[caption id="attachment_412854" align="aligncenter" width="640" caption="Presiden RI Yang Tengah Uji Nyali (Foto: Dok Kompasiana)"][/caption]
Terkait erat dengan rencana eksekusi mati gelombang dua terhadap 10 gembong narkoba yang berasal dari berbagai negara, Presiden Joko Wi(dodo) seakan tengah mengikuti uji nyali. Bagaimana tidak, trio tiga negara, yakni Perancis, Australia dan Brasil sudah bersiap untuk memberikan sanksi terhadap Indonesia.
Dipelopori oleh Presiden Perancis Francois Hollande yang tengah memperjuangkan salah satu warga negaranya bernama Serge Areski Atlaoui dari regu tembak, belakangan ia menggandeng Perdana Mentri Australia Tony Abbott dan Presiden Brasil Dilma Rousseff untuk bersama- sama menekan pemerintah RI. Ancaman yang dilontarkan, bila eksekusi tetap dilaksanakan, maka hubungan bilateral akan dibekukan.
Implikasi pembekuan bilateral ini, nantinya juga bakal berujung pada pembatalan atau ditundanya berbagai kerja sama tiga negara tersebut dengan Indonesia. Pembatalan kerja sama yang paling memungkinkan diberikan kepada Indonesia yakni dalam hal politik luar negri. Yang terjadi tahap awal, adanya penarikan Duta Besar sebagai bentuk protes.
Sedang di ajang politik Internasional, tiga negara ini, bersama negara- negara lain yang warganya ikut dieksekusi bisa dipastikan akan mengganjal keinginan Indonesia untuk masuk dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa. Di mana, sewaktu hajatan Konferensi Asia Afrika lalu, Indonesia aktif melakukan lobi terhadap negara- negara lain agar memberikan dukungannya supaya masuk di Dewan Keamanan polisi dunia itu.
Di lini bisnis, Hollande secara terang- terangan sudah menyatakan akan menunda kerja sama KTT G20 yang disepakati tahun 2014 lalu. Sedang Australia, kendati belum menyebutkan sanksi ekonominya terhadap Indonesia, namun salah satu media Australia, yakni Syney Morning Herald telah melansir berita yang menyebutkan bahwa bantuan berupa pinjaman senilai Rp 5 triliun kepada Indonesia bakal dibatalkan.
Sebagaimana diketahui, Kejaksaan Agung RI paling lambat akan mengeksekusi 10 terpidana mati di Nusakambangan. Ke 10 gembong narkoba tersebut, terdiri atas Raheem Agbaje Salami, Okwudili Oyatanze, Silvester Obiekwe Nwaolise (ketiganya asal Nigeria), Andrew Chan , Myuran Sukumaran (keduanya asal Australia), Serge Areski Atlaoui (asal Perancis), Mary Jane Veloso (asal Philipina), Roodrigo Gularte (asal Brasil), Martin Anderson (asal Ghana) , dan Zainal Abidin (asal Indonesia). Seharusnya jumlahnya bertambah satu, yaitu Freddy Budiman, namun karena bandit satu ini masih akan ajukan peninjauan kembali (PK) serta mengajukan grasi, maka nyawanya untuk sementara waktu terselamatkan.
Ketegasan pemerintah RI yang dinahkodai Joko Wi untuk menolak segala bentuk pengampunan yang diajukan para petinggi negara asing ini, layaknya sebuah uji nyali bagi mantan Gubernur DKI. Sangat dilematis memang, satu sisi ia harus menunjukkan NKRI merupakan negara berdaulat yang tak bisa diintervensi oleh negara mana pun. Sedang sisi lain, hubungan bilateral yang berimplikasi terhadap keberadaan laju bisnis antar negara jelas terancam.
Sebagai negara besar yang memiliki kedaulatan penuh, tentunya Joko Wi tak boleh lembek menghadapi tekanan asing. Apa pun resikonya, ia harus memperlihatkan bahwa bangsa ini tidak gampang digertak dan bangsa Indonesia sama sekali tidak memiliki ketergantungan dengan negara lain. Apa pun yang terjadi, harga diri NKRI harus terjaga sepenuhnya.
Bila menelisik sikap para pemimpin negara (khususnya) Perancis dan Australia, saya berpendapat bahwa Francois Hollande serta Tony Abbott merupakan sosok arogan yang tidak cerdas. Mereka hanya blingsatan saat mengetahui warga negaranya bakal dieksekusi mati, sehingga dengan berbagai cara berupaya memberikan preasure terhadap Indonesia. Harusnya, dua negara tersebut jauh hari memberikan travel warning kepada warganya yang akan ke Indonesia.
Setiap warga negara Perancis mau pun Australia, sebelum memasuki Indonesia, sudah seharusnya diberi pencerahan bahwa hukum di Indonesia, terdapat pidana mati bagi siapa pun yang menyelundupkan narkoba. Hal ini bisa disampaikan melalui kantor Imigrasi atau pihak- pihak terkait di negaranya masing- masing. Jadi, saat warga negaranya tertangkap hingga berujung vonis pidana mati, mereka tak perlu uring- uringan.
Seperti pada tulisan saya sebelumnya, bangsa Indonesia saya yakini tetap akan membela sikap tegas Presidennya. Tetapi, hal sebaliknya bakal menimpa Joko Wi bila ia nekad mengambil beleid yang berbeda, seperti memberi pengampunan misalnya. Tak hanya dibully habis oleh rakyatnya, politisi di Senayan pun bakal “menerkam” Joko Wi . Bagaimana bung ? Apakah anda tetap gamang dalam memutuskan hal ini ? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H