Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Redupnya Budaya Tutur Pengaruhi Lunturnya Karakter Anak

12 September 2016   06:43 Diperbarui: 12 September 2016   16:43 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai kota pelajar sejak tahun 1970, menurut catatan Untung Nurjaya, pernah mempelopori memprogram pendidikan karakter dengan cara medongeng/membaca cerita lewat media elektronik. Stasiun RRI Nusantara II Yogyakarta melakukan siaran ulang pembacaan buku. Tokoh yang dikenal kala itu adalah Ki Hadi Sukatno, yakni guru Taman Siswa yang lahir di Delanggu, Klaten 26 Mei 2015. Saban Kamis malam, pukul 23.00 hingga 24.00 WIB, ribuan penggemar dongeng/cerita PakKatno tidak beranjak dari pesawat radio. 

Kelebihan Pak Katno di sampng narasi, ada pada dialog antar tokoh. Dia fasih menirukan suara orang tua, perempuan, maupun anak-anak. Setelah beliau wafat 10 November 1983, pembacaan buku nyaris vakum. Ada generasi penerus yang melebihi kemampuan Pak Katno, yakni Abas Ch, yang mengudara di Radio Retjo Buntung. Sayang, Abas pembaca dongeng Weri Siswa, terjemahan serial Sun Go Kong ini mati muda. 

Kehilangan PakKatno dan Abas Ch, langit Yogyakarata relatif sepi dan cemplang. Segenap penyuka dongeng atau serial pembacaan cerita lewat radio tidak hanya kecewa, tetapi kehilangan rantai budaya yang mengagumkan. Merujuk radio swasta yang ada di Kabupaten Gunung Kidul kiranya sulit diharap, bahwa mereka tergerak melakukan meneruskan kultur seperti RRI dan Retjo Buntung.

Membuka berbagai literatur, menjelang gerakan reformasi satu stasiun radio swasta di Jawa Barat mencoba membangkitkan budaya dongeng. Kultur mulai membaik. Dongeng, sebagai karya sastra, menurut Asdi S. Dipodjoyo, pengamat sekaligus ahli cerita rakyat, dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UNY, memuat pesan moral yang kuat. “Dengan banyak mendengarkan dongeng, sedikit demi sedikit kalbu pendengar terlatih memilah hal yang hak dengan yang batil, yang benar dan yang salah,” kata dia pada kesempatan memberi kuliah kepada mahasiswanya. Dalam karyas astra, apa pun bentuk dan formatnya, selalu tersirat pesan istimewa, yang pada gilirannya bisa memperhalus budi pekerti.

Sumber ilustrasi: kontan.com
Sumber ilustrasi: kontan.com
Dari Kota Pendidikan ke Kota Kembang
Kehebatan Pak Katno dan Abas Ch merupakan cerita romantis bagi para penggemar pembacaan buku di Kota Gudeg. Tahun 1995, Bandung si Kota Kembang menggeliat. Dongeng Sunda mulai digarap, bukan oleh pemerintah, tetapi swasta.

Dongeng Sunda, salah satu bentuk produksi siaran dikembangkan oleh radio swasta. Perjalanannya unik. Proses kelahirannya tiba-tiba tanpa perencanaan dan konsep. Setelah disadari, bahwa masyarakat Sunda terpantau oke. Berikutnya dilakukan penataan

Tahun 1995, Joessrul, bos Radio Sinta Buana, Bandung mengatakan, odngeng Sunda mulai pudar seiring dengan perkembangan zaman. “MemasukkanDongeng Sunda dalam bentuk produksi siaran, apa pun alasanya kala itu dinilai lucu, bahkan seperti tidak masuk akal,” aku Joessrul satu ketika.

Menurut pria usia 40-an yang pernah menjabat sebagai Ketua PD PRRSNI Jawa Barat 1995 ini, dongeng Sunda di radio tidak lahir dari pemikiran hebat. Tahun1960-an, kata dia, masyarakat Jawa Barat pernah demam bacaan. Pilihannya komik serta novel Sunda. Hal tersebut memancing perpustakaan keliling dengan cara dipikul.

Konsumennya ibu rumah tangga, kadang juga kakek nenek nimbrung dengan cara minta tolong pada cucu/cicit untuk membantu membacakannya. Tetapi ini hanya pembaca luberan, karena penggemar bacaan Suda mayoritas adalah kawula muda. Demam komik dan novel Sunda, ditangkap Joessrul sebagai peluang, karena satu buku biasa dibaca 4 sampai 5 orang dalam satu keluarga serumah.

“Saya terdorong menggantikan cucu dan cicit, dengan membuat program pembacaan dongeng Sunda melalui radio,” aku Joessrul. Lahir darigagasan yang remeh, tak terduga pendengar Radio Sinta Buana cukup dibilang luarbiasa. Sisi lain, ternyata mendorong lahirnya pendongeng handal seperti Wak Kepoh, Mang Djaya dan yang lain.

Kedua pendongeng tersebut memliki kehebatan yang berbeda. Wak Kepoh lihai berpindah suara dari tokoh perempuan ke laki-laki, juga suara anak ke orang dewasa. Selincah Abas Ch di Radio Retjo Buntung. Sementara Mang Djaya yang sekaligus pemilik Radio Linggarjati Utama, pandai mendramatisir cerita. Pergantian suasana dari sedih ke gembira, marah ke suasana santun nyaris sempurna. Hal ini membuat pendengar radio ketagihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun