[caption id="attachment_403567" align="aligncenter" width="600" caption="Sang Nenek Dibalik Terali Besi (Foto: Istimewa)"][/caption]
Akhirnya, majelis hakim Pengadilan Negri (PN) Situbondo, Jawa Timur, Senin (16/3) kemarin mengabulkan penangguhan penahanan nenek Asyani yang sebelum didakwa melakukan pencurian 7 batang kayu jati milik Perhutani.
Berita keluarnya nenek Asyani dari penahanan ini saya lihat ketika TV One menayangkan berita tersebut. Ketua majelis hakim, yakni I Kadek Dedy Arcana berkesimpulan bahwa perempuan berusia 63 tahun ini tidak mungkin ditahan, karena faktor kesehatan.
Ada sisi menarik menjelang nenek Asyani akan disidangkan, di mana Bupati Situbondo Dadang Wigiarto dan Wakil Bupati Rachmad secara serentak bersedia menjadi penjamin atas penangguhan sang nenek yang tinggal di desa Jati Banteng ini. Kenapa Bupati serta Wakilnya bersedia repot- repot jadi penjamin ? Ternyata ada unsur politis di dalamnya. Dua pimpinan daerah tersebut, tahun depan bakal bersaing untuk memperebutkan posisi sebagai orang nomor satu di Kabupaten Bojonegoro.
Terlepas ada kandungan politis atau tidak, yang jelas langkah Dadang dan Rachmad layak diapresiasi. Mereka sangat peduli atas nasip warganya yang dibui karena dituduh melakukan pencurian kayu jati. Dan, langkah keduanya sangat diapresiasi bila hal tersebut dilakukan sejak tiga bulan lalu, tepatnya ketika terjadi penahanan di tingkat penyidikan.
Usai dinyatakan permohonan penangguhan penahanannya dikabulkan majelis hakim, ada satu hal yang membuat saya trenyuh. Saat diwawancarai reporter TV One, nenek renta ini mengaku, sebelum kasusnya bergulir ke tingkat penyidikan, ia pernah diminta menyetor Rp 4 juta kepada oknum Perhutani yang menangkapnya.
Ini jelas sikap yang sangat tolol (bila hal itu benar), sebab nenek Asyani yang kondisinya miskin, berpenyakitan tetap saja akan diperas. Celakanya, ketika ia tak mampu menyediakan uang Rp 4 juta sesuai yang diminta, belakangan kasusnya dilimpahkan ke penyidik. Pertanyaannya, sudah sedemikian parahkah mental aparat kita ?
Memelihara Kebodohan
Sebelum memperoleh penangguhan penahanan, nenek Asyani sempat mendekam di tahanan hampir 3 bulan lamanya. Bila mengacu pada regulasi, maka ia ditahan penyidik selama 20 hari, diperpanjang oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) selama 40 hari, terus ditahan JPU 20 hari dan mendapat penahanan PN Situbondo baru 10 hari.
Nenek Asyani jelas- jelas tak mengerti sedikit pun tentang hukum, ia pun juga tak paham tindak pidana yang dilakukannya. Sebagai orang desa yang sama sekali tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal, tentunya harus dimaklumi bila kebodohan sangat lekat dengan dirinya. Yang sangat saya herankan, ternyata kebodohan itu juga menimpa orang- orang disekitarnya.
Kalimat yang paling pas adalah memelihara kebodohan secara berjamaah. Bagaimana tidak, kalau tidak terjadi pembiaran kebodohan itu terus berjalan ? Jelas- jelas nenek Asyani sejak awal ditahan sebenarnya memiliki hak untuk mengajukan permohonan untuk tak ditahan. Semisal surat perintah penahanan atas dirinya sudah dikeluarkan penyidik pun, dia berhak mengajukan permohonan pengalihan tahanan atau penangguhan tahanan.
Bila penahanan nenek Asyani mengacu pada pasal 20 dan 21 KUHAP, hak- haknya tertuang di pasal 31 KUHAP. Disebutkan di pasal 31 ayat 1, atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing- masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang berdasarkan syarat yang ditentukan.
Syarat yang ditentukan, biasanya meliputi wajib lapor hari Senin dan Kamis, tidak melarikan diri, tidak mengulangi perbuatannya serta persayaratan normatif lainnya. Bila dilanggar, maka sesuai pasal 31 ayat 2 KUHAP, penangguhannya bisa dicabut.
Yang membuat otak saya terheran- heran, kenapa sejak awal penahanan, tidak ada yang peduli dengan nasip nenek Asyani ? Baru setelah media cetak mau pun elektronik ramai menayangkan persidangannya, eh para pejabat langsung bersikap. Padahal, semisal permohonan penangguhannya diajukan sejak awal masa penahanan, nenek Asyani tak perlu merasakan pengapnya dinding bui selama tiga bulan. Begitu pula dengan kebijakan penyidik, JPU serta PN Situbondo, mengapa tiga institusi ini merasa perlu melakukan penahanan ? Apa yang harus dikhawatirkan ? Apa mungkin nenek ini akan melarikan diri, mengulangi perbuatannya, menghilangkan barang bukti (yang sudah disita) dan mempengaruhi saksi sesuai pasal 21 (1) KUHAP ?
Bila merunut perkara yang membelit nenek Asyani, nampaknya penegakan hukum di Republik ini tengah didera masuk angin. Kendati sang nenek didampingi pengacara secara prodeo, tapi faktanya ia harus mendekam di bui lebih dulu selama 3 bulan. Seharusnya hal itu tak perlu terjadi semisal kebodohan yang ada tak dipelihara. Dan yang paling vital, pihak- pihak terkait sigap membantunya.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H