[caption id="attachment_419141" align="aligncenter" width="581" caption="Presiden RI Ke 2 Soeharto Semasa Hidupnya (Foto: tribun)"][/caption]
Titiek Hediati Hariyadi, putri mantan Presiden RI Soeharto yang saat ini menjadi politisi di Senayan, menilai 17 tahun reformasi tidak banyak membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia. Dia menganggap Orde Baru (Orba) lebih baik daripada kondisi sekarang.
“Kalau kita ke daerah itu selalu banyak yang mengeluhkan kondisi sekarang. Sampai ada stiker ‘enak jaman Pak Harto’. Nah ada kayak gitu. Itu bukan kami yang buat. Itu keluar dari masyarakat,” kata Titiek seperti dilansir kompas.com, Rabu (20/5) kemarin.
Dengan keluarnya pernyataan tersebut, otak saya langsung berputar mencoba merekonstruksi kondisi 17 tahun yang lalu. Apa benar yang disampaikan mantan istri Prabowo Subianto tersebut ? Agak susah memang memutar otak ke masa Orba yang diklaim lebih baik dibanding kondisi saat ini. Tetapi, kendati samar-samar, namun perlahan ingatan mampu “dipaksa” kilas balik.
Memang, selain stiker, banyak bak truk yang ditulisi “ Piye Le? Enak Jamanku To?” (Gimana nak? Enak Jamanku ya?) atau “ Gawean Angel Yo? Gampang Jamanku To?” ( Pekerjaan Sulit Ya? Mudah Jamanku Ya?), tulisan-tulisan yang dilengkapi gambar Soeharto seperti itu banyak bertebaran di kendaraan angkutan barang di berbagai daerah, tetapi saya menganggap hal tersebut bagian dari suatu keisengan awak angkutan dalam menyindir situasi terkini.
Kalau hanya stiker dan tulisan-tulisan seperti itu dijadikan parameter penilaian oleh seorang Titiek yang notabene</em> di jaman Orba sangat menikmati kekuasaan bapaknya, jujur saja saya mempertanyakan kredibilitas Titiek sebagai wakil rakyat di DPR RI. Sebab, ungkapan-ungkapan tersebut, secara pribadi saya anggap semacam guyonan ala awak angkutan. Jadi, tak mungkin mampu menggambarkan kondisi riil kehidupan rakyat yang sebenarnya.
Harusnya, Titiek dalam melontarkan pernyataan didukung dengan logika ilmiah hingga tak terkesan asal bunyi (Asbun). Sebab, bagaimanapun, ia seorang politisi yang terlepas suka maupun tak suka, mampu berkantor di Senayan. Kecerdasan dirinya bakal teruji melalui berbagai pernyataan yang ditayangkan media cetak atau elektronik.
Represifnya Orba & Kompasiana
Stiker atau tulisan bernada menyindir yang dijadikan parameter oleh Titiek ini, sampai sekarang masih banyak bertebaran. Bila ia menganggap Orba lebih baik, saya tidak bisa membayangkan bila tulisan-tulisan tersebut muncul di masa Orba dengan dukungan gambar/foto mantan Presiden RI Soekarno. Saya sangat yakin, Pak Harto akan berang dan menganggap pemasang stiker/tulisan telah melakukan subversif. Salah satu korbannya adalah aktivis Nuku Sulaiman, di mana ia terpaksa menjalani kehidupan dibui usai memasang stiker di mobil-mobil milik wakil rakyat.
Demikian pula dengan raibnya aktivis-aktivis yang hingga sekarang tak jelas juntrungnya. Bahkan, saya pribadi pernah mengalami hal yang tidak nyaman ketika berdiskusi secara kebetulan, beberapa orang di antaranya merupakan aktivis PRD pimpinan Budiman Sujatmiko. Saat tengah berbincang, intel-intel hilir mudik memantaunya. Hebatnya, dalam hitungan menit pertemuan tersebut sudah didengar pimpinan Intelijen Kepolisian.
Banyak langkah represif yang dilakukan rejim Soeharto, bila kita membuka kiliping berita, maka tak terhitung jumlahnya penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi. Begitu pula dengan kebebasan pers, berapa media yang terpaksa harus dipaksa gulung tikar akibat diberedel. Pertanyaannya, kenyamanan apa yang ditawarkan jaman Orba?
Sebagai orang yang tak pernah aktif di partai politik dan bukan pendukung Joko Widodo, saya merasakan perbedaan “atmosfir” kebebasan yang tak diperoleh di era Orba. Apa jadinya Kompasiana semisal lahir di Orba? Mungkin, dalam hitungan hari akan banyak Kompasianer yang “dipaksa” masuk bui hingga berujung pada pemberedelan Kompasiana.
Saya sengaja menulis tanggapan atas pernyataan Titiek Hediati Hariyadi hari ini, meski Titiek melontarkan pernyataannya Rabu (20/5) kemarin. Karena apa? Jawabnya sederhana, sebab hari ini, Kamis tanggal 21 Mei 2015 merupakan hari ulang tahun mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan yang telah ia duduki selama 32 tahun.
Esensi tanggapan saya, bila mau obyektif, kondisi di lapangan masih nyaman saat ini dibanding era Orba. Soal banyak ketimpangan sosial, ekonomi, dan hukum, bagi saya merupakan suatu hal yang wajar. Joko Widodo memerintah baru berumur dua kali panenan jagung, ia bukan Bandung Bondowoso yang mampu merubah carut-marut bangsa dalam sekejap. Beri kesempatan kepada Joko Widodo untuk membenahinya, semisal dirinya melakukan pelanggaran konstitusi, maka ada proses politik yang akan menjatuhkannya. (*)
Sumber:
kompas.com/Menurut.Titiek.Orde.Baru.pada.Era.Soeharto.Lebih.Baik.daripada.Saat.Ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H