Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dokar, Angkutan Tradisional yang Tergerus Zaman

7 Desember 2015   16:29 Diperbarui: 28 Maret 2017   09:00 1286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pak kusir tertidur menunggu penumpang (foto: bamset)"][/caption]Dokar atau delman yang keberadaannya di Kota Salatiga sudah ada sejak jaman kolonial Belanda, perlahan tapi pasti mulai tergerus jaman. Dari ratusan unit angkutan tradisional tersebut, sekarang tinggal tersisa puluhan.

Senin (7/12) siang, saya berkeliling ke penjuru Kota Salatiga mencoba menyisir dokar-dokar yang biasa mangkal di beberapa lokasi. Satu jam menyigi, saya hanya menemukan dua unit dokar di Jalan Pemotongan, lima di Jalan Bungur dan satu unit lainnya di koplak (pangkalan) delman yang terletak di depan RSUD. Sedang yang lainnya, raib bak ditelan bumi. Padahal, saat itu pk 13.00 merupakan jam sibuk.

Fenomena lenyapnya dokar, sado atau delman ini sungguh memperihatinkan. Nantinya, 10 – 15 tahun mendatang, angkutan tradisional yang ditarik kuda tersebut bakal tinggal cerita. Padahal, 20 tahun lalu, jumlah dokar di Kota Salatiga mencapai sekitar 300 an.

"Dokar sudah lama saya jual, pembelinya tidak memanfaatkan untuk menarik penumpang, namun hanya dipergunakan sebagai pajangan,” ujar Dalail mantan kusir yang sekarang beralih profesi jadi petani.

[caption caption="Lima dokar antre menunggu penumpang di Jalan Bungur (foto: bamset)"]

[/caption]

Menurut Dalail, menarik dokar sudah tidak seperti masa lalu. Di mana, waktu itu kendaraan pribadi, khususnya jenis sepeda motor belum sebanyak sekarang. Begitu pun angkutan umum lain, seperti angkutan kota, tak semua lini dimasuki angkutan kota. “ Dulu sehari minimal menarik sepuluh kali, sekarang bisa menarik empat kali saja sudah untung,” tukasnya.

Apa yang disampaikan Dalail memang benar adanya, di tahun 1991, ketika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga menggelar wisuda, pihak panitia menyewa 285 dokar untuk mengarak para wisudawan keliling kota. Sekarang, mencari 50 unit dokar saja susahnya setengah mati. Sebab, semisal dokarnya ada, kusirnya ternyata telah beralih profesi. Sehingga sangat tak mungkin dokar berjalan tanpa sais.

Di tahun 90 an, para kusir sempat membentuk Paguyuban Sais Dokar (PSD) dengan total anggota mencapai 300 orang. Seperti galibnya suatu perkumpulan, mereka kerap dimanfaatkan untuk kegiatan- kegiatan seremonial, karnaval hingga pawai partai politik. Sekarang, jangankan menarik penumpang rombongan, kadang sehari hanya mendapat dua atau tiga tarikan yang tarifnya ludes buat membeli rumput pakan kuda.

[caption caption="Dokar yang sudah dimodifikasi (foto: bamset)"]

[/caption]

Zaman Kolonial

Beberapa sais dokar yang kreatif, untuk mensiasati minat masyarakat naik dokar, langsung mengubah delmannya menjadi delman wisata. Ban dokar yang terbuat dari kayu yang dilapis karet mati, diganti dengan ban motor yang ketika berjalan di atas aspal terasa lebih empuk. Perubahan tersebut cukup mengundang konsumen sekedar menyenangkan anak- anaknya.

Sejarah dokar di kota berpenduduk sekitar 190 ribu jiwa ini sebenarnya sangat menarik. Edy Supangkat seorang pengaat Cagar Budaya asal Salatiga mengakui bahwa keberadaan dokar telah ada sejak Salatiga ditetapkan menjadi kota praja di tahun 1917. Di mana, ketika itu, sarana transportasi satu- satunya hanya delman.

Edy Supangkat dalam bukunya yang berjudul Sketsa Kota Lama melukiskan, di jaman kolonial Belanda, dokar merupakan sarana transportasi primadona. Tak sekedar berkutat di seputaran kota Salatiga saja, namun, dokar juga menjadi angkutan antar kota seperti ke Semarang, Boyolali hingga kecamatan- kecamatan di kabupaten Semarang.

Karena sifatnya merupakan angkutan masal, di jaman itu, penumpang dokar juga selalu berjejal. Sementara orang- orang Belanda yang nota bene memiliki taraf ekonomi lebih baik, enggan berdesakan. Mereka bisa menyewa dokar tanpa ada penumpang lain. Ada hal unik tentang kebiasaan orang belanda, semisal seorang suami Belanda berpergian menggunakan dokar di pagi hari, maka ongkos sewanya akan dibayar istrinya di sore hari. Tujuannya, tidak lain sekedar memastikan suaminya sampai tujuan dengan selamat.

[caption caption="Hanya ada dua dokar di parkiran Jalan Pemotongan (foto: bamset)"]

[/caption]

Paska kemerdekaan, eksistensi dokar tetap memegang peranan vital sebagai alat transportasi. Sampai memasuki tahun 1970 an, ketika angkutan kota mulai dirintis, keberadaan delman tak tergoyahkan. Saya masih ingat setiap ke rumah nenek di Desa Kumpulrejo (waktu itu masuk wilayah Kabupaten Semarang), selalu menggunakan jasa sado ini. Biasanya, dengan ditumpangi enam orang, kusir mengantar hingga depan rumah nenek.

Masih teringat jelas dalam benak saya, di tahun 80 an dokar benar- benar mendapat perhatian penuh dari Pemerintah Kota Salatiga. Berbagai peraturan dikeluarkan, seperti delman harus dilengkapi dengan kantong kotoran, membayar pajak berdasarkan Perda hingga parkir pun tak boleh sembarangan. Segala aturan tersebut, sangat ditaati para kusir.

Masa kejayaan dokar tetap bertahan hingga 25 tahun kemudian, baru setelah era reformasi bergulir, keberadaannya mulai tergusur oleh jaman. Kemudahan masyarakat dalam memiliki kendaraan bermotor, secara perlahan membuat animo menumpang dokar berkurang drastis. Sebab, hampir tiap rumah paling tidak mempunyai satu kendaraan.

Itulah sedikit cerita tentang dokar di Kota Salatiga, masa kejayaannya telah berlalu karena tergerus jaman. Dan, celakanya pihak- pihak terkait mengabaikannya. Sehingga, tak ada inovasi- inovasi untuk melestarikan angkutan tradisional ini. Tidak heran, nantinya delman hanya bakal menjadi cerita pengantar tidur bagi anak- anak. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun