Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Redupnya Budaya Tutur Pengaruhi Lunturnya Karakter Anak

12 September 2016   06:43 Diperbarui: 12 September 2016   16:43 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: blog.unnes.ac.id

Dongeng pada Dekade 60-an Pernah Berjaya
Sekitar Tahun 1960-an, guru Sekolah Rakyat atau disingkat SR (sekarang SD), seminggu sekali berkewajiban untuk mendongeng di depan anak-anak. Kala itu dongeng menjadi salah satu pelajaran favorit yang ditunggu para siswa.

“Salah satu SR di Kecamatan Patuk, sekarang namanya SD Buner II, punya guru yang fasih mendongeng. Ibu Tukilah, demikian nama guru yang pintar membawakan sejumlah dongeng itu,” kenang MH Mudilestari, pegiat perempuan, di rumahnya, Minggu 11/9/2016.

Yang Ibu Tukilah bawakan, lanjut Mudilestari, pasti dongeng melankolis bertema ketidakadilan seperti MawarMenur dan Melati, atau Bawang Merah Bawang Putih. Jarang dia mendongeng soal Kancil Nyolong Timun. Cerita yang disebut belakangan biasanya dibawakan oleh guru laki-laki.

Dihimpun dari berbagai sumber, Mulai 18 Februari 1960 hingga 6 Juni 1968 Menteri Pendidikan secara berturut-turut oleh Presiden Soekarno dipercayakan kepada: Priyono, Sarino Mangun Pranoto, serta Sanusi Hardjadinata.

“Saya menduga, kebijakan Menteri Sarino Mangun Pranoto, tokoh Taman Siswa kala itu berpengaruh besar terhadap kebijakan pemerintah, sehingga guru SR diwajibkan membawakan dongeng di depan kelas,” ulas Mudilestari. Dongeng, sebagai karya sastra, memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk karakter siswa. Penokohan cerita yang cenderung hitam putih, menggiring para murid untuk berpihak kepada kebenaran. Tetapi masuk ke kurun waktu 1970-an, kritik Mudilestari, tidak ada lagi guru yang mendongeng di depan kelas. Termasuk sampai ke Orde Reformasi. 

“Masa jaya kebiasaan mendongeng hanya sekejap. Dewasa ini tergilas oleh budaya layar kaca, yang bertubi mempertotonkan telenovela produk/budaya mancanegara,” ujar Mudilestari prihatin.

Menurutnya dua hal yang menjadi penyebab mengapa kebiasaan mendongeng berhenti yakni: Pertama: pemerintah tidak ada kepedulian untuk itu. Peran guru sebagai pendongeng digantikan oleh perpustakaan sekolah. Dianggap, murid kelas I SD sudah cukup matang untuk memahami isi dongeng tertulis. Murid, dalam hal ini kehilangan guru dengan gerak mimik tertentu yang membantu pemahaman cerita.

Kedua, simpul Mudilestari, orang tua tidak lagi memiliki empati. Hampir mirip dengan pemerintah, mereka menguasakan penuh kepada sekolah plus stasiun TV yang royal memutar film/cerita. 

Ketika terjadi penyimpangan karakter tak terkendali, baru mereka terkaget-kaget. Dia menunjuk contoh kongkrit, yakni Megawati Sukarno Putri mengeluhkan perilaku anak muda yang dengan enteng mem-bully presiden. "Sekarang saya lihat anak muda sopan santunnya nggak ada. Di medsos kebal aja nggak. Presiden sendiri dijelek-jelekin. Saya mikir, kita ini negara apa toh," kutip Mudilestari sebagaimana dilansir media.

Yogyakarta Pionir Pembacaan Buku
“Keheranan yang dilontarkan oleh Megawati rasanya merupakan kutukan zaman. Jokowi, dengan Nawacita-nya memang bertekad membangun karakter bangsa. Sayang, dia tidak fasih benar (mengenai) bagaimana agar setiap warga negara punya sopan santun,” kata Untung Nurjaya, mantan anggota DPRD Gunungkidul.

Dongeng, yang di era 1960-an harus diceritakan live di depan para murid, untuk yang pertama kalinya diubah menjadi cerita dengan format audio melalui siaran tunda RRI Nusantara II Yogyakarta.

Sebagai kota pelajar sejak tahun 1970, menurut catatan Untung Nurjaya, pernah mempelopori memprogram pendidikan karakter dengan cara medongeng/membaca cerita lewat media elektronik. Stasiun RRI Nusantara II Yogyakarta melakukan siaran ulang pembacaan buku. Tokoh yang dikenal kala itu adalah Ki Hadi Sukatno, yakni guru Taman Siswa yang lahir di Delanggu, Klaten 26 Mei 2015. Saban Kamis malam, pukul 23.00 hingga 24.00 WIB, ribuan penggemar dongeng/cerita PakKatno tidak beranjak dari pesawat radio. 

Kelebihan Pak Katno di sampng narasi, ada pada dialog antar tokoh. Dia fasih menirukan suara orang tua, perempuan, maupun anak-anak. Setelah beliau wafat 10 November 1983, pembacaan buku nyaris vakum. Ada generasi penerus yang melebihi kemampuan Pak Katno, yakni Abas Ch, yang mengudara di Radio Retjo Buntung. Sayang, Abas pembaca dongeng Weri Siswa, terjemahan serial Sun Go Kong ini mati muda. 

Kehilangan PakKatno dan Abas Ch, langit Yogyakarata relatif sepi dan cemplang. Segenap penyuka dongeng atau serial pembacaan cerita lewat radio tidak hanya kecewa, tetapi kehilangan rantai budaya yang mengagumkan. Merujuk radio swasta yang ada di Kabupaten Gunung Kidul kiranya sulit diharap, bahwa mereka tergerak melakukan meneruskan kultur seperti RRI dan Retjo Buntung.

Membuka berbagai literatur, menjelang gerakan reformasi satu stasiun radio swasta di Jawa Barat mencoba membangkitkan budaya dongeng. Kultur mulai membaik. Dongeng, sebagai karya sastra, menurut Asdi S. Dipodjoyo, pengamat sekaligus ahli cerita rakyat, dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UNY, memuat pesan moral yang kuat. “Dengan banyak mendengarkan dongeng, sedikit demi sedikit kalbu pendengar terlatih memilah hal yang hak dengan yang batil, yang benar dan yang salah,” kata dia pada kesempatan memberi kuliah kepada mahasiswanya. Dalam karyas astra, apa pun bentuk dan formatnya, selalu tersirat pesan istimewa, yang pada gilirannya bisa memperhalus budi pekerti.

Sumber ilustrasi: kontan.com
Sumber ilustrasi: kontan.com
Dari Kota Pendidikan ke Kota Kembang
Kehebatan Pak Katno dan Abas Ch merupakan cerita romantis bagi para penggemar pembacaan buku di Kota Gudeg. Tahun 1995, Bandung si Kota Kembang menggeliat. Dongeng Sunda mulai digarap, bukan oleh pemerintah, tetapi swasta.

Dongeng Sunda, salah satu bentuk produksi siaran dikembangkan oleh radio swasta. Perjalanannya unik. Proses kelahirannya tiba-tiba tanpa perencanaan dan konsep. Setelah disadari, bahwa masyarakat Sunda terpantau oke. Berikutnya dilakukan penataan

Tahun 1995, Joessrul, bos Radio Sinta Buana, Bandung mengatakan, odngeng Sunda mulai pudar seiring dengan perkembangan zaman. “MemasukkanDongeng Sunda dalam bentuk produksi siaran, apa pun alasanya kala itu dinilai lucu, bahkan seperti tidak masuk akal,” aku Joessrul satu ketika.

Menurut pria usia 40-an yang pernah menjabat sebagai Ketua PD PRRSNI Jawa Barat 1995 ini, dongeng Sunda di radio tidak lahir dari pemikiran hebat. Tahun1960-an, kata dia, masyarakat Jawa Barat pernah demam bacaan. Pilihannya komik serta novel Sunda. Hal tersebut memancing perpustakaan keliling dengan cara dipikul.

Konsumennya ibu rumah tangga, kadang juga kakek nenek nimbrung dengan cara minta tolong pada cucu/cicit untuk membantu membacakannya. Tetapi ini hanya pembaca luberan, karena penggemar bacaan Suda mayoritas adalah kawula muda. Demam komik dan novel Sunda, ditangkap Joessrul sebagai peluang, karena satu buku biasa dibaca 4 sampai 5 orang dalam satu keluarga serumah.

“Saya terdorong menggantikan cucu dan cicit, dengan membuat program pembacaan dongeng Sunda melalui radio,” aku Joessrul. Lahir darigagasan yang remeh, tak terduga pendengar Radio Sinta Buana cukup dibilang luarbiasa. Sisi lain, ternyata mendorong lahirnya pendongeng handal seperti Wak Kepoh, Mang Djaya dan yang lain.

Kedua pendongeng tersebut memliki kehebatan yang berbeda. Wak Kepoh lihai berpindah suara dari tokoh perempuan ke laki-laki, juga suara anak ke orang dewasa. Selincah Abas Ch di Radio Retjo Buntung. Sementara Mang Djaya yang sekaligus pemilik Radio Linggarjati Utama, pandai mendramatisir cerita. Pergantian suasana dari sedih ke gembira, marah ke suasana santun nyaris sempurna. Hal ini membuat pendengar radio ketagihan.

Dongeng Sunda yang disiarkan radio mengubah peta budaya dari masyarakat yang suka membaca ke masyarakat yang gemar mendengarkan. Berbekal ketajaman telinga, menurutnya, pendengar lebih memiliki kebebasan berimajinasi sambil mengerjakan sesuatu.

Kota Gudeg dan Kota Kembang ada kesamaan, sama-sama melestarikan budaya dongeng secara kontekstual. Khusus masyarakat Yogyakarta, semangat itu makin nyata ketika Balai Pelestarian Nilai Budaya(BPNB) DIY menggelar lomba mendongeng kategori siswa sekolah dasar, 13-14 September 2016 besok. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun