Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Politik

E, Dhayohe Kalah

21 April 2017   15:55 Diperbarui: 22 April 2017   01:00 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tembang yang penuh sanepo buah cipta Kanjeng Sunan Kali Jogo, berlaku ‘ces pleng’ untuk pilkada DKI putaran ke 2, 19 April 2017 kemarin lusa. Belum pernah ada analisis politik yang berlandaskan kebudayaan. Saya mencoba membedah  kekalahan Ahok, melalui budaya masa silam.

Kanjeng Sunan Kali Jogo berbicara dengan bahasa alam. Ungkapan yang dipilih sedemikian halus, sehingga orang Jawa moderen tidak bayak yang memahami kalimat pendek, E...dhayohe teko.

Dhayoh / tamu, adalah subyek atau bangsa lain, yang datang ke pulau Jawa penuh dengan rencana serta kepentingan tertentu. Mereka bukan penduduk asli.

Saking santunnya, bangsa Jawa  sebagai tuan rumah melakukan penyambutan datangnya bangsa lain dengan tatakrama yang jangkep(komplit), E,  gelarno kloso.

Dhayoh yang tidak paham kebudayaan, juga tidak tahu unggah-ungguh,bahkan tidak tahu diri, malah bercelotheh, E, klasane bedhah.

Disambut dengan gupuh atau secara ter hormat masih saja si tamu merasa kurang. Bangsa Jawa tidak terlalu pusing dengan sikap mereka, bahasa kerennya EGP, emang gue pikirin. Dengan rendah hati tamu yang tidak tahu sopan santun itu pun tetap dihormati, disuguh makanan khas Jawa super lezat. E, tambalen jadah. Pesannya: rombongan tamu yang pecicilan itu tetap dihormati kemudian dijamu, diminta mencicipi kuliner super istimewa.

Dasar tamu tak tahu diuntung, mulutnya masih juga ngomel, E, jadahe mambu. Bangsa Jawa yang kebudayaannya terkenal lembut ngungkuli banyu agal ngungkuli gunung merespon dengan jawaban sederhana meski sesungguhnya sudah mulai  agak kasar, E, pakakno asu.

Dialog menjadi berubah, rombongan tamu  tidak tanggap, bahwa asu yang dimaksud adalah bangsa lain yang mulai berulah di tanah Jawa. Sangat geregetan, bangsa Jawa  menyindir, E, asune mati.Maksudnya si tamu mati rasa, tidak paham kebudayaan Jawa.

Sebagai tuan rumah, Bangsa Jawa tanggap, kemudian memutuskan untuk menolak kehadiran mereka dengan statemen halus, E, kelekno kali. Suruh mereka pulang ke negara asal.

Seseorang menginformasikan, bahwa kaline banjir. Sebab itu sangat tidak tepat untuk minta sejumlah tamu terhormat kembali ke negara asal dalam situasi seperti itu.

Pemimpin Jawa kala itu bilang, kelekno pinggir alias cari jalan lain yang lebih aman. Tetapi telik sandi, atau mata-mata membisikkan, bahwa pinggir juga banjir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun