Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Uniknya Kuncup Bunga Matahari

15 Januari 2017   08:31 Diperbarui: 15 Januari 2017   09:52 1433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian kecil kekuasaan Sang Pencipta menitis pada kuncup bunga matahari. Pagi buta, dipastikan menghadap ke timur menyongsong terbitnya mentari, siang tegak lurus, senja menoleh ke ufuk barat, ke arah sang surya terbenam.

“Keajaiban seperti itu hanya diperlihatkan oleh kuncup pokok (bukan cabang) yang belum mekar penuh. Bunga utama yang 100% telah mengembang, apalagi biji mulai berisi, perilaku serupa itu tidak terjadi,” papar Ngadidjo, petani aneka tanaman hias dan sayuran, warga padukuhan Ngasemayu, desa Salam kecamatan Patuk, Sabtu 14/1/2017.

Diminta menjelaskan mengapa bunga yang telah mekar penuh kehilangan potensi mengikuti pergerakan matahari, dia berkelit, meski akhirnya lelaki yang mengaku alumni SMA Trisakti ini mencoba membeberkan kemungkinan. Tetapi menurutnya, perkiraan itu bisa benar bisa sebakiknya.

“Saya bukan ahli botani, secara teknis saya tidak mimiliki kemampuan untuk menjelaskan hal itu. Ada kemungkinan, bunga matahari yang telah mekar penuh tidak mampu menoleh ke barat dan timur, lantaran tangkai tak kuat membawa beban bunga dan biji yang besarnya hampir selebar cawan,” ujar dia menerka-nerka.

bunga pokok ada di paling pucuk, lainnya berupa bunga cabang. foto bewe
bunga pokok ada di paling pucuk, lainnya berupa bunga cabang. foto bewe
Bapak satu anak yang sehari-hari mengabdi di Desa Salam sebagai Kabag Pemerintahan ini mengaku tertarik menanam bunga matahari sepulang dari mengikuti studi banding di Kota Bogor September 2016 silam.

Kecintaanya pada tanaman hias, sayuran dan tanaman obat makin menjadi-jadi setelah dia berselancar di perpustaan langit. Ada banyak pengetahuan yang harus dia bagi mulai dari daun pegagan, buah okra hingga durian sintetis dan teko lemah terbuat dari bathok kelapa sisa bajing (tupai).

Ngadidjo menurut cerita Sugiyarto alias Cobok tetangganya, adalah satu-satunya pionir di kecamatan Patuk yang kesasar di dunia pertanian dan tidak pernah ngidam penghargaan.

“NGobrolan Mas Ngadidjo memang enak. Dia punya segudang pengalaman dalam bertani di dalam polybag, yang belakangan ini banyak diburu oleh sejumlah wisatawan domestik,” ujar Giyarto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun