Penolakan ini, rupanya menimbulkan perbedaan persepsi. Saya dianggap tak kooperatif. Ada tekanan “halus” yang dikemukakan, bila saya bersikeras enggan menurutinya, maka implikasinya, bisa saja mereka menelisik “dosa- dosa” saya yang kemungkinan menyerempet hukum dan bakal diproses lanjut. Mendengar “intimidasi” lembut tersebut, saya spontan mempersilahkan menyigi rekam jejak saya. Hingga sekarang, reportase yang dianggap bermasalah tersebut, tak pernah saya revisi satu huruf pun.
Dua minggu usai kejadian itu, tepatnya tanggal 17 Febuari 2015, saya dihubungi lewat telepon oleh seseorang yang mengaku sebagai lawyer. Orang tersebut mempersoalkan reportase saya tentang tersangka korupsi yang keluyuran. Dia membantah semua yang saya tulis dan mendesak agar saya menyebutkan sumbernya sekaligus saya mau meralatnya. Alasannya, saya dianggap mencemarkan nama baik.
Karena saya merasa asing dengan orang yang mengaku lawyer ini, maka saya meminta agar bertemu face to face saja. Tetapi, permintaan saya ditolaknya. Dengan nada tegas, ia mengancam saya akan membuat pengaduan mengenai pencemaran nama baik sebagaimana tertera dalam Pasal 27 ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. “ Anda akan terancam hukuman enam tahun penjara,” tukasnya.
Meski pun agak khawatir, tetapi naluri saya mengatakan orang ini sebenarnya hanya menggertak saja. Mungkin ia mendapat order untuk memberikan pressure pada diri saya. Terkait hal itu, dengan nada agak jumawa saya katakana bahwa reportase yang saya buat ada dokumentasi visualnya dan didukung sedikitnya dua orang saksi yang kredibel. Jadi semisal mau membuat laporan polisi, saya tidak keder sedikit pun. Usai mendengar penjelasan saya, tiba- tiba “tep….” suara di seberang putus.
Wartawan Kompasiana
Sebulan berlalu, semua intimidasi yang pernah muncul tak ada yang terealisasi. Hingga memasuki bulan April, mendadak saya dicari dua laki- laki bertampang berangasan. Para pria asing tersebut sempat bertandang ke rumah tapi tidak bertemu saya. Sampai akhirnya, kedatangan yang ketiga baru bersua. Mereka mengaku dari Ungaran, Kabupaten Semarang. Bernama Sup dan Bd, usianya berkisar 40 an tahun.
Yang aktif bicara adalah Sup yang mengaku sebagai mantan residivis yang berulangkali masuk tahanan. Pikir saya, apa relevansinya dengan sering keluar masuk tahanan ? Kalau belum pernah ditahan, itu baru hebat. “ Sampeyan wartawan Kompasiana yang nulis ini ? “ kata Sup sembari menyodorkan reportase di Kompasiana yang sudah diprint.
Geli sebenarnya mendengar pertanyaan jagoan ini, sejak kapan Kompasiana punya wartawan ? Tapi karena situasinya cukup serius, saya pun menyesuaikan. Saya baca sekilas, ternyata reportase tentang kasus penipuan yang saya lengkapi foto tersangka dan nama lengkapnya. Sejenak saya berfikir, saya lagi berhadapan dengan orang goblok. Tentunya, harus saya hadapi menggunakan cara yang bodoh pula.
Saat saya iyakan bahwa yang menulis reportase tersebut adalah saya sendiri, Sup mencak- mencak. Menurutnya, di koran- koran,sewaktu memberitakan perkara kriminal nama tersangka selalu disingkat (maksudnya inisial). Begitu pula fotonya, mestinya wajahnya ditutupi, sedang yang ada di Kompasiana selain namanya saya tulis sangat detail, juga fotonya terlihat jelas, siapa pun akan mampu mengenalinya.
“ Saya minta sampeyan meluruskan (maksudnya merevisi), sebagai saudaranya, saya tidak terima,” ungkapnya ketus sambil menambahkan bila saya tak mau menurutinya, ia akan membuat perhitungan secara “adat”.
Karena kepalang basah jadi ikutan goblok, maka saya mengajukan argumentasi. Tugas saya sebagai wartawan Kompasiana hanya mencari berita, setelah berita saya buat dan saya kirim ke redaksi, maka segala tanggung jawab sepenuhnya ada di redaksi. Belum tuntas saya memberi penjelasan, tiba- tiba dipotongnya. “ Saya tahu kantornya Kompasiana, yang di Bawen itu to ?” tukasnya.