[caption caption="Densus 88 ketika melakukan penggrebekan (foto: dok kompas.com)"][/caption]
Kelompok Mujahid Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin Santoso yang bermarkas di Poso, Sulawesi Tengah kembali menebar ancaman. Selain akan mengibarkan Panji Hitam di Istana Merdeka, mereka juga bakal menghancurkan Polda Metro Jaya, Jakarta.
Ancaman yang dikemas dalam video dengan judul “Seruan Komandan Abu Wardah Asy-Syarqi” tersebut telah beredar di jejaring sosial. Diduga keras, buronan terorisme paling dicari, yakni Santoso yang membuatnya. Santoso merupakan salah satu simpatisan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan tengah diburu aparat keamanan.
Kendati keberadaan kelompok Santoso adalah urusan aparat, namun saya lebih tertarik mengupas eksistensi pasukan- pasukan anti terror yang ada di Indonesia. Di mana, saat ini sedikitnya terdapat empat pasukan yang memiliki keahlian memburu dan melumpuhkan berbagai aksi terorisme di tanah air. Meski sebenarnya terdapat unit- unit lain di beberapa kesatuan, namun yang berusia cukup lama hanya Detasemen 81 (Kopassus AD), Detasemen Jala mangkara atau Denjaka (Marinir AL), Bravo 90 (Paskhas AU) dan Detasemen Khusus (Densus) 88 dari Kepolisian.
Detasemen 81, sekarang bernama Satuan 81/ Penanggulangan Teror (Sat-81/Gultor) merupakan satuan berada dalam Kopassus TNI AD yang bermarkas di Cijantung, Jakarta Timur. Sosok yang membidani kelahirannya adalah Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI, Letjen Beny Moerdani. Awal pembentukannya dimulai saat terjadi pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla di Bandara Don Muang, Bangkok tanggal 31 Maret 1981. Di mana, para prajurit yang tergabung di dalamnya sukses melumpuhkan pembajak kendati terdapat anggota yang gugur, namun secara keseluruhan operasi berjalan mulus.
Tanggal 30 Juni 1982, Detasemen 81 resmi dibentuk dengan komandan Mayor Inf Luhut Binsar Panjaitan dan wakilnya Kapten Inf Prabowo Subianto. Terkait penunjukkan itu, Luhut serta Prabowo dikirim ke Jerman untuk mendapatkan pendidikan spesialisasi penanggulangan teror. Detasemen 81 yang merupakan prajurit pilihan, belakangan diubah namanya menjadi Sat-81/Gultor. Sayangnya, sepak terjang Sat-81/Gultor selalu menjauhi publikasi. Sehingga, operasi- operasi yang dijalankan nyaris senyap seperti visi misinya, yakni “Tidak Diketahui, Tidak Terdengar dan Tidak Terlihat”. Padahal, mereka pernah terlibat perburuan gembong teroris Nordin M Top.
Densus 88
Bila TNI AD mempunyai pasukan anti teror, TNI AL sebenarnya juga memiliki pasukan khusus anti teror yang bernama Detasemen Jala Mangkara (Denjaka). Personilnya diambil dari Korps Marinir yang dididik secara ketat mengenai Penanggulangan Teror Aspek Laut (PTAL) selama 6 bulan. Dibentuk tanggal 13 November 1984, tugas pokok menanggulangi berbagai teror di laut. Kendati begitu, mereka juga selalu siap menjalankan operasi di mana pun.
Rekrutmen personil Denjaka sangat ketat, prajurit yang tergabung di dalamnya merupakan sosok pilihan yang diambil dari Marinir AL. Meski mempunyai kualifikasi sebagai pasukan komando, namun, tak menjamin seorang anggota Marinir pasti lolos seleksi. Dengan kemampuan bertempur di udara, darat dan laut, keberadaannya mampu melibas pelaku teror di mana pun. Kualitas pasukan Denjaka, sebenarnya tidak jauh berbeda dibanding pasukan anti teror lainnya.
Hampir sama dengan TNI AD dan TNI AL, TNI AU ternyata juga memiliki pasukan anti teror yang diberi nama Satuan Bravo 90 (Satbravo-90). Dibentuk tahun 1990, awalnya diberi nama Detasemen Bravo 90, di mana mayoritas anggotanya diambil dari Korps Pasukan Khas TNI AU. Berkemampuan tempur individu seperti personil anti teror lainnya, Satbravo-90 berkekuatan tiga Detasemen. Dan 903 bertugas memberikan bantuan khusus.
Detasemen tersebut terdiri atas detasemen 901,902 dan 903. Detasemen 901 memiliki spesialisasi intelijen, 902 berspesialisasi aksi khusus dan 903 bertugas memberikan bantuan teknik khusus. Meski begitu, secara keseluruhan prajurit yang tergabung di dalamnya mempunyai skil di bidang anti teror yang nyaris sama, yakni pertempuran langsung, sabotase hingga bela diri. Slogan Sat Bravo-90 : Catya wihikan Awacyama Kepala yang berarti Setia, Terampil, Berhasil.
Setelah TNI AD,AL dan AU memiliki pasukan anti teror, rasanya kurang lengkap bila tak mengupas keberadaan prajurit di kepolisian, yakni Detasemen Khusus (Densus) 88. Ujung tombak penumpasan teroris ini pertama kali dibentuk tanggal 26 Agustus 2004 oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Firman Gani. Pada awal pembentukannya, personil yang tergabung hanya 75 orang yang dipimpin AKBP Tito Karnavian (sekarang Kapolda Metro Jaya).
Tito yang memang berotak encer, ibarat kata dibesarkan oleh Densus 88. Selama kepemimpinannya, sepak terjang pasukan anti terror tersebut sempat membuat ciut nyali teroris. Dalam operasi di Batu, Malang, Jawa Timur, prajurit Densus 88 mampu melumpuhkan gembong teroris Dr Azahari. Keberhasilannya itu, membuat Tito memperoleh kenaikan pangkat luar biasa menjadi Komisaris Besar (Kombes) Polisi (termuda).
Begitu pula saat Tito ikut tergabung dalam tim pemberangusan jaringan terorisme yang dipimpin Noordin M Top, setelah terus menerus diburu, akhirnya tanggal 17 September 2009, sang buronan berhasil digrebeg di Surakarta. Usai baku tembak, Noordin dipastikan ikut tewas di tempat kejadian perkara (TKP). Semenjak itu, pasukan Densus 88 selalu terlibat di berbagai operasi penangkapan terhadap orang- orang yang diduga terlibat aksi terorisme.
Densus 88 memang dibentuk untuk menangani segala bentuk terorisme, baik yang menggunakan senjata api mau pun bom. Untuk itu, beberapa personilnya direkrut dari tim Gegana yang piawai menjinakkan bom. Bermarkas di Mabes Polri, kekuatan personil secara keseluruhan sekitar 400 orang yang merupakan prajurit- prajurit Polri pilihan. Di mana, selain jago investigasi, jago penjinak bom, pasukan ini juga mempunyai kualifikasi penembak jitu.
Kendati Republik ini memiliki pasukan anti teror yang sudah diakui kualitasnya oleh negara- negara lain, namun, dalam menghadapi ancaman ISIS dan simpatisannya, tak mungkin prajurit di Sat-81/Gultor, Denjaka, Sat Bravo-90 mau pun Densus 88 mampu melaksanakan tugasnya tanpa dukungan masyarakat. Terkait hal tersebut, deteksi dini terhadap potensi gerakan terorisme tetap diharapkan datang dari masyarakat sendiri. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H