Tulisan ini merupakan Catatan Bagian Kedua
08 Maret 2021
Hari Senin, bangun pagi masih dengan kondisi berantakan. Tapi dengan perasaan yang agak tenang, karena aku sudah tahu apa yang terjadi dengan tubuhku. Semua itu adalah gejala yang ditimbulkan akibat terpapar Covid-19.
Senin ini, hingga Senin minggu depan, istriku memang sedang mengambil cuti tahunan selama 7 hari,  pagi ini, terpaksa ia bersiap ke laboratorium kantornya di kawasan Matraman untuk menjalani test swab antigen dan rapid test antibody, demi memastikan apakah ia terpapar covid atau tidak. Tepat pukul 09.00, ia telah sampai di laboratorium kantornya.
Sambil menunggu kabar hasil test swab yang dilakukan istriku, aku menelepon atasan langsung tempatku bekerja memberitahu aku terpapar Covid dan meminta ijin tidak masuk kerja karena akan melakukan isolasi mandiri. Lantas menelepon Pak Rery Irarto, sebelumnya aku kirim pesan WhatsApp ke Pak Rery apabila ia senggang aku akan meneleponnya. Alhamdulillah Pak Rery merespon.
Kepada pak Rery kuceritakan bahwa aku terpapar Covid-19. Ia langsung bilang tidak perlu panik, pasti akan sembuh. Lalu aku bertanya bagaimana prosedur untuk isolasi mandiri di Wisma Atlet, lantas dengan panjang lebar Pak Rery memberitahu prosedur untuk masuk ke Wisma Atlet.Â
Sambil beliau menambahkan, Wisma Atlet adalah tempat yang sangat layak untuk isolasi mandiri dan melakukan perawatan, karena di sana fasilitasnya lengkap dan gratis. Aku menutup telepon setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Rery.
Pukul 09.44 istriku mengirim hasil test swab antigen: "Negatif", dan hasil rapid test antibody: "Non Reaktif". Aku berujar syukur alhamdulillah, hanya aku yang terpapar, istriku tidak. Akan tetapi kegembiraan ini hanya berlangsung sesaat.
Kami tinggal di Apartemen Kalibata City di mana pengelola membuat gugus tugas internal disertai nomor WA apabila terjadi keadaan darurat yang berhubungan dengan Covid-19 dengan nama "Layanan Pengaduan Covid-19".Â
Saat itu juga, pukul 09.45 aku langsung menghubungi nomor WA tersebut, seseorang menerima panggilan telepon WA. Aku ceritakan bahwa aku terpapar Covid, akan tetapi istri tidak terpapar sehingga aku mengajukan untuk melakukan isolasi mandiri di Wisma Atlet Kemayoran.Â
Ia memintaku untuk mengirimkan foto hasil test PCR-ku dari RS Siloam Asri, foto KTP-ku, dan foto hasil test swab antigen istriku.
Setelah data yang diminta terkirim, aku menerima pesan WA dari petugas Layanan Pengaduan: "Baik Pak, kami infokan ke Puskesmas Rawajati terlebih dahulu."
Aku mengucapkan terima kasih dan menunggu.
Dalam perjalanan pulang dari laboratorium kantornya, aku menelepon istriku, Â kukabarkan padanya bahwa aku sudah melapor ke gugus tugas apartemen, dan pihak apartemen akan berkoordinasi dengan pihak Puskesmas Rawajati agar aku bisa dirujuk ke Wisma Atlet.Â
Sembari meminta tolong kepada istriku sesampainya di Kalibata City untuk membelikan aku kebutuhan yang kuperlukan apabila isolasi mandiri terlaksana di Wisma Atlet.
Pukul 11.14 seseorang mengirim pesan ke WA-ku. Ia memperkenalkan diri sebagai petugas dari Puskesmas Kelurahan Rawajati II, ia bernama Ibu Fuji Marbun.Â
Di awal percakapan WA dengan Ibu Fuji, saya memanggilnya Bapak, karena foto profilnya yang dominan adalah wajah  lelaki yang merupakan suaminya Ibu Fuji.
Ibu Fuji memintaku mengisi semacam data formulir yang cukup ditulis di tubuh WA. Isian tersebut sebagai berikut:
- Nama:
- NIK:
- TTL:
- Umur:
- Alamat KTP:
- Alamat Domisi:
- Pekerjaan:
- No. Telp:
- Keluhan:
- Penyakit Lainnya:
- Kontak erat siapa saja yang pernah bertemu:
Bu Fuji meminta aku mengirimkan foto KTP, foto KK, foto Kartu BPJS, dan foto hasil swab PCR.
Aku segera mengisi formulir isian daring tersebut, karena Bu Fuji akan memasukkan data itu sesegera mungkin di gugus tugas kelurahan, agar aku bisa dirujuk hari ini ke Wisma Atlet.
Pukul 11.42 semua data dan formulir isian terkirim.
Masih melalui pesan WA Bu Fuji berkata, "Dipersiapkan saja perlengkapan yang akan dibawa ke Wisma Atlet supaya jika ada jam keberangkatannya bisa langsung ngumpul di puskesmas kecamatan Pancoran." Percakapan dengan Bu Fuji pun berakhir.
Tentu saat itu aku berharap-harap cemas, semoga aku bisa dirujuk untuk isolasi mandiri di Wisma Atlet hari ini juga, agar meminimalisir kontak erat dengan istriku.
Pukul 12.39 Bu Fuji menyampaikan kabar, bahwa pukul 14.30 aku harus berkumpul di Puskesmas Kecamatan Pancoran untuk berangkat ke Wisma Atlet.
Puji syukur Alhamdulillah, hanya dalam hitungan jam aku berhasil dirujuk ke Wisma Atlet. Tentu aku sangat berterima kasih kepada petugas Layanan Pengaduan Covid Apartemen Kalibata City, Puskesmas Rawajati II dan pihak Rukun Tetangga Tower Apartemen.
Pukul 12.45 pihak Rukun Tetangga towerku mengirim pesan WA. Bu Sabina selaku RT rupanya telah mendapat kabar dari pihak puskesmas bahwa ada warganya yang terpapar Covid.Â
Melalui WA beliau bertanya tentang kondisiku dan secara gamblang aku ceritakan gejala yang kualami saat itu. Aku pun memberikan informasi ke Bu RT bahwa pukul 14.30 diminta berkumpul di Puskesmas Pancoran.Â
Dalam percakapan itu Bu RT menginformasikan akan melakukan penyemprotan disinfektan di unit kamarku sore nanti. Pesan ini langsung kusampaikan ke istriku.
Ketika hendak ke titik kumpul di Puskesmas Pancoran hujan mendadak turun dengan derasnya. Aku diantar oleh istriku menggunakan mobil. Tepat pukul 14.00 aku telah sampai di Puskesmas Pancoran diiringi guyuran hujan yang masih menderas.Â
Karena jalan di depan  puskesmas sangat kecil, mobil tidak memungkin untuk parkir atau sekadar berhenti sejenak, sehingga saat aku turun dari mobil, aku langsung berpisah dengan istriku. Duh, rasanya sedih banget.
Di ruang khusus yang disediakan oleh pihak puskesmas tampak ada 15 orang yang menunggu. Mereka adalah orang-orang positif Covid yang akan diantar ke Wisma Atlet. Aku melapor ke petugas dan diminta untuk menunggu. Waktu pun berjalan dengan sangat lambat, hujan belum mau berhenti.
Pukul 14.30 rupanya jumlah orang yang akan ke Wisma Atlet mulai membanjiri ruang tunggu khusus ini, semula orang yang kuhitung ada 15 orang bertambah menjadi 15 orang lagi, sehingga totalnya 30 orang. Aku sempat berpikir, ternyata begitu banyak orang yang terpapar. Ini hanya di 1 puskesmas kecamatan di Jakarta dalam 1 hari.Â
Jadwal keberangkatan ke Wisma Atlet molor sangat lama, meski di depan puskesmas telah menunggu 1 unit ambulans berkapasitas penumpang duduk 10 orang dan 1 bus sekolah dengan kapasitas kurang lebih 25 orang.Â
Angka ini kutahu setelah aku berada di dalam bus, dan bertanya ke petugas kapasitas angkut ambulans.
Saat petugas itu memanggil nama kami, kami diminta langsung menuju ke meja pemeriksaan. Petugas pemeriksa menanyakan kondisi atau perasaan apa yang kami rasakan saat ini, lalu mengukur saturasi oksigen, dan mengecek tekanan darah.Â
Ya, ampun, tekanan darahku melonjak drastis! 140/100 hiks. Inilah yang sangat mengkhawatirkan, karena memang aku menderita hipertensi sejak lama.
Setelah semuanya dipanggil dan diperiksa, pada pukul 16.00 petugas laki-laki yang tadi melakukan presensi memanggil 10 orang untuk naik ke ambulans. Tentu saja secara otomatis, kami yang lain pun ikut bersiap.Â
Melihat yang lain bersiap, petugas tersebut berseru, "Bapak dan Ibu yang lain tetap duduk dan menunggu di sini, 10 orang yang saya sebutkan tadi akan dibawa ke Hotel Kaisar di Jalan Duren Tiga Raya."
Tentu saja sebagian dari kami bertanya-tanya, "Lho, kenapa ke Hotel Kaisar?"
Petugas tersebut lantas menjelaskan, "Yang ke Hotel Kaisar adalah mereka yang tanpa gejala, alias OTG, Bapak dan Ibu sisanya ke Wisma Atlet karena bergejala!"
Barulah kami merasa lega dengan penjelasan itu. Ambulans pun meluncur ke Hotel Kaisar, dan kami, 20 orang tersisa mesti menunggu lagi hingga ambulans itu kembali lagi ke puskesmas Pancoran.
Aku sebenarnya agak trauma mendengar raungan sirine ambulans, suara itu membangkitkan kenangan. Mengingatkanku pada 36 tahun yang lalu, suara raungan sirine itu menjadi suara yang sangat pilu, ketika kami mengantarkan jenazah ayahku dari Bandara Jakarta menuju Tasikmalaya untuk dimakamkan.Â
Dari Jakarta ke Bandung, dan akhirnya sampai di Tasikmalaya aku, ibuku, kakak dan adikku berada di satu ambulans bersama jenazah almarhum ayahku. Dan sirine ambulans meraung-raung sepanjang jalan pada waktu itu, 15 Februari 1985 lalu.
Mereka akan menjadi voorijder. Suara sirine motor pun berbunyi diikuti suara sirine ambulans yang meraung-raung keras mengiris kalbuku. Terus terang rasanya seperti mimpi, aku tercekat, ingin menangis.Â
Oh, ternyata begini rasanya di dalam bus sekolah yang selama ini sering kulihat melaju kencang di jalanan Jakarta membawa orang-orang yang terpapar Covid-19 ke pusat kesehatan atau rumah sakit.
Ambulans dan bus sekolah melaju sangat kencang, barisan pohon-pohon dan tiang listrik di sisi kanan dan kiri jalan seolah-olah berlarian dan berlesatan seperti berlomba lari, menciptakan bayangan yang asing dan ganjil.
Saking cepatnya perjalanan Pancoran, Jakarta Selatan, ke Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, hanya ditempuh 30 menit, padahal jalanan Jakarta di sore itu sangatlah macet. Itu kenapa ada motor pengawal perjalanan yang ditugaskan mengawal ambulans dan bus kami.
Pukul 17.00. Aku benar-benar takjub memandang ke arah tower-tower Wisma Atlet yang begitu menjulang tinggi dan tampak muram di mataku. Kini aku benar-benar melihat bentuk dan sosok kompleks Wisma Atlet yang selama ini hanya kulihat di layar televisi.
Bersambung ke Catatan Bagian Ketiga (Nantikan...)
Salam Sehat,
Bamby Cahyadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H