[caption id="attachment_409990" align="aligncenter" width="546" caption="Presiden Kita Joko Widodo (Foto: Dok Kompas.com)"][/caption]
Berita tentang terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2015 yang diteken Presiden Joko Widodo tanpa dibaca terlebih dulu dan istilah petugas partai yang dilempar Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati, sepertinya masih menjadi isu yang sexy untuk dibahas diberbagai media. Termasuk Kompasiana tentunya.
Kendati saya pernah menulis tentang Kepres tersebut, namun, saya masih tetap memiliki “syahwat” untuk mengupasnya lagi. Bukan, apa- apa. Saya sama sekali tak mempunyai niatan memperkeruh situasi. Tapi, saya hanya berkeinginan Presiden RI menjadi orang yang tangguh dan tak bisa didikte oleh siapa pun.
Joko Widodo yang dilantik menjadi Presiden RI pada tanggal 20 Oktober 2014, sejak pencalonannya sudah mengundang kontroversi. Bagaimana tidak, seorang Walikota Surakarta yang belum menuntaskan masa jabatannya, tiba- tiba menembus belantara politik ibu kota dan sukses menjadi Gubernur DKI Jakarta. Di saat kepemimpinannya baru berjalan dua tahun, ia “dipaksa” bertarung di panggung politik nasional.
Kiranya, rakyat di negri ini sudah mafhum. Joko Widodo terbukti mampu membiuspuluhan juta orang untuk memilihnya. Meski saat pencalonannya Megawati sempat kelepasan bicara dengan menyebutnya sebagai petugas partai, namun pesona mantan pengusaha meubel tersebut tidak terbendung. Hingga akhirnya ia menduduki kursi RI 1.
Menjadi Presiden di Republik Indonesia yang dimaknai mempunyai dua tugas dan jabatan, yakni sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, bukan pekerjaan yang mudah. Tak ada Presiden di mana pun yang mampu menyenangkan semua pihak, begitu pula Joko widodo. Berbagai beleid yang ia keluarkan, nyaris selalu mengundang komentar miring, terlebih lagi bagi lawan politiknya.
Posisikan Anda Sebagai Presiden
Hal yang paling mudah diingat adalah beleid pencabutan subsidi BBM yang dilakukan menjelang pergantian tahun 2014. Kebijakan tersebut jelas- jelas menohok stabilitas perekonomian karena efek dominonya memang sukses mendongkrak harga sembako dan transportasi. Meski harga BBM sempat diturunkan, namun umurnya tak begitu lama. Lagi- lagi harganya dinaikkan mengikuti fluktuasi harga minyak dunia.
Suka mau pun tidak suka, ratusan juta rakyat harus menerimanya. Karena protes juga akan sia- sia belaka, sebab, DPR RI yang merupakan represantasi rakyat di parlemen sendiri tak berbuat banyak. Hak interpelasi yang awalnya mau digulirkan, belakangan meredup tanpa sebab.
Begitu pula saat pencalonan Komjen Budi Gunawan menjadi kandidat Kapolri, Joko widodo jelas mendapat pressure dari kekuatan politik yang sangat besar. Akibatnya, pencalonan perwira tinggi bintang tiga mantan ajudan Megawati tersebut mengundang kontroversi yang hingga saat ini baranya belum juga mereda.
Satu hal yang membuat publik terkaget- kaget saat Joko Widodo membuat “pengakuan dosa” atas terbitnyaPerpres Nomor 39 Tahun 2015. Kendati saya sangat mengapresiasi kejujuran beliau yang mengaku tak sempat membaca naskah Perpres ketika menandatanganinya, tapi saya sempat terperangah. Bagaimana mungkin Perpres yang begitu penting tak dibacanya lebih dulu, padahal beliau tentunya memiliki staf khusus yang bertugas menjadi filter semua naskah.
Apa yang diungkapkan Presiden, bagi saya sangat fatal. Joko Widodo bukan Ketua RT yang ketika kebijakannya keliru, setiap saat bisa dilengserkan. Sedang Ketua RT di lingkungan saya sendiri nyaris tak pernah membuat kekeliruan, hampir semua konsep kebijakan yang disodorkan oleh Sekretaris RT, selalu dibacanya dengan teliti. Lantas, kenapa Presiden malah melakukan berlaku seperti itu ?
Kalau pun akhirnyaPerpres Nomor 39 Tahun 2015 dicabut, tapi tetap saja kebijakan Presiden cukup mencederai perasaan rakyat. Dalam hal ini, saya sangat berharap kasus serupa tak terulang lagi. Presiden adalah adalah orang nomor satu di NKRI, Presiden merupakan representasi kedaulatan Negara yang harusnya tak boleh melakukan kekeliruan- kekeliruan yang bersifat fatal. Dan, anda adalah Panglima Tinggi TNI yang tentunya bila keluru menetapkan kebijakan pertahanan bakal berimplikasi sangat fatal.
Hingga polemik tentang Perpres hampir usai, ternyata di Kongres PDI Perjuangan yang berlangsung di Bali, Megawati lagi- lagi mengangkat istilah petugas partai. Sungguh, saya sangat menyayangkan sikap ego mbak Mega yang masih mempertahankan istilah tersebut. Padahal, masyarakat telah mulai mengabaikannya. Kenapa hal ini harus diangkat lagi ?
Ibarat paduan suara, para politisi dari PDI Perjuangan ternyata mengamini istilah petugas partai itu. Hal ini tentunya sangat bisa dimaklumi, apa pun partainya, ucapan Ketua Umum adalah sesuatu hal yang tak terbantahkan. Apa lagi yang berbicara adalah partai pemenang Pemilu, menentangnya ibarat bunuh diri. Meski begitu, saya yang awam dengan politik, berfikir sederhana. Akan lebih baik bila mbak Mega legowo menghibahkan Joko Widodo kepada rakyat Indonesia, minimal hingga 4,5 tahun ke depan.
Dari beberapa hal yang muncul di permukaan, saya tetap berharap Joko Widodo mampu menunjukkan dirinya sebagai seorang Presiden dari sebuah bangsa yang besar. Konsekuensi logisnya, ia harus menunjukkan sikapnya selayaknya seorang Kepala Negara yang tak bisa diintervensi oleh siapa pun. Karena, dirinya memiliki hak prerogatif dan hak politik yang seharusnya segala kebijakannya tidak boleh dikendalikan kekuatan lain. Ingat bung, anda Presiden bukan Ketua RT. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H