Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hak Politik Si Miskin Cuma Dipagu Sehari

21 Oktober 2016   16:24 Diperbarui: 21 Oktober 2016   16:34 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak selamanya orang miskin dilupakan. Kalimat simpel ini saya temukan di biografi Ahok petahana yang maju lagi di pilkada DKI Jakarta. Tidak hanya menarik, kalimat tunggal itu sugestif juga persuasif.

Tak dilupakan apanya? Hati dan tangannya untuk dipinjam atau diperah  secara politis, di bulan Februari 2017 besok? Kayaknya itu terlalu lumrah. Ahok, Anies dan Agus sama-sama merebut simpati, bagaimana orang miskin mau menyukainya.

Loh, apa di DKI Jakarta itu masih ada orang miskin to? Kan deket banget sama rumah Presiden. Bukan  kebetulan to? Presiden yang perawakannya ceking kurus itu kan akrab banget sama orang kebanyakan yang dirundung nasib buruk.

Deket istana sih iya. Tapi masya Allah rumah tangga miskin kategori desil1, desil2, dan desil3 seperti disajikan Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) jumlanya 272.128 (duartus tujuhpuluh dua ribu, seratus duapuluh delapan) kepala keluarga (KK). Mereka mengurusi 1.211.629 (satu juta duaratus sebelas ribu enamratus duapuluh sembilan) nyawa.

Pada masa hangat-hangatnya berebut simpati, para kandidat calon Gubernur berbalik 180 derajat ‘menjadi pengemis suara’. Senyum mereka manis, tegur sapanya serba menyenangkan.

Tetapi siapapun yang terpilih, dipastikan  bakal cepat lupa pada orang miskin  setelah jabatan atau kursi itu dikuasainya.

Gubernur baru, akan memprioritaskan bagaimana mengurai jalan macet, bagaimana memompa air yang selalu bikin jalan kagak nyaman. Juga sibuk menyuapi orang-orang  yang dianggap miskin dengan bantuan sosial sekampil beras bau apek.

Keramahan pada orang miskin sebelum pilgub tiba-tiba raib. Yang tersisa mungkin kegarangan yang melampaui batas kemanusiaan. Tidak setiap orang miskin bisa bersalaman dengan Gubernur, padahal Si Miskin gembel, kumel dan lecek yang gemar merokok, juga andil sedikit untuk gaji Sang Gubernur.

Yah.... nasib baik Si Miskin cuma dipagu sehari, saat datang ke TPS. Nasibmu, jelas bukan nasibnya. Setelah Pilkada, jarang orang menyapa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun