Bila penyetor persekot fee sudah dinyatakan menjadi pemenang, maka, ia harus memberikan sisa fee sebesar 2- 4 persen kepada “pemungut cukai”. Hal ini sudah menjadi tradisi dan teramat sulit dilenyapkan. Total fee yang kisarannya antara 5- 6 persen dari nilai proyek, biasanya bakal membengkak saat terdapat pihak- pihak lain yang ikut nimbrung. Kalau pas apes, pengeluaran fee atas satu proyek bisa menembus angka 8 persen.
Lantas bagaimana dengan proyek- proyek katagori kelas teri ? Nampaknya proyek- proyek penunjukkan yang nilainya di bawah Rp 200 juta, juga tidak luput dari kewajiban menyetor fee. Besarnya, tergantung negoisasi dengan oknum SKPD terkait, biasanya mencapai kisaran 3- 4 persen. “ Kalau tidak mau memberikan, ya jangan harap mendapat pekerjaan,” kata salah satu rekanan ecek- ecek.
Menurut rekanan yang sama, untuk rekanan selevelnya, sebenarnya menggarap pekerjaan penunjukkan langsung itu hanya sekedar numpang hidup. Ibaratnya, setahun mendapat satu pekerjaan dengan nilai di bawah Rp 200 juta, maka ia dan keluarga bisa makan layak minimal selama 6 bulan. Bulan selanjutnya, dirinya biasa melakukan “akrobat”.
Akutnya KKN di daerah, sepertinya mirip sel kanker. Satu titik diberangus, sel tersebut menyebar ke titik yang lain. Apa lagi, belakangan muncul himbauan agar aparat penegak hukum tak main hantam soal pemberantasan korupsi, dampaknya, calon- calon koruptor mirip mendapat tabuhan musik yang indah. Mereka semakin menari- nari dan menggeliat untuk menyigi semua celah yang mampu menghasilkan rupiah. (*)
Inspirasi Artikel :rizal-ramli-sebut-revolusi-mental-ala-jokowi-omong-kosong
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H