihat berdiri di samping meja lipat. Di atasnya terdapat berbagai lauk yang masih hangat. Untuk tempat duduk, ada bangku plastik 6 buah. Di tengah banyaknya orang yang lalu lalang, saya mengambil satu bangku.

Sebelum saya memesan sarapan, sempat saya lirik ember untuk mencuci. Waduh ! Koq keruh amat, nampaknya sudah dipergunakan mencuci piring lebih dari 50 kali.  Karena tak tega menggunakan piring, saya minta dibuatkan pincuk (daun pisang yang dilipat sebagai alas makan). Menunya, nasi putih pakai ikan kutuk dan telur ikan yang digoreng, minumnya wedang jahe yang dibungkus plastik. Inilah sarapan pagi ala Pasar Pagi.

Seperti layaknya sebuah pasar, beberapa kali aktifitas sarapan saya terganggu. Orang- orang yang lalu lalang dengan belanjaannya menyenggol punggung, bahkan kuli angkut yang menggendong tiga bagor sayuran, main selonong dan nyaris salah satu bagornya menghantam kepala saya. Untungnya, saya sigap menghindar sehingga kepala satu- satunya berhasil terselamatkan.

Oooo begini to rasanya sensasi sarapan pagi di tengah hiruk pikuk ratusan pedagang, kalau boleh sedikit menggambarkan kenikmatannya memang jauh berbeda. Sembari menikmati ikan kutuk yang dimasak pedas, tercium aroma keringat yang beragam. Saya meyakini saat mereka berangkat berdagang, mayoritas belum mandi. Jadi, bau spesifik yang jelas menyebar ke berbagai penjuru.

[caption caption="Penual kuliner ala Pasar Pagi (foto; bamset)"]

[/caption]

Tukang Sayur Keliling

Saya sempat membayangkan, bagaimana bila mendadak hujan turun. Mereka berdagang hanya beratap langit, terus apa jadinya saat musim penghujan. Karena penasaran, saya bertanya dalam bahasa Jawa pada ibu penjual nasi. “ Bu, kalau pas makan begini terus turun hujan gimana bu ?” kata saya.

“ Ya kalau pas sarapan di sini turun hujan, terus tak berteduh. Yang pasti kuahnya akan bertambah mas, gratis,” jawabnya enteng. Batin saya, cerdas juga penjual nasi kutuk ini.

Usai menikmati sarapan, sambil menunggu ibunya selesai belanja, saya menyalakan rokok kretek. Saya lihat ada puluhan sepeda motor dengan rombong (semacam keranjang besar) di kanan kirinya penuh sayuran. Ketika saya tanyakan, ternyata mereka adalah tukang sayur keliling yang tengah kulakan. Salah satu di antaranya , yakni Wahyudi warga Macanan, Bringin, Kabupaten Semarang.

Menurut Wahyudi, setiap pagi, paling lambat pk 04.00 ia bersama rekannya sesama penjual sayur keliling rutin kulakan di Pasar Pagi. Selesai berbelanja yang dibutuhkan, biasanya pk 05.30 dirinya telah berkeliling ke berbagai kampung untuk menjajakan dagangannya. “ Kalau yang kulakan di sini, mungkin jumlah tukang sayur keliling mencapai 400 an orang mas,” jelasnya ketika saya tanya berapa tukang sayur yang ada.

[caption caption="Motor- motor tukang sayur keliling, jumlahnya ratusan (foto; bamset)"]

[/caption]

Ratusan tukang sayur tersebut, usai kulakan biasanya langsung menyebar untungi mengunjungi pelanggannya. Mereka tak hanya menjajakan sayurannya di areal Salatiga saja, namun wilayah pemasarannya mencapai Kabupaten Semarang seperti Kecamatan Bringin, Tuntang, Bancak, Pabelan, Suruh hingga Tengaran. Sekitar pk 11.00, para tukang sayur sudah mengakhiri masa “dinas”nya dan pulang ke rumah masing- masing.

Kembali ke aktifitas pedagang di Pasar Pagi, keriuhan ratusan pedagang yang melayani pelanggannya, efektif berakhir pk 07.00. Peringatan tanda berakhirnya kegiatan pasar tradisional tersebut mulai diudarakan pk 07.30. Bunyi sirene yang meraung- raung melalui pengeras suara merupakan warning agar pedagang mengemasi barang dagangannya. Di sinilah keriuhannya, sebab, selain petugas dinas terkait terus menerus memberikan aba- aba, pedagang sendiri juga sangat sadar bahwa jam operasional Pasar Pagi telah berakhir dan mereka harus menutup lapaknya.

[caption caption="Ini penampakan dagangan tukang sayur keliling (foto: bamset)"]

[/caption]

Begitulah gambaran kondisi Pasar Pagi Kota Salatiga yang unit, di mana sebuah pasar yang beratap langit, tanpa kios dan los, namun menjadi tumpuan hidup bagi ribuan warga. Tak hanya dari Salatiga saja, namun tak sedikit warga Kabupaten Semarang yang mencari nafkah di sini. Meski efektif hanya berjalan empat jam saja, tetapi hingga sekarang tetap bertahan di tengah  pesatnya kemajuan teknologi. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun