Mengikuti perkembangan kasus pemerkosaan dan penyekapan selama 35 hari yang menimpa diri DO, janda berusia 24 tahun asal Sukabumi ini, siapa pun akan merasa geregetan. Bagaimana tidak, usai menghirup udara bebas, ternyata laporannya ke Polres Depok dimentahkan.
Sebagaimana ditulis Kompas.com Kamis (26/3), DO telah menjadi korban pemerkosaan secara marathon oleh Enang Suryana (36) warga RT 3 RW 3, Keluarahan Ratu Jaya, Kecamatan Cipayung, Depok, Jawa Barat. Tak sekedar diperkosa berulangkali, ia juga menjalani penyekapan sebulan lebih.
Dalam hal ini, saya tak tertarik menelisik kronologis peristiwa nestapa yang terjadi atas diri DO. Namun saya merasa perihatin ketika kasus yang sangat mempengaruhi kondisi psikis korban, ternyata tidak bisa diproses oleh polisi yang menerima pengaduannya. Dalihnya, polisi belum mempunyai cukup bukti dan keluarganya diminta menandatangani surat pencabutan laporan.
Dengan adanya penolakan penyidikan yang dikemas dengan pencabutan laporan polisi ini, maka semakin lengkaplah penderitaan DO. Bahkan, didera rasa emosional yang tinggi, ia menegaskan bahwa dirinya perlu terluka lebih dulu sebelum membuat pengaduan.
Dalam kasus yang menimpa DO, sebenarnya Enang Suryana untuk perkara perkosaannya bisa dijerat dengan pasal 285 KUHP yang ancamannya mencapai 12 tahun penjara. Kendati begitu, untuk menemukan alat bukti, penyidik agak mengalami kendala. Sebab, pada saat terjadi tindak pemerkosaann, korban kesulitan menunjuk saksi yang bisa memberatkan tersangka.
Meski saban hari DO harus dipaksa melayani nafsu syahwat Enang Suryana minimal 2 kali, namun, saksi yang berada satu rumah merupakan keluarga terlapor yang notabene akan memberikan kesaksian yang meringankan. Begitu pula dengan warga di sekitar rumah terlapor, nampaknya juga bakal meringankan dirinya.
Dalam hal ini, yang paling obyektif adalah visum at repertum. Di mana, bila DO menjalani pemeriksaan medis, bisa dipastikan akan terdapat sisa sperma yang menempel di vagina korban. Tak begitu jelas, apakah penyidik sewaktu meminta korban mencabut pengaduannya sudah menjalani visum at repertum atau belum. Setahu saya, yang namanya visum at repertum merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan saat terjadi tindak asusila.
Pembuktian perkara pemerkosaan yang menimpa DO, sebenarnya bisa diawali dengan merunut dari awal peristiwa. Yang mana, berdasarkan keterangan korban, perkosaan yang menimpanya pertama kali terjadi di Hotel Oliarta. Dengan dalih akan ditembak, ia dipaksa melayani nafsu bejat preman tersebut.
Dari tempat kejadian perkara (TKP) pertama ini, harus penyidik Polres Depok bisa memintai keterangan pihak hotel, baik resepsionis maupun petugas keamanannya. Bila hingga sekarang pihak-pihak terkait belum pernah menjalani pemeriksaan, maka kesimpulan penyidik yang menyebutkan tak cukup bukti menahan terlapor berarti sangat prematur.
Ditangani Polda Metro
Penyidik boleh berasumsi kejadian yang menimpa DO merupakan tidak asusila yang terjadi atas dasar suka sama suka, mengingat DO berada di rumah Enang Suryana lebih dari satu bulan. Meski begitu, penyidik harusnya mempertimbangkan kondisi psikis dan mental korban. Sebagai seorang perempuan, yang awam dengan situasi Kota Depok, dirinya berada di bawah intimidasi seorang laki- laki yang dikenal sebagai preman. Bisa berbuat apa DO? Sementara baik di rumahnya maupun di lingkungannya, terlapor diketahui lumayan beringas.
Baiklah, tindak asusila yang menimpa DO dengan dalih tak cukup bukti bisa dikesampingkan. Kendati begitu, polisi sebenarnya tidak bisa serta-merta melepas Enang Suryana begitu saja. Sebab, merunut keterangan korban, pada saat pemerkosaan di Hotel Oliarta, terlapor mengancam akan menembak korban. Di sinilah polisi mestinya mengembangkan kepemilikan senjata api. Apa benar Enang Sunarya mempunyai senjata api, bila benar maka ia layak dijerat UU Darurat No 12 Tahun 1951 yang ancaman hukumannya maksimalnya hukuman mati, seumur hidup dan 20 tahun penjara.
Apabila kepemilikan senjata api sulit dibuktikan, hal yang paling mudah untuk membidik Enang Sunarya adalah kepemilikan senjata tajam berupa samurai yang berulang kali dipergunakan untuk mengancam DO. Barang bukti samurai yang ada di kamar terlapor, sebenarnya sesuai pasal 2 ayat (1) UU Darurat No 12 Tahun 1951, cukup untuk mengirimnya ke bui. Sebab, pasal tersebut mempunyai ancaman maksimal 10 tahun penjara.
Di luar kepemilikan senjata api maupun senjata tajam, Enang Sunarya sangat layak dijerat dengan pasal 328 KUHP yang pengertian singkatnya menempatkan seseorang secara melawan hukum di bawah kekuasaannya atau menempatkan dia dalam keadaan sengasara yang ancamannya mencapai 12 tahun penjara.
Pembuktian pasal 328 tersebut, harusnya pihak polisi tak terlalu kesulitan. Sebab, saksi dari pihak keluarga DO bisa dimintai keterangan, begitu juga pengurus lingkungan di TKP pasti akan membenarkan keberadaan korban yang durasinya lebih dari satu bulan. Pertanyaannya, kenapa polisi terlalu cepat mengambil kesimpulan?
Hal paling memungkinkan yang bisa dilakukan oleh DO agar memperoleh keadilan, ia harusnya kembali membuat pengaduan ke Polda Metro Jaya selaku institusi atasan Polres Depok. Atau pihak Polda Metro Jaya segera melakukan analisa dan evaluasi (Anev) atas penanganan laporan polisi yang dibuat DO. Begitu pula pihak Provos, tanpa diminta hendaknya cepat-cepat melakukan penyelidikan guna meluruskan penghentian penyelidikan yang diduga prematurini.
Terlepas dari peran Kepolisian, pihak Komnas Perempuan nampaknya harus segera memberikan perlindungan terhadap DO. Perlindungan dalam arti luas, tentunya menyangkut mengawalan atas pengaduan yang ia buat, juga tindak lanjut keselamatan dirinya. Sebab, track record terlapor telah diketahui masuk katagori orang bermasalah. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H