Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Isi Majalah Lentera Menyesatkan?

21 Oktober 2015   00:16 Diperbarui: 21 Oktober 2015   00:45 3181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Cover majalah Lentera yang tak sesuai isinya (foto: dok pri)"][/caption]

Berita tentang ditariknya majalah Lentera yang diterbitkan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (Fiskom) UKSW Kota Salatiga masih terus menggelinding di berbagai media cetak. Banyak pihak yang menyesalkan penarikan majalah setebal 42 halaman tersebut. Kabar terakhir menyebutkan, masalah ini bakal dilaporkan ke Komnas HAM.

Sebagai warga Kota Salatiga, yang mendukung kebebasan berpendapat dan berbicara, secara pribadi saya sangat menyesalkan ditariknya majalah Lentera yang membuat artikel Liputan Khusus (Lipsus) berjudul “ Salatiga Kota Merah”. Seakan berlomba dengan media lain, Senin (19/10) saya langsung menulisnya di Kompasiana (baca :beritakan-soal-pki-di-salatiga-majalah-lentera-ditarik), kendati hanya membaca sekilas isi majalah Lentera.

Seperti diketahui, tiga awak redaksi Majalah Lentera  sempat diajak”diskusi” oleh aparat Polres Salatiga terdiri atas Pemimpin Umum Arista Ayu Ananda, Pemimpin Redaksi Bima Satria Putra dan Bendahara Septi Dwi Astuti. Usai “berdiskusi”hari Minggu (18/10)yang berlangsung sekitar 4 jam, ketiganya iijinkan pulang.

Para pengelola Majalah Lentera diajak “diskusi” karena pada edisi ketiganya,majalah itu mengupas artikel tentang peristiwa G30S PKI tahun 1965, di mana, dalam artikel berjudul “Salatiga Kota Merah”, redaksi menampilkan judul dengan font ukuran besar berwarna merah berlatar gambar hitam putih menggambarkan kerumunan massa yang ada simbol palu aritnya.

Judul “Salatiga Kota Merah” memang kesannya sangat provokatif. Apa lagi bila dikaitkan dengan peristiwa G30S PKI tahun 1965, maka bisa menimbulkan berbagai penafsiran. Bagi yang tak paham, mungkin bakal menduga kota Salatiga merupakan basis terbesar PKI, atau juga telah terjadi pembantaian besar- besaran terhadap simpatisan PKI di Salatiga hingga mengakibatkan banjir darah.

Multi tafsir atas Lipsus berjudul “Salatiga Kota Merah” merupakan hal yang sah adanya, tergantung dari sudut mana kita menilainya. Saya yang awalnya menduga bahwa artikel itu bakal bertutur tentang suatu pembantaian para anggota PKI mau pun simpatisannya di Salatiga, untuk itu, saya berupaya membedah isi majalah Lentera yang cukup menghebohkan tersebut.

Judul Tak Sesuai Isi

Dari 42 halaman majalah Lentera, terdapat tujuh artikel yang “agak’ nyambung dengan judul “Salatiga Kota Merah”. Artikel – artikel tersebut, dikemas dengan judul “ Satu Bingkai Kosong” (hal 7), “Anda Saya Tahan Jendral “ (hal 8-10), “Suara Tangis Dari Kebun Karet” (hal 12), “Hingga Tengaran Banjir Darah” (hal 13), “Mbah Jenggot” (hal 14), “Bunyi Dor Tengah Malam” (hal 15), “Satyawacana Dipersimpangan Kiri Jalan” (hal 18-19) dan “Dapat Perintah Eksekusi Dari Tentara” (hal 20).

Untuk artikel berjudul “Bingkai Kosong”, ditulis tentang kedatangan reporter majalah Lentera ke kantor dinas Walikota Salatiga. Di mana, di ruang pendopo, terdapat foto- foto mantan Walikota Salatiga, namun ada satu bingkai yang kosong. Bingkai kosong tersebut harusnya diisi foto mantan Walikota bernama Bakri Wahab, pria kelahiran Pekalongan yang tahun 1965 digantikan oleh Letkol Soegiman. Di sini tak ada penjelasan detail, bagaimana sepak terjang Bakri Wahab yang diduga merupakan simpatisan PKI. Bahkan, apakah Bakri dibunuh, ditahan atau dihilangkan pun tidak ada sumber yang berani memastikannya.

Memasuki artikel berjudul “ Anda Saya Tahan Jendral”, sepertinya akan menggiring pembaca untuk menyimaknya secara serius. Tetapi, isinya ternyata hanya bercerita kedatangan Panglima Kodam VII Diponegoro Brigjen Surjosumpeno ke Salatiga pada tanggal 1 Oktober 1965.  Dengan menggunakan Jeep Hard Top. Di mana, ketika menemui Komandan Korem 073 Makutarama Kolonel Soekardi yang lagi ditahan tentara simpatisan PKI di rumah dinasnya, Surjosumpeno sempat ditodong oleh prajurit berpangkat Kapten. Kendati begitu, jendral bintang satu itu menepisnya dan meneruskan perjalanan. Berikutnya, aksi para simpatisan PKI mampu dipukul mundur tanpa pertumpahan darah.

Pada artikel berjudul  “Suara Tangis Dari Kebun Karet”, majalah Lentera mewawancarai Waginem dan Hardjo Sarwi. Siapa dua orang tersebut ? Ternyata keduanya adalah warga yang tinggal di sekitar PTPN IX Getas, Bringin, Kabupaten Semarang. Bila Waginem dulu mengetaui adanya pembunuhan anggota PKI karena cerita ayahnya, sedang Hardjo Sarwi mengaku melihat langsung proses eksekusi. Tapi, ia tak menjelaskan warga mana yang dieksekusi. Warga Salatiga atau warga Kabupaten Semarang, sama sekali Hardjo Sarwi tidak bisa menjelaskannya.

Di artikel “Hingga Tengaran Banjir Darah”, sumber yang diwawancarai adalah Kastrowi warga Dusun Cabean, Karang Duren, Tengaran, Kabupaten Semarang. Ia mengaku menjadi saksi pembantaian karena diminta menggali lubang untuk mengubur para korban. Menurutnya, dia pernah melihat seorang perempuan yang sulit dibunuh, akhirnya perempuan tersebut dibakar hingga tewas. Siapa orang- orang yang dieksekusi ? Kastrowi tak menjelaskannya, dirinya hanya mengetahui orang- orang itu merupakan anggota PKI mau pun simpatisannya. Soal asalnya, tidak dijelaskan.

Masuk pada artikel berjudul “Mbah Jenggot” yang menceritakan pembantaian di Dusun Sobron, Desa Tlompakan, Kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang atau 20 kilo meter dari Salatiga, majalah Lentera menceritakan tewasnya Hardjo Hardi alias  Mbah Jenggot seorang kepala desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Yang mana, sosok ini dieksekusi di Dusun Sobron, sumbernya adalah Ignatius Sugiman dan buku John Roosa yang berjudul “Dalih Pembunuhan Massal”. Saya mengambil kesimpulan, baik korban yang dibunuh mau pun tempat kejadian perkara (TKP) yang ditulis majalah Lentera, tak terkait dengan Salatiga.

Hingga di artikel dengan judul “Bunyi Dor Tengah Malam”, di sini majalah Lentera mengupas adanya pembantaian di Gunung Buthak, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang (sekitar 30 kilo meter dari Salatiga). Sumber yang diwawancarai adalah Doleng, warga Desa Bakalrejo, Susukan dan Mbah Wiro warga Desa Gondang Slamet, Kecamatan Karang Gede, Kabupaten Boyolali. Meski bertutur tentang eksekusi orang- orang yang berbau PKI, namun sama sekali tidak menyebut nama Kota Salatiga.

Di artikel ke 6 yang berjudul “Satyawacana Dipersimpangan Kiri Jalan”, meski ditulis dua halaman, tetapi artikel tersebut hanya berkisah tentang persaingan organisasi mahasiswa yang ada di kampus UKSW. Di mana, Sutarno yang di tahun 1973 menjadi  Rektor kedua di UKSW tidak mengeluarkan satu statement pun yang melegitimasi “Salatiga Kota Merah”.

Begitu pula dengan artikel ke 7 yang judulnya sangar, yakni “Dapat Perintah Eksekusi Dari Tentara”. Sumber yang diwawancarai adalah Yoso Dumeri, warga Klaseman, Mangunsari, Kota Salatiga. Walau judulnya seakan mencerminkan adanya pembunuhan atas perintah tentara, namun, isi artikelnya hanya berkisah mengenai masa muda Yoso yang dilatih prajurit RPKAD  (sekarang Kopasus) di lapangan UKSW. Kemudian ia ditugaskan menjaga tahanan politik, meski sempat diperintah mengeksekusi, namun dirinya mengaku belum pernah melaksanakannya. Bahkan, melihat jalannya eksekusi pun pun belum pernah. Lho ?

Itulah sebagian isi majalah Lentera dengan Lipsus berjudul “ Salatiga Kota Merah” yang saya anggap judulnya sangat provokatif tapi ternyata tak sesuai dengan isinya. Usai membedah Lipsus garapan anak- anak mahasiswa Fiskom UKSW, saya baru menyadari kenapa pihak UKSW buru- buru melakukan penarikan seluruh majalah Lentera. Karena pihak kampus sangat paham, isi majalah Lentera tak sesuai  judulnya, yakni  “ Salatiga Kota Merah”.  Mereka khawatir warga Salatiga akan bereaksi keras hingga menyulitkan otoritas kampus. Diakui atau tidak, judul Lipsus itu sangat menyesatkan !

Dari tujuh artikel Lipsus berjudul “ Salatiga Kota Merah” ini, sama sekali tak mencerminkan situasi Kota Salatiga di tahun 1965. Bila pihak UKSW cepat- cepat melakukan langkah antisipasi berupa penarikan seluruh edisi ke 4 majalah Lentera, saya pikir merupakan langkah yang cerdas. Sebab, bila menunggu lebih lama, bisa- bisa warga Salatiga yang dikenal ramah, gara- gara judul “ Salatiga Kota Merah”, mereka menjadi marah. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun