Pada artikel berjudul “Suara Tangis Dari Kebun Karet”, majalah Lentera mewawancarai Waginem dan Hardjo Sarwi. Siapa dua orang tersebut ? Ternyata keduanya adalah warga yang tinggal di sekitar PTPN IX Getas, Bringin, Kabupaten Semarang. Bila Waginem dulu mengetaui adanya pembunuhan anggota PKI karena cerita ayahnya, sedang Hardjo Sarwi mengaku melihat langsung proses eksekusi. Tapi, ia tak menjelaskan warga mana yang dieksekusi. Warga Salatiga atau warga Kabupaten Semarang, sama sekali Hardjo Sarwi tidak bisa menjelaskannya.
Di artikel “Hingga Tengaran Banjir Darah”, sumber yang diwawancarai adalah Kastrowi warga Dusun Cabean, Karang Duren, Tengaran, Kabupaten Semarang. Ia mengaku menjadi saksi pembantaian karena diminta menggali lubang untuk mengubur para korban. Menurutnya, dia pernah melihat seorang perempuan yang sulit dibunuh, akhirnya perempuan tersebut dibakar hingga tewas. Siapa orang- orang yang dieksekusi ? Kastrowi tak menjelaskannya, dirinya hanya mengetahui orang- orang itu merupakan anggota PKI mau pun simpatisannya. Soal asalnya, tidak dijelaskan.
Masuk pada artikel berjudul “Mbah Jenggot” yang menceritakan pembantaian di Dusun Sobron, Desa Tlompakan, Kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang atau 20 kilo meter dari Salatiga, majalah Lentera menceritakan tewasnya Hardjo Hardi alias Mbah Jenggot seorang kepala desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Yang mana, sosok ini dieksekusi di Dusun Sobron, sumbernya adalah Ignatius Sugiman dan buku John Roosa yang berjudul “Dalih Pembunuhan Massal”. Saya mengambil kesimpulan, baik korban yang dibunuh mau pun tempat kejadian perkara (TKP) yang ditulis majalah Lentera, tak terkait dengan Salatiga.
Hingga di artikel dengan judul “Bunyi Dor Tengah Malam”, di sini majalah Lentera mengupas adanya pembantaian di Gunung Buthak, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang (sekitar 30 kilo meter dari Salatiga). Sumber yang diwawancarai adalah Doleng, warga Desa Bakalrejo, Susukan dan Mbah Wiro warga Desa Gondang Slamet, Kecamatan Karang Gede, Kabupaten Boyolali. Meski bertutur tentang eksekusi orang- orang yang berbau PKI, namun sama sekali tidak menyebut nama Kota Salatiga.
Di artikel ke 6 yang berjudul “Satyawacana Dipersimpangan Kiri Jalan”, meski ditulis dua halaman, tetapi artikel tersebut hanya berkisah tentang persaingan organisasi mahasiswa yang ada di kampus UKSW. Di mana, Sutarno yang di tahun 1973 menjadi Rektor kedua di UKSW tidak mengeluarkan satu statement pun yang melegitimasi “Salatiga Kota Merah”.
Begitu pula dengan artikel ke 7 yang judulnya sangar, yakni “Dapat Perintah Eksekusi Dari Tentara”. Sumber yang diwawancarai adalah Yoso Dumeri, warga Klaseman, Mangunsari, Kota Salatiga. Walau judulnya seakan mencerminkan adanya pembunuhan atas perintah tentara, namun, isi artikelnya hanya berkisah mengenai masa muda Yoso yang dilatih prajurit RPKAD (sekarang Kopasus) di lapangan UKSW. Kemudian ia ditugaskan menjaga tahanan politik, meski sempat diperintah mengeksekusi, namun dirinya mengaku belum pernah melaksanakannya. Bahkan, melihat jalannya eksekusi pun pun belum pernah. Lho ?
Itulah sebagian isi majalah Lentera dengan Lipsus berjudul “ Salatiga Kota Merah” yang saya anggap judulnya sangat provokatif tapi ternyata tak sesuai dengan isinya. Usai membedah Lipsus garapan anak- anak mahasiswa Fiskom UKSW, saya baru menyadari kenapa pihak UKSW buru- buru melakukan penarikan seluruh majalah Lentera. Karena pihak kampus sangat paham, isi majalah Lentera tak sesuai judulnya, yakni “ Salatiga Kota Merah”. Mereka khawatir warga Salatiga akan bereaksi keras hingga menyulitkan otoritas kampus. Diakui atau tidak, judul Lipsus itu sangat menyesatkan !
Dari tujuh artikel Lipsus berjudul “ Salatiga Kota Merah” ini, sama sekali tak mencerminkan situasi Kota Salatiga di tahun 1965. Bila pihak UKSW cepat- cepat melakukan langkah antisipasi berupa penarikan seluruh edisi ke 4 majalah Lentera, saya pikir merupakan langkah yang cerdas. Sebab, bila menunggu lebih lama, bisa- bisa warga Salatiga yang dikenal ramah, gara- gara judul “ Salatiga Kota Merah”, mereka menjadi marah. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H