[caption caption="Ilustrasi pemerkosaan (foto: dok kompas.com)"][/caption]
Dengan modal semangat yang menggebu, saya dan beberapa rekan berhasil mengungkap kasus pemerkosaan yang menimpa gadis cilik penyandang tunawicara. Dalam tempo 6 hari, dua orang pelaku berhasil ditangkap.Berikut perjalanannya menangkap para penjahat kelamin tersebut.
Setelah berhasil mengendus tempat kejadian perkara (TKP) dan seorang pria yang diduga merupakan pelaku perkosaan, akhirnya sejak Sabtu pagi, E didampingi Sum kakaknya , orang tuanya dan Ama mulai stand by di depan obyek wisata Kopeng, Getasan, kabupaten Semarang.
E sengaja mengenakan jacket jumper supaya kepalanya bisa tertutupi,matanya menelisik setiap laki- laki yang lewat di depannya. Hingga pk 13.00 aktifitas tersebut dilakukan,sayangnya dengan dalih harus membuka warung kaki limanya, orang tua E memutuskan kembali ke Salatiga. Hal ini saya ketahui saat pk 13.15 saya menyusul ke Kopeng,ternyata mereka telah pulang.
Malam harinya, E, Sum, saya, mas Dar dan Ama kembali ke Kopeng. Bila sebelumnya posisi mobil menghadap arah Salatiga, sekarang mobil diparkir dengan moncong kea rah Ngablak. Tujuannya, semisal pelaku kembali lewat menuju Ngablak, kita gampang mengejarnya. Namun, sampai pk 00.00 tak ada tanda- tanda pelaku bakal muncul, akhirnya perburuan diakhiri.
Minggu pagi, saya berharap E dengan didampingi keluarga mau kembali ke Kopeng untuk menyigi keberadaan pelaku. Tapi, karena tak ada pria yang ikut mendampingi, rencana tersebut dibatalkan. Saya sendiri kebetulan ada urusan lain, sehingga tidak bisa menemani mereka. Meski begitu, disepakati Senin pagi, akan kembali menyanggong di Kopeng.
Seperti diketahui, E siswi kelas 2 SMP Luar Biasa sebelumnya menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan para begundal yang jumlahnya lebih dari dua orang. Kendati sudah membuat laporan polisi, ternyata hingga hari ketiga belum ada indikasi aparat serius menanganinya. Terkait hal tersebut, saya yang merupakan tetangga korban, bersama rekan lainnya memutuskan melakukan penyelidikan (baca : memburu-pemerkosa-gadis-cilik-penderita-tunawicara).
Dihajar Massa
Sesuai rencana, memasuki hari ke 6 paska pemerkosaan, E, Sum, orang tuanya dengan didampingi salah seorang tetangga bernama pak Ade sejak pk 09.00 sudah berangkat ke Kopeng. Meski saya, mas Dar dan Ama tak bisa menemani namun, kami setiap saat siap dihubungi bila ditemui hal- hal yang tidak diinginkan. Disanggong sampai pk 13.00 belum ada kabar apa pun, E sendiri kendati terlihat sangat lelah, namun semangatnya sangat luar biasa.
Hingga pk 13.30, tiba- tiba E melihat seorang laki- laki (belakangan diketahui kernet bus jurusan Kopeng- Semarang) yang diduga merupakan salah satu pelaku. Ia langsung menowel bahu kakaknya sembari menunjuk pria berumur 30 an tahun yang tengah mencari penumpang. Celakanya, saat bertatapan, kehadiran E diketahui bandit tersebut. Terbukti, hanya jeda 30 detik, bus langsung diberangkatkan menuju Semarang.
Tak mau kehilangan jejak, kakak korban segera berlari menuju wartel yang letaknya tak jauh dari pintu gerbang obyek wisata Kopeng. Selain mengontak saya, ia juga menghubungi mas Dar. Ciri- ciri pelaku yang bertubuh tegap, rambut cepak dan mengenakan kaos berwarna putih disebutnya. Demikian pula bus yang dikernetinya, semua dilaporkan detail.
Tanpa menunggu lebih lama, beberapa anak muda di kampung saya kumpulkan. Dalam tempo singkat, sudah terkumpul 20-an sukarelawan. Karena perjalanan dari Kopeng menuju Semarang harus melewati Kota Salatiga, kami sepakati menghadang bus di depan MAN jalan KH Wahid Hasyim. Hampir 30 menit kami menunggu, diduga bus ngetem dulu di pasar Rejosari.
Setelah bus kelihatan, kami langsung menghadangnya. Saya katakan pada pengemudi, kami ada keperluan dengan kernetnya. Saat diturunkan secara paksa, sebenarnya ia akan melawan, namun melihat puluhan orang yang terlihat beringas, akhirnya dia menurut. Laki- laki tersebut bernama Bejo, usia 28 tahun warga Sumogawe, Getasan, Kabupaten Semarang. Selanjutnya kami bawa ke rumah korban. Sambil menunggu kedatangan korban berikut keluarganya, ia kami ajak "diskusi" secara baik- baik. Giliran korban datang, dan memastikan dirinya adalah pelakunya, maka "diskusi" berlangsung keras.
Seperti layaknya seorang tersangka tindak asusila, Bejo endapat perlakuan sangat keras. Kami mengorek keterangan lebih dalam siapa pelaku yang lain. Karena jalannya “diskusi” melibatkan banyak orang, keterangan yang kami dapat sering terputus- putus. Pasalnya, baru akan bicara, ada pukulan yang mendarat. Saat bakal membuat pengakuan, kembali tendangan ke mulutnya datang bertubi- tubi.
Tersangka Lain Guru Agama
Karena “diskusi” berjalan tersendat, akhirnya massa saya minta bersabar dulu. Melalui interogasi singkat, Bejo membuat pengakuan, ia melakukan pemerkosaan bersama Mono warga Ngablak, Kabupaten Magelang. Laki- laki berumur 55 tahun tersebut, sehari- harinya mengajar di salah satu SD di Ngablak. Yang membuat kami kaget, Mono adalah guru agama.
Tak tahan dihajar, Bejo yang awalnya mengaku tak mengetahui alamat detail Mono, belakangan menyebutkan secara rinci rumah koleganya berikut denah desanya. Usai mengantongi pengakuan Bejo, lima warga yang dipimpin mas Arif (sekretaris RW) langsung berangkat untuk menjemput penjahat kelamin itu.
Sembari menunggu kedatangan Mono, Bejo dengan terbata- bata menuturkan bahwa Mono, selain sebagai guru, setiap malamnya narik ojek. Pantesan, hari Jumat lalu ia lewat di depan obyek wisata Kopeng. Hampir satu jam tubuh Bejo dijadikan sanzak hidup oleh warga, ia telah berdarah- darah. Wajahnya remuk tak berbentuk. Khawatir nyawanya melayang, akhirnya saya hubungi Polres Salatiga agar menjemputnya.
Sekitar 30 menit Bejo diamankan petugas, rombongan penjemput Mono tiba di rumah korban. Meski kami sudah mengantongi keterangan rekannya,tapi Mono tetap ngotot tak mengakui perbuatannya. Hal inilah yang membuat warga beringas, tanpa ampun laki- laki bangkotan itu dihajar habis- habisan. Tidak ada lagi interogasi, yang bicara saat itu kayu, besi dan batu. Saya sendiri agak khawatir bila warga kebablasan dalam memberi pelajaran, sebab, tubuh kekar Mono sudah tergeletak di lantai berikut darah yang terus mengucur. Menjaga agar nyawanya tetap bertahan, pihak kepolisian kembali saya kontak.
Saat piket Reskrim tiba di rumah korban, Mono telah tak berdaya. Tubuhnya benar- benar remuk, ia hanya mengenakan celana dalam lusuh ketika diangkut mobil patroli. Oleh petugas, baik Bejo mau pun Mono langsung dilarikan ke RSUD Salatiga. Bejo menjalani perawatan satu minggu, sedang Mono akibat parahnya luka yang diderita, terpaksa harus mondok hingga 30 hari.
Setelah sembuh, dua tersangka ini dilimpahkan ke Pengadilan Ungaran, kabupaten Semarang. Keduanya dijerat pasal 285 KUHP yang ancaman hukumannya 12 tahun penjara. Majelis Hakim yang mengadili sama sekali tak melihat adanya unsur yang meringankan, sesuai tuntutan Jaksa, dua penjahat kelamin itu divonis 12 tahun penjara. Mono dipecat dari profesi guru. Tahun 2009 lalu, naik Bejo mau pun Mono telah menghirup udara bebas.
Demikian pengalaman saya memburu pelaku pemerkosaan terhadap seorang gadis cilik penyandang tunawicara. Keberhasilan itu berkat kerja sama yang baik antara korban dengan warga lainnya, tanpa dukungan mereka, tak mungkin dalam tempo 6 hari kasus yang sangat rumit tersebut mampu terungkap. Sekarang korban telah dewasa dan bekerja di luar pulau Jawa, semoga ia bisa hidup bahagia. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H