[caption caption="Rizal ramli (foto; dok kompas.com)"][/caption]
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli (RR) menilai “revolusi mental” yang saat kampanye pemilihan Presiden tahun lalu sering dijadikan jargon oleh Joko Widodo hanya omong kosong belaka. Sebab, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih saja terjadi hingga sekarang ini.
“ Katanya revolusi mental, kelakuan (pejabat) tidak berubah, KKN jalan terus. Katanya revolusi mental main proyek masih, tarik keuntungan dengan cara- cara tidak benar masih (jalan),” kata RR di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, selasa (15/9).
Sebagaimana dilansir oleh cnn.com, kondisi tersebut membuat RR meradang sehingga terpaksa menggunakan cara- cara kontroversi yang disebutnya sebagai “Jurus Rajawali Ngepret”. Karena , berbagai persoalan di tanah air sudah terlalu kompleks, ia menganggap tidak bisa lagi diselesaikan dengan cara yang halus dan santun.
Menurut RR karena masalahnya terlalu ruwet, terlalu ribet, maka dirinya menggunakan jurus “Rajawali Ngepret”. Meski pun menjadi bagian pemerintah, ia tidak segan mengeluarkan jurus aneh tersebut untuk menyerang orang dalam pemerintahan.
RR yang sebelumnya sempat ‘berseteru” dengan Menteri BUMN Rini Soemarno terkait rencana pembelian pesawat Airbus oleh PT Garuda Indonesia Tbk, kemudian berdebat soal pembangkit listrik 35 ribu mega watt “melawan” Wapres Jusuf Kalla, yang berikutnya menggelar perang urat syaraf lawan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino soal kasus bongkar muat (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
“ Elite kita ini sudah betul- betul merasa nyaman, nyaman dengan tidak berbuat apa- apa, hanya dengan menikmati jabatan, nyaman dengan KKN,” tegas RR.
KKN Memang Masih Jalan
Menelisik apa yang diungkapkan oleh RR yang sejak sebelum masuk ke pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi memang selalu kritis ini, sepertinya sangat menarik. Sebab, bila ia menyebut “revolusi mental” adalah omong kosong, sepertinya hal tersebut benar adanya. Kendati yang terjadi di pusat saya relatif awam, tetapi yang terjadi di daerah, istilah KKN masih terasa kental.
Salah satu contoh yang terjadi di daerah, yakni pelaksanaan proyek – proyek APBD. Jauh sebelum proyek diluncurkan melalui LPSE, muncul oknum- oknum “pemungut cukai”. Selain meminta persekot fee sebesar 2 - 3 persen, mereka juga mengatur calon pemenang lelang. Termasuk “mengunci” persyaratan lelang pekerjaan, hingga kompetitor kesulitan mengikutinya.
Bila penyetor persekot fee sudah dinyatakan menjadi pemenang, maka, ia harus memberikan sisa fee sebesar 2- 4 persen kepada “pemungut cukai”. Hal ini sudah menjadi tradisi dan teramat sulit dilenyapkan. Total fee yang kisarannya antara 5- 6 persen dari nilai proyek, biasanya bakal membengkak saat terdapat pihak- pihak lain yang ikut nimbrung. Kalau pas apes, pengeluaran fee atas satu proyek bisa menembus angka 8 persen.
Lantas bagaimana dengan proyek- proyek katagori kelas teri ? Nampaknya proyek- proyek penunjukkan yang nilainya di bawah Rp 200 juta, juga tidak luput dari kewajiban menyetor fee. Besarnya, tergantung negoisasi dengan oknum SKPD terkait, biasanya mencapai kisaran 3- 4 persen. “ Kalau tidak mau memberikan, ya jangan harap mendapat pekerjaan,” kata salah satu rekanan ecek- ecek.
Menurut rekanan yang sama, untuk rekanan selevelnya, sebenarnya menggarap pekerjaan penunjukkan langsung itu hanya sekedar numpang hidup. Ibaratnya, setahun mendapat satu pekerjaan dengan nilai di bawah Rp 200 juta, maka ia dan keluarga bisa makan layak minimal selama 6 bulan. Bulan selanjutnya, dirinya biasa melakukan “akrobat”.
Akutnya KKN di daerah, sepertinya mirip sel kanker. Satu titik diberangus, sel tersebut menyebar ke titik yang lain. Apa lagi, belakangan muncul himbauan agar aparat penegak hukum tak main hantam soal pemberantasan korupsi, dampaknya, calon- calon koruptor mirip mendapat tabuhan musik yang indah. Mereka semakin menari- nari dan menggeliat untuk menyigi semua celah yang mampu menghasilkan rupiah. (*)
Inspirasi Artikel :rizal-ramli-sebut-revolusi-mental-ala-jokowi-omong-kosong
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H