Sejarah dokar di kota berpenduduk sekitar 190 ribu jiwa ini sebenarnya sangat menarik. Edy Supangkat seorang pengaat Cagar Budaya asal Salatiga mengakui bahwa keberadaan dokar telah ada sejak Salatiga ditetapkan menjadi kota praja di tahun 1917. Di mana, ketika itu, sarana transportasi satu- satunya hanya delman.
Edy Supangkat dalam bukunya yang berjudul Sketsa Kota Lama melukiskan, di jaman kolonial Belanda, dokar merupakan sarana transportasi primadona. Tak sekedar berkutat di seputaran kota Salatiga saja, namun, dokar juga menjadi angkutan antar kota seperti ke Semarang, Boyolali hingga kecamatan- kecamatan di kabupaten Semarang.
Karena sifatnya merupakan angkutan masal, di jaman itu, penumpang dokar juga selalu berjejal. Sementara orang- orang Belanda yang nota bene memiliki taraf ekonomi lebih baik, enggan berdesakan. Mereka bisa menyewa dokar tanpa ada penumpang lain. Ada hal unik tentang kebiasaan orang belanda, semisal seorang suami Belanda berpergian menggunakan dokar di pagi hari, maka ongkos sewanya akan dibayar istrinya di sore hari. Tujuannya, tidak lain sekedar memastikan suaminya sampai tujuan dengan selamat.
[caption caption="Hanya ada dua dokar di parkiran Jalan Pemotongan (foto: bamset)"]
Paska kemerdekaan, eksistensi dokar tetap memegang peranan vital sebagai alat transportasi. Sampai memasuki tahun 1970 an, ketika angkutan kota mulai dirintis, keberadaan delman tak tergoyahkan. Saya masih ingat setiap ke rumah nenek di Desa Kumpulrejo (waktu itu masuk wilayah Kabupaten Semarang), selalu menggunakan jasa sado ini. Biasanya, dengan ditumpangi enam orang, kusir mengantar hingga depan rumah nenek.
Masih teringat jelas dalam benak saya, di tahun 80 an dokar benar- benar mendapat perhatian penuh dari Pemerintah Kota Salatiga. Berbagai peraturan dikeluarkan, seperti delman harus dilengkapi dengan kantong kotoran, membayar pajak berdasarkan Perda hingga parkir pun tak boleh sembarangan. Segala aturan tersebut, sangat ditaati para kusir.
Masa kejayaan dokar tetap bertahan hingga 25 tahun kemudian, baru setelah era reformasi bergulir, keberadaannya mulai tergusur oleh jaman. Kemudahan masyarakat dalam memiliki kendaraan bermotor, secara perlahan membuat animo menumpang dokar berkurang drastis. Sebab, hampir tiap rumah paling tidak mempunyai satu kendaraan.
Itulah sedikit cerita tentang dokar di Kota Salatiga, masa kejayaannya telah berlalu karena tergerus jaman. Dan, celakanya pihak- pihak terkait mengabaikannya. Sehingga, tak ada inovasi- inovasi untuk melestarikan angkutan tradisional ini. Tidak heran, nantinya delman hanya bakal menjadi cerita pengantar tidur bagi anak- anak. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H