[caption caption="Potret pedagang di Pasar Pagi (foto: bamset)"][/caption]
Sesuai namanya, yakni Pasar Pagi Kota Salatiga, mulai buka sebelum matahari terbit dan bubar di pagi hari. Uniknya, pasar ini tak seperti galibnya sebuah tempat berdagang ratusan orang. Tidak ada kios, los, pintu gerbang mau pun atap. Semuanya serba darurat namun usianya telah puluhan tahun.
Pk 03.00 ratusan pedagang yang berdatangan dari Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang mulai berbenah untuk menyiapkan berbagai dagangannya. Di areal depan Pasar Raya I Kota Salatiga yang luasnya sekitar 2000 meter persegi, mereka memasang meja lipat ukuran 1 X 1,5 meter atau sekedar terpal plastik. Selanjutnya, barang dagangan diletakkan di atasnya. Mayoritas pedagang adalah perempuan.
Ada sedikit keanehan saat ratusan pedagang mulai menyiapkan lapaknya, sebab kapling “milik” mereka sebenarnya tak ada tanda khusus. Sebab, lokasinya memang kesehariannya merupakan areal parkir. Kendati begitu, para pedagang sepertinya telah hafal tempatnya berdagang. Sehingga, tanpa ragu, satu persatu lapak bayangan tersebut ditempati “pemiliknya”.
Selayaknya sebuah pasar, maka beragam dagangan digelar di sini. Aneka jenis sayuran yang berasal dari wilayah Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang lebih mendominasi. Karena merupakan pasar tradisional, otomatis transaksi juga melalui proses tawar menawar kecuali dagangan berupa makanan matang. Selebihnya, tinggal pintar- pintarnya pembeli dalam menawar. Kalau piawai, berbekal uang Rp 30 ribu sudah dapat berbagai sayuran segar.
Dalam ingatan saya, Pasar Pagi nan unik ini mulai dirintis tahun 1998, tepatnya seusai Pasar Raya I mengalami musibah kebakaran. Karena sempitnya lahan, akhirnya pihak pemerintah kota setempat menjadikan lahan parkir untuk penampungan sementara pedagang. Hingga pasar yang terbakar selesai direnovasi, lokasi penampungan dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima yang berjualan sembako.
Secara perlahan, jumlah pedagang yang berdagang makin hari terus bertambah hingga mencapai sekitar 500- 600 orang. Tak ada yang memberikan nama, hanya karena bukanya pagi hari, selanjutnya disebut sebagai Pasar Pagi. Beberapa kali pihak dinas terkait mencoba menggusurnya, namun selalu gagal. Akhirnya, keberadaan mereka diakomodir dengan berbagai syarat tertentu, diantaranya membayar restribusi, menjaga ketertiban dan pk 07.00 harus bubar.
Menikmati Sarapan Ala Pasar Pagi
Hal yang menarik, di luar kebutuhan sembako, Pasar Pagi juga menyediakan berbagai kuliner khas pasar tradisional. Mulai dari bubur ayam, soto ayam, tumpang koyor, pecel hingga ikan kutuk (gabus). Semua kuliner tersebut, harganya sangat merakyat. Semangkok soto berikut the manis, bisa dinikmati hanya seharga Rp 4 ribu !. Untuk jajanan pasar, bisa dikata sangat lengkap. Berbagai olahan panganan seperti jadah bakar, apem, wajik, jenang, bolang baling, lemper,serabi dan kue- kue basah lainnya tersedia komplit.
Meski saya warga Kota Salatiga, namun, belum tentu 6 bulan sekali bertandang ke Pasar Pagi. Melihat keriuhan ribuan orang yang belanja saja, saya merasa jengah. Hanya karena penasaran, Rabu (9/12) saya ingin menyaksikan hiruk pikuk pasar unik ini. Sekitar pk 04.30, saya dan ibunya anak- anak meluncur ke kota yang berjarak 1 kilo meter dari rumah. Udara dingin serasa merasuk tulang, tapi karena tangan bu Bambang mendekap erat, maka kehangatan mulai terasa.
Ternyata, begitu memasuki Jalan Jendral Sudirman, tepatnya mendekati Pasar Raya I, lalu lintas macet. Ratusan sepeda motor parkir malang melintang tak jelas juntrungnya. Begitu pula kendaraan roda empat yang didominasi pick up, berjajar menunggu dibongkar muatannya. Untuk mencari tempat parkir yang kosong saja membutuhkan perjuangan tersendiri.