Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

PHK yang Membuat Kami Perkasa

1 Oktober 2015   03:27 Diperbarui: 1 Oktober 2015   14:32 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Salah satu lapak kami di jalan Kartini (foto: dok pribadi)"][/caption]

Saat nilai tukar rupiah terhadap dollar semakin melemah, tak pelak lagi, hantu pemutusan hubungan kerja (PHK) terus membayangi jutaan buruh pabrik di negeri ini. Apa yang membuat mereka takut  Bagi saya dan keluarga, PHK malah membuat kami semakin perkasa.

Saya masih ingat jelas peristiwa tahun 1998, sebelum Soeharto sebagai Presiden RI kedua lengser dari kursi kekuasaan yang didudukinya selama 32 tahun. Nilai tukar rupiah terhadap dollar benar- benar terpuruk, berbagai kiat dijalankan oleh para pembantu Soeharto, hasilnya nol besar. Imbasnya, terjadi PHK dan aksi unjuk rasa missal hingga berujung lepasnya kekuasaan sang Jendral besar tersebut.

Sebelum Soeharto digilas jaman, saya bekerja di salah satu perusahaan swasta yang tak begitu bonafit. Situasi perusahaan yang megap- megap sudah saya rasakan ketika tahun baru menginjak 1998. Ekspektasi yang teramat berlebihan atas pergantian tahun,ternyata dipatahkan oleh fakta. Kondisi perekonomian nasional bertambah carut marut tak karuan.

Naluri saya mengatakan, PHK akan menimpa diri saya. Cepat atau lambat, gilirannya bakal tiba. Untuk itu, saya menggelar “rapat” terbatas dengan ibunya anak- anak. Kesimpulannya, kami harus menyiapkan diri supaya tidak terlalu mengandalkan upah perusahaan yang bahasa kerennya disebut gaji. Kami perlu berinovasi, sehingga ketika PHK mendera, kami tak terkaget- kaget lagi.

Ibarat  dalam pertempuran, kami mulai menyiapkan amunisi. Mental dan fisik kami siapkan, setidaknya untuk mengantisipasi cibiran tetangga yang kadang ikut menari saat tetangga lainnya didera kesusahan. Begitu pula anak- anak yang waktu itu masih duduk di bangku SD, kami beri pengertian tentang sisi negatif jajan di sekolah yang tentunya kurang higienis. Alhamdulillah hal tersebut bisa diterima.

Menciptakan Lapangan Kerja

Menjaga agar dapur tetap mengepul, ibunya anak- anak mulai ikut bergerak. Ia menerima jahitan pakaian wanita, dirinya memang bisa menjahit meski hanya sekedarnya. Hingga bulan April 1998, saat yang ditunggu- tunggu tiba juga. Saya dikumpulkan bersama karyawan perusahaan lainnya. Setelah ada penjelasan tentang situasi keuangan, karyawan diminta memilih. Dipindah ke luar Jawa atau PHK tanpa pesangon apa pun ?

Demi mendengar tawaran tersebut, saya orang pertama yang mengacungkan jari telunjuk. Saya menerima tawaran PHK tanpa embel- embel apa pun. Saya sangat sadar diri, saya punya hak atas pesangon dan berbagai kompensasi lainnya. Namun, di sisi sebaliknya, saya juga mengetahui kemampuan perusahaan telah mencapai titik nadir. Sia- sia saja saya menuntutnya.

Pulang ke rumah, ibunya anak- anak saya beri kabar bahwa mulai besok, suaminya sudah tak perlu repot- repot bangun pagi. Tetapi, bulan depan juga tidak usah berharap soal gaji. Mendengar laporan saya, perempuan berjilbab tersebut hanya tersenyum sarat makna. Sejak hari itu, saya memulai hidup baru dan profesi anyar, yakni pengangguran. Tiga hari kemudian, pas KTP saya habis, saat perpanjangan, kolom pekerjaan yang sebelumnya tercatat sebagai “karyawan swasta”, langsung saya ganti jadi Buruh Harian Lepas.

Hampir sebulan penuh saya benar- benar menikmati hidup, aktifitas sehari- hari hanya Ternak Teri (Nganter anak nganter istri). Sampai suatu hari, ketika melewati jalan Kartini Kota Salatiga, saya melihat pohon mahoni tua. Di bawah pohon tersebut, terasa sejuk saat sinar matahari menyengat. Mendadak, timbul inspirasi. Kenapa lokasi ini tak saya manfaatkan untuk berdagang es saja ?

Setelah berembuk dengan ibunya anak- anak, inspirasi tersebut segera kami eksekusi. Bermodal Rp 1 juta, untuk membuat gerobak Rp 350 ribu, meja kursi Rp 200 ribu , perkakas seperti gelas, mangkok, stoples dan peralatan lain Rp 150 ribu jadilah saya pedagang kaki lima. Meski banyak pilihan, kami sepakat memilih berdagang es kelapa muda yang harga jualnya Rp 1.000 permangkok. Agar terlihat menarik, di gerobak es saya pasang spanduk warna hijau muda. Bunyinya : Es Degan Ijo, Mengatasi Stamina Yang Loyo.

Hari pertama berdagang, kebetulan sudah memasuki musim kemarau (bulan Mei), saya benar- benar kewalahan. Terpaksa ibunya anak- anak ikut turun tangan meladeni konsumen, sedang saya menyiapkan bahan seperti membelah kelapa muda, membeli es batu hingga wira wiri mengambil air gula. Ketika sore tiba, usai membereskan lapak, saya terkaget- kaget. In come kotor yang masuk mencapai Rp 300 ribu, setelah dipotong bahan baku, ternyata masih tersisa Rp 150 ribu !

Malamnya, kami menggelar “rapat” terbatas kembali, hasilnya, saya membutuhkan asisten. Kebetulan, ada tetangga yang masih menganggur, ketika saya tawari ikut berdagang dengan bayaran Rp 500 ribu/ bulan, ia langsung mengiyakan. Esok harinya, aktifitas berdagang semakin lancar. Ibunya anak- anak tak perlu lagi repot- repot  intervensi.

Karena prospeknya lumayan bagus, akhirnya dalam tempo sepekan, saya memasan dua gerobak lagi. Tentunya, saya juga mencari tenaga kerja yang bersedia ikut saya. Tanpa hambatan yang berarti, selama bulan Mei yang baru berjalan tiga minggu, saya sudah memiliki tiga lapak dan dikelola oleh 6 orang tenaga kerja. In come bersih perhari, mencapai Rp 300 ribu ! Padahal, saat bekerja , gaji saya tidak lebih dari Rp 1 juta/ bulan.

Lapak yang saya pergunakan berdagang terletak di jalan Kartini, di depan Gereja Katolik Paulus Miki dan depan kampus UKSW. Karena masih ada beberapa kerabat yang pingin ikut bekerja, akhirnya saya memesan gerobak lagi. Selanjutnya saya buka di depan SD Lab Satya Wacana. Selama 1 bulan, total saya memiliki empat lapak. Hebatnya lagi, bila bulan April status saya pengangguran, bulan berikutnya berubah menjadi juragan es. Keren kan ? Meski bisnisnya ecek- ecek, namun status tetap juragan.

Bertahan 8 Tahun

Duet saya dengan ibunya anak- anak terus berlanjut hingga kami mempunyai tenaga kerja sebanyak 10 orang. Rinciannya, 8 orang bekerja tetap, 2 orang cadangan. Sebab, dari 8 orang yang bekerja, setiap hari ada yang mengambil libur. Untuk itu cadangannya yang menggantikannya. Omzet rata- rata dari empat lapak yang ada, mencapai Rp 1 juta/ hari dan margin bersih sekitar 40 persen.

Dengan pemasukan bersih rata- rata Rp 400 ribu / hari, tak membuat kami jumawa. Atas kesepakatan ibunya anak- anak, setiap hari, kami sisihkan 10 persen untuk membiayai awalnya 6 anak asuh. Belakangan berkembang menjadi 12 anak asuh dari tingkat SD hingga SMA. Saat ini, anak- anak asuh itu ada yang menjadi anggota polisi, pemilik toko  kain dan ada pula yang tetap menganggur.

Sekitar 8 tahun kami berdagang es kelapa muda, 8 tahun pula status saya menjadi juragan. Hingga tahun 2006, semuanya harus berakhir, pasalnya pihak pemerintah Kota Salatiga memberlakukan larangan berdagang di trotoar. Dampaknya, usaha yang telah berjalan 8 tahun terpaksa gulung tikar.  Dan, predikat sebagai juragan juga dengan sangat terpaksa ikut saya tanggalkan.

Apa pun yang terjadi, PHK telah membuat kami menjadi perkasa. Ketika terjadi PHK, usia saya baru 35 tahun, artinya saya mempunyai peluang cukup besar untuk kembali bekerja di salah satu perusahaan. Meski begitu, saya tak melakukannya. Saya lebih suka menciptakan pekerjaan dibanding harus  mencari pekerjaan. Usai gulung tikar, kami terus “berakrobat” dalam membiayai anak- anak sekolah. Hasilnya, kami mampu melewatinya.

Dari jatuh bangunnya kehidupan kami, serta cara kami mensiasati hantu PHK, rasanya bisa diambil hikmahnya. PHK bukan suatu hal yang perlu ditakuti. Namun, PHK mampu kita pergunakan sebagai momentum membangkitkan diri, memacu diri dan sekaligus menumbuhkan semangat menciptakan lapangan kerja, minimal untuk diri sendiri. Faktanya, sampai sekarang, tanpa pekerjaan yang permanen, kami tetap tahan banting. Bagaimana dengan anda ? (*)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun