Setelah mendapatkan tempat parkir yang saya anggap aman, ibunya anak- anak berbelanja, saya berkeliling mencari kuliner yang pas untuk sarapan. Tak sulit menemukannya, seorang ibu paruh baya, terlihat berdiri di samping meja lipat. Di atasnya terdapat berbagai lauk yang masih hangat. Untuk tempat duduk, ada bangku plastik 6 buah. Di tengah banyaknya orang yang lalu lalang, saya mengambil satu bangku.
Sebelum saya memesan sarapan, sempat saya lirik ember untuk mencuci. Waduh ! Koq keruh amat, nampaknya sudah dipergunakan mencuci piring lebih dari 50 kali. Karena tak tega menggunakan piring, saya minta dibuatkan pincuk (daun pisang yang dilipat sebagai alas makan). Menunya, nasi putih pakai ikan kutuk dan telur ikan yang digoreng, minumnya wedang jahe yang dibungkus plastik. Inilah sarapan pagi ala Pasar Pagi.
Seperti layaknya sebuah pasar, beberapa kali aktifitas sarapan saya terganggu. Orang- orang yang lalu lalang dengan belanjaannya menyenggol punggung, bahkan kuli angkut yang menggendong tiga bagor sayuran, main selonong dan nyaris salah satu bagornya menghantam kepala saya. Untungnya, saya sigap menghindar sehingga kepala satu- satunya berhasil terselamatkan.
Oooo begini to rasanya sensasi sarapan pagi di tengah hiruk pikuk ratusan pedagang, kalau boleh sedikit menggambarkan kenikmatannya memang jauh berbeda. Sembari menikmati ikan kutuk yang dimasak pedas, tercium aroma keringat yang beragam. Saya meyakini saat mereka berangkat berdagang, mayoritas belum mandi. Jadi, bau spesifik yang jelas menyebar ke berbagai penjuru.
[caption caption="Penual kuliner ala Pasar Pagi (foto; bamset)"]
Tukang Sayur Keliling
Saya sempat membayangkan, bagaimana bila mendadak hujan turun. Mereka berdagang hanya beratap langit, terus apa jadinya saat musim penghujan. Karena penasaran, saya bertanya dalam bahasa Jawa pada ibu penjual nasi. “ Bu, kalau pas makan begini terus turun hujan gimana bu ?” kata saya.
“ Ya kalau pas sarapan di sini turun hujan, terus tak berteduh. Yang pasti kuahnya akan bertambah mas, gratis,” jawabnya enteng. Batin saya, cerdas juga penjual nasi kutuk ini.
Usai menikmati sarapan, sambil menunggu ibunya selesai belanja, saya menyalakan rokok kretek. Saya lihat ada puluhan sepeda motor dengan rombong (semacam keranjang besar) di kanan kirinya penuh sayuran. Ketika saya tanyakan, ternyata mereka adalah tukang sayur keliling yang tengah kulakan. Salah satu di antaranya , yakni Wahyudi warga Macanan, Bringin, Kabupaten Semarang.
Menurut Wahyudi, setiap pagi, paling lambat pk 04.00 ia bersama rekannya sesama penjual sayur keliling rutin kulakan di Pasar Pagi. Selesai berbelanja yang dibutuhkan, biasanya pk 05.30 dirinya telah berkeliling ke berbagai kampung untuk menjajakan dagangannya. “ Kalau yang kulakan di sini, mungkin jumlah tukang sayur keliling mencapai 400 an orang mas,” jelasnya ketika saya tanya berapa tukang sayur yang ada.
[caption caption="Motor- motor tukang sayur keliling, jumlahnya ratusan (foto; bamset)"]